- Lelaki Pinisi dan Sepotong Senja - 13/04/2025
- Hujan di Kota M - 03/01/2025
- Langit Mahakam dan Kupu-Kupu Bantimurung - 22/09/2024
Bulukumba di musim hujan selalu kelabu dan hawa dinginnya meresap ke tulang dan hati yang sendu. Kesedihan ditinggal nikah oleh kekasihnya membuatnya pasrah menjalani hidup.
Setelah hampir tujuh tahun merajut kisah dengan seorang perempuan bernama En, gadis berdarah Bone dan Andi. En memutuskan menikah dengan pilihan orang tuanya dan tentu dengan tawaran uang panaik yang lebih menjanjikan. Sementara Rusdi memutuskan pulang ke kampung halamannya di Bontotanga. Sebuah kampung yang berjarak sekitar 13 kilo meter dari kota kabupaten Bulukumba.
Ia memulai kisah hidupnya yang baru. Sekian tahun akhirnya ia bisa leluasa memandangi wajah kampung halamannya dan wajah ayah ibunya yang sudah renta.
Rusdi, anak muda yang berkulit legam itu baru saja menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi Islam di Makassar. Ia menyelesaikan studi dalam kurun waktu tujuh tahun. Nyaris didropout dari kampusnya.
Kini di waktu yang telah banyak berubah. Di tanah kelahirannya ia bisa menemukan hiburan dan jalan menemukan muara pengetahuan baru dan ingatan masa lalunya. Perihal kekanak dan hal-hal kecil lainnya yang ingin ia kunjungi.
Rusdi berusaha mengubur kenangannya bersama En. Ia memilih membudidayakan tanaman Porang. Pikirnya, tanaman porang itu akan memberi hiburan dan asa untuk tetap melanjutkan hidup ketimbang terus memikirkan perempuan bernama En.
Perlahan tapi pasti. Hari-harinya mulai disibukkan dengan tanaman porang yang telah menghampar di pekarangan rumahnya yang sederhana. Di depan, samping dan belakang. Cukup untuk menampung ratusan hingga ribuan porang. Ia butuh waktu berbulan-bulan menyiapkannya. Kini tanaman itu sudah seperti teman. Ia merawatnya dengan baik. Ia telah membenamkan masa lalunya. Meski kadang di malam-malam yang sunyi ingatan tentang En diam-diam masih bersembunyi sesekali menghampiri. Tetapi tidak lama.
Membudidayakan tanaman porang bukan tanpa halangan. Di kampung, ketika telah sarjana dan menggeluti pekerjaan sebagai seorang pekebun ataupun petani dianggap sebagai “aib”. Harusnya ia jadi seorang pegawai kantoran atau PNS. Jika tidak, maka kau dianggap tidak punya masa depan. Tapi Rusdi sudah tidak peduli dengan omongan orang lain atau tetanga-tetangga yang suka nyinyir, yang jelas apa yang dilakukannya halal dan masuk akal. Ia bahkan tidak peduli ketika ia mampir ke warung dan mendengar orang-orang yang duduk di sana sambil mengejeknya.
“Kamu jauh-jauh pergi sekolah, pulang ke kampung hanya pergi berkebun.”
Namun, ia tahu itu hanya lelucon. Tidak perlu ditanggapi berlebihan. Ia hanya tersenyum. Baginya yang menjalani hidup adalah dirinya sendiri. Bagaimanapun Rusdi mencoba membuka jalan takdirnya. Jalan hidupnya. Tanpa perlu dieja oleh orang lain. Ia percaya dengan apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang membuatnya bertahan dari semua kehilangan.
***
Asap mengepul dari dua cangkir kopi panas di meja di ruang tamu. Ibunya yang membuatnya. Satu untuk ayahnya dan satunya lagi untuk Rusdi.
“Bagaimana porangmu, Uddi?”
Ayah Rusdi membuka percakapan, sambil ia menyesap kopi hitam.
“Sudah mulai tumbuh subur saya lihat Bapak,”
“Tidak ada ji yang mati?”
“Ada beberapa pohon mati karena termakan kambing tetangga.”
“Sabar saja. Begitulah kalau orang berkebun. Ada-ada saja. Tapi tidak apa-apa. Nanti akan ada sendiri hasilnya.”
Setelah pembicaraan itu, ayah rusdi meninggalkan ruang tamu dan bergegas menuju kebun yang ada di belakang rumahnya. Ayahnya sudah lama berkebun dan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak bisa terlalu lama diam di rumah. Ia mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakannya dan menanam apa saja yang bisa dimakan. Sayur dan umbi-umbian. Dulu ayahnya banyak menanam pohon cokelat dan merica. Tapi sudah tidak mampu diandalkan lagi.
***
Berbulan-bulan lamanya, ia menyemai dan merawat tanaman porangnya. Selama itu pula ia memendam perasaan kasmaran pada seorang perempuan dan En. Tapi ia sudah terbiasa dengan apa yang telah dilaluinya. Ia sudah memaafkan apa yang telah lalu-lalu. Ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Harapannya jauh lebih giat menyala dibanding kenangannya. Ada kebahagian terpancar di wajahnya. Usaha Rusdi tidak sia-sia. Porangnya sudah tumbuh subur dan tidak lama lagi akan panen.
Seiring waktu berjalan, Rusdi mulai membuka diri. Membuka perasaannya kembali dengan perempuan. Hingga akhirnya di suatu sore yang terlihat sangat indah. Rusdi berjalan menikmati musim yang dingin di jalan setapak. Hembusan angin yang menyejukkan hati dan pikirannya. Ia menikmati pepohonan yang berdaun lebat. Ia berhenti di depan sebuah rumah kayu berukuran besar. Dipandanginya rumah itu dengan penasaran. Halaman rumah yang cukup luas. Bunga-bunga menyebar di pekarangan rumahnya. Jendela-jendela dibiarkan terbuka lebar.
Ia melihat seseorang berjalan dari kolong rumah menuju sebuah pohon mangga yang rindang. Ia melompat-lompat di sana untuk mengambil sebuah mangga dari dahannya yang tidak begitu tinggi. Ia berulang kali melompat hingga ia berhasil mendapatkannya. Kalau tidak salah itu adalah Mirna, teman masa kecil Rusdi. Sudah lama ia tidak pernah bersua. Ia duduk di ayunan yang tergantung dari pohon. Cabang-cabang pohon berderak. Ia sangat menikmati ayunan itu.
Rusdi diam-diam menikmati lesung pipinya yang menawan dan bola matanya yang indah. Ia memiliki aura sebagai perempuan dewasa. Hingga pada akhirnya Rusdi dan Mirna bertatapan lansung dari jarak dua belas meter. Dan saling melempar senyum.
Menurut cerita orang di kampung, Mirna baru saja bercerai dengan suaminya.
Rusdi bukan lagi yang dulu. Ia tidak lagi memandang status. Termasuk yang melekat pada diri Mirna saat ini. Rasanya tidak ada yang salah ketika suatu waktu Rusdi meminangnya, jika ternyata cinta hadir di antara keduanya.