Cerita Warga Berdaya dan Kota yang Anti Ketahanan Lingkungan

oleh -599 kali dilihat
Saat Komunitas Literasi Berkebun: Tanam Pohon Tin, Panen Rambutan
David Efendi/Fasilitator Sekolah Pemuda Ekoliterasi di Rumah Baca Komunitas

Ada kegelisahan luar biasa mana kalah masyarakat berhadapan dengan kota yang rentan.

Dalam tata kota yang berisiko, masyarakat yang paling besar terpapar bahaya adalah kelompok masyarakat rentan (orang miskin, perempuan, anak-anak, kelompok difabel, dan kelompok rentan lainnya—termasuk ancaman bagi kelompok minoritas kritis.

Di Indonesia orang orang yang tinggal di pedesaan dan perkotaan, meminjam istilah Ulrick Beck (1992), sama-sama berada dalam situasi risk society di tengah gejala modernitas yang kian intensif.

Identifikasi akar penyebabnya adalah faktor manusia, kekuasaan (negara dana tau pasar), dan siklus ekosistem alam raya. Faktor pertama dan kedua menyumbang porsi kehancuran paling tinggi.

Kegalauan seorang teman di Makassar mengenai betapa serampangan dan ngawurnya praktik pembangunan berakibat pada kerentanan kotanya.

KLIK INI:  Laut Biru, Laut tanpa Plastik

Saya kira, serangkaian bencana dapat dibaca akibat praktik ekonomi hancur lebur tak peduli lingkungan hidup. Kasus Makassar dan pelbagai kota lain yang rentan.

Bukan ekonomi insani apalagi ekonomi ekologi, yang ada adalah ekonomi instani (sejenis makhluk berkadar ‘mie instan’). Perilaku pelaku usaha dan pembangunan yang tuna ekologi, dan terlalu melek ekonomi jalan pintas pro-profit oriented.

Masyarakat perkotaan berkelanjutan apakah sebuah cita-cita teknologis atau Politis?, pertanyaan Edward Newman, 1999. Nuansa politik kita saksikan sebagai kader polutan terbesar.

Sekarang smart city, green city, sustainable city kehilangan makna karena adanya kesenjangan antara konsep retorik dan kenyataan obyektifnya.

Orang-orang kota semakin gelisah karena kota dimana ruang hidupnya menjadi sangat rentan. Hujan sedikit banjir, angin sedikit beragam papan iklan runtuh, kemacetan di berbagai sudut kota. Isu-isu kriminalitas juga tak pernah padam.

KLIK INI:  Tangisan Selembar Daun
Kewargaan ekologis

Hanya ada satu cara bagi lingkungan dan kelompok yang paling lemah/tidak berdaya dalam menghadapi masalah lingkungan perkotaan. Yakni memastikan manajemen perkotaan diselenggarakan berdasarkan landasan politik yang sah dan relasi kemitraan yang adil.

Kita sepakat, kota bukanlah sekadar tempat untuk ditinggali. Kota adalah tempat untuk perjuangan kewargaan, perjuangan ruang hidup karena setiap jengkal tanah dan mangkuk air adalah perjuangan sumber daya.

Faktor tempat dan faktor perjuangan itu saling terhubung dan melebur seperti halnya kesadaran dan aksi menyelamatkan lingkungan dari individu atau komunitas perkotaan. Mereka merasa, tanah dan air adalah ‘barang publik’ yang mesti dijaga kelestariannya.

Itu menurut Holston dalam buku Politik Kewargaan yang dieditori Eric Hiariej dan Kristian Stokke (2018)

Kewargaan ekologi, atau warga dengan praktik pro ramah lingkungan merupakan tema yang marah di tahun 1990-an namun relevansi dan kedalamannya terus menarik sampai kini untuk dibicarakan (Melo-Esecrihuela, 2008).

Keterlibatan warga dalam pengelolaan lingkungan bukan hanya menyangkut hak dan kewajiban seorang warga negara. Namun juga di dalamnya terdapat ideologi yang menjadikan gerakan ekologi punya nafas yang lebih panjang dan punya kompleksitas yang lebih menarik dikaji.

Misalnya, ada bank sampah, komunitas lingkungan, sungai, ada juga di ranah teologi warga dalam jihad lingkungan, ada fikih air, ada fikih tanah, dan seterusnya yang memperkuat ekosistem gerakan lingkungan.

Di Kota Yogyakarta, banyak keterlibatan warga dalam keseharian yang terlibat mempertahankan keseimbangan lingkungan. Misalnya kelompok yang menekuni sungai, bank sampah, tata ruang, kelompok warga berdaya, Jogja asat, dan banyak lagi aktivitas sehari-hari. Semua berkorelasi dengan upaya mempertahankan bumi-nya agar tetap layak huni dan tidak cepat menjadi neraka bagi ekosistem kehidupan.

KLIK INI:  Memilih Wakil Rakyat Peduli Lingkungan
Upaya melindungi, memproteksi, dan mengkonservasi

Keberadaan Dinas lingkungan hidup (state) dan masyarakat sipil (civil society) di dalam upaya melindungi, memproteksi, dan mengkonservasi kebutuhan hidup manusia adalah suatu yang tak terelakkan keniscayaannya.

Di tengah perkotaan yang terus menerus mengalami degradasi diakibatkan oleh praktik pengabaian aspek ekologi secara berlebihan di dalam kerja kerja kebutuhan material.

Bentuk bentuk politik keseharian ini barangkali menjadi kontributif untuk membangun aspek politik lainnya yang berkarakter keseharian, individual, kelompok kecil, dan berperspektif ekologi sebagai barang politik yang layak diperjuangkan: air, udara, tanah, energi, ruang, dan sebagainya.

Bentuk kewargaan ekologis ini menurut Profesor Andrew Dobson (1998) dapat melipatgandakan potensi distruptif-nya di dalam pengelolaan lingkungan.

Warga berdaya bukan hanya agen tetapi agensi dalam bahaya Foucault. Esensi dalam pendekatan berbasis agensi ini, proses negosiasi melalui berbagai agen dapat membuat tuntutan antara lain tentang kota untuk kota, dan melalui ruang-ruang kota.

Kesadaran ini yang dibangun oleh ‘kelompok’ warga berdaya di Yogyakarta seperti Elanto dan Dodok yang terus mengupayakan leberasi ekologis dalam berbagai format teatrikal dan dialog keseharian.

KLIK INI:  Pendugaan Cadangan Karbon, Tren Sisi Pandang Hutan Terkini
Ideologi kelestarian lingkungan apa yang kita pilih?

Cerita perlawanan warga terhadap ngawurnya pembangunan ini menarik. Dari beberapa diskusi dengan agensi tersebut diperlukan beberapa kekuatan seorang dapat disebut warga berdaya.

Pertama, melek informasi yang memadai mengenai banyak hal. Kedua, mampu melipatgandakan sumber daya yang ada (sosial media, pertemanan, jaringan, dan sebagainya). Ketiga, memiliki energi kreatif yang terbarukan.

Kita bisa lihat aksi teatrikal kreatif dalam tajuk demo tunggal, kampanye poster digital, dan semua itu menjadi aktivitas sehari-hari untuk kebaikan ruang hidup bersama (small act of resistance). Berdimensi keberpihakan terhadap lingkungan dan juga pada akhirnya untuk manusia.

Membaca paradigma warga juga penting di dalam memperjuangkan isu lingkungan. Ideologi kelestarian lingkungan apa yang kita pilih sebagai rujukan selama ini?

Misalnya, apakah paham Biosentrisme yaitu teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan, etika bumi, dan anti spesiesisme. Atau paham Ekosentrisme (The Deep Ecology yang mentransformasikan praktik shallow ecology di dalam memperjuangkan keseimbangan.

Pandangan lainnya juga seperti pandangan Ekofeminisme yang melawan Androsentrisme (Rachmad Dwi Susilo, 2014). Setidaknya ketiga pendekatan ini menyumbang di dalam mengupayakan apa yang disebut ekologi pembebasan. Untuk menjadikan hunian/space sebagai ruang bersama untuk keberlangsungan hidup dalam keseimbangan.

Inilah agenda advokasi warga berdaya yang disebut sebagai politik warga mempertahankan keseimbangan ekosistem.

KLIK INI:  Cerita Virus Corona dari Makassar, dari Siaga ke Darurat