Memotret Kupu-kupu dengan Telepon Pintar? Kenapa Tidak!

oleh -460 kali dilihat
Memotret Kupu-kupu dengan Telepon Pintar Kenapa Tidak!
Si perut merah, Pachliopta aristolochiae, kerap mengunjungi halaman Agung Nugroho. Ia pun dengan leluasa memotretnya. Mulai dari telepon pintar hingga mirrorless - Foto/Agung Nugroho
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Sekelompok pemerhati kupu-kupu yang tergabung dalam Sahabat Kupu-kupu Indonesia menyelenggarakan web seminar (webinar). Webinar menjadi tren saat ini karena tidak memungkinkan menyelenggarakan pertemuan. Pertemuan yang bisa menimbulkan kerumunan.

Pertemuan daring yang dinanti akhirnya tiba. Minggu, 17 Januari 2021, saya berkesempatan mengikutinya. Seminar daring tentang kupu-kupu. Tema kali ini tentang fotografi kupu-kupu.

Sedikitnya 43 peserta hadir dalam webinar. Peserta berasal dari berbagai daerah di nusantara. Panitia menyebar pengumuman seminar daring ini melalui media sosial.

Dua pemerhati kupu-kupu jadi narasumber. Adalah Wanda Everdine Kambey dan Agung Nugroho jadi pemateri Minggu siang itu.

Wanda Kambey, pemerhati kupu-kupu, menyampaikan materinya dengan judul: Kupu-kupu dalam Bidikan Lensa. Agung Nugroho, pecinta capung dan kupu-kupu, dengan apik mengulas teknik fotografi kupu-kupu dengan judul materinya: Kupu-kupu dan Memotretnya.

Saya sedikit terlambat bergabung karena kepentingan pribadi yang mendesak. Beruntung saya masih bisa mendapati sesi diskusi. Pada sesi inilah materi teknik fotografi kupu-kupunya justru berkembang. Termasuk beberapa pakar di bidangnya memberi pencerahan.

KLIK INI:  Penangkap Kupu-kupu

Sri Yuliasih Wiyati, selaku moderator, memimpin jalannya diskusi dengan apik. Menjembatani diskusi antara peserta dan narasumber.

Yuli, sapaan akrab moderator, kemudian menyilahkan peserta bertanya. Bertanya langsung ataupun melalui kolom percakapan pada aplikasi Zoom Meeting.

“Silahkan teman-teman jika ada yang perlu ditanyakan, bisa raise hand juga untuk bertanya langsung,” Yuli memulai sesi diskusi.

Yuli kemudian membacakan salah satu pertanyaan dari peserta dari kolom percakapan. Pertanyaan dari Wily Ekariono, peserta dari Bogor. Wily menanyakan tentang penggunaan flash dalam fotografi kupu-kupu.

Wanda Kambey, kemudian menjawabnya. “Saya tidak pernah menggunakan flash untuk memotret. Saya hanya mengandalkan pencahayaan alami. Jadi kalau cuaca kurang mendukung saya tidak keluar memotret. Begitu pun dengan tripod, saya hanya mengandalkan kekuatan tangan (handle).”

Agung kemudian menambahkan. “Pada waktu-waktu tertentu kita membutuhkan flash. Baik bawaan kamera atau pun tambahan flash eksternal. Untuk pengaturannya, kita bisa memerhatikan kondisi pencahayaan di sekitar objek.”

“Tripod pun begitu, ada situasi yang mengharuskan kita menggunakannya. Misalnya saat memotret telur kupu-kupu. Apalagi saat membuat video peralihan dalam siklus hidup kupu-kupu, misalnya saat menetas dari kepompong ke imago,” tambah Agung.

KLIK INI:  Ada Apa di Balik Sisa Air Mineral yang Terbuang di Botol Kemasan?

Soal pencahayaan, Wanda, juga memberi tips dengan menggunakan lampu portable atau senter. “Prinsipnya hanya satu, usahakan pencahayaan tambahannya menggunakan cahaya LED.”

Yuli kembali mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Tentunya meneruskan pertanyaan peserta. Pertanyaan ini masih dari Wily. “Bagaimana dengan teknik freezing. Berapa pengaturan kecepatan yang diperlukan untuk memotret kupu-kupu yang sedang terbang?”

Freezing adalah teknik memotret objek yang sedang bergerak cepat. Dengan hasil objek utama tetap fokus.

“Lebih bagusnya kita kenali dulu perilaku terbang kupu-kupu yang menjadi objek. Karena setiap jenis kupu-kupu memiliki kecepatan terbang yang berbeda-beda. Ada yang terbang lambat, ada juga yang cepat. Kedua, juga bergantung tujuan kita. Apakah mau hasilnya masih ada gerakan sayapnya atau betul-betul beku. Kalau untuk betul-betul beku bisa pakai kecepatan 1/4.000 detik,” jawab Agung.

“Saya pernah buat gambar beku untuk Graphium doson. Kupu-kupu ini terbangnya cukup cepat. Dengan pengaturan kecepatan (speed) tadi, saya harus menunggunya di sekitar tumbuhan tempat ia mencari makan. Begitu dia datang langsung jepret,” tambah Agung.

KLIK INI:  Dengan Alasan Sampah, Haruskah Bakau Babak Belur?

“Kalau saya ya.. saya pakai lensa tele 300 mm fix. Untuk kecepatan, biasanya saya pakai antara satu per 800-1.000 detik, dengan hasil sedikit ada gerakan sayap. Untuk membuat kupu-kupunya betul beku. Freez. Saya biasa pakai kecepatan 1/1.200 detik, pokoknya di atas satu per seribulah,” Wanda menambahkan jawabannya.

Martinus, peserta webinar asal Bandar Lampung, juga mengajukan pertanyaan secara langsung. “Saya ingin bertanya tentang teknik merapikan file foto seperti pada materi Mas Agung. Gimana cara merapikan data file fotonya?”

Agung kemudian menjawabnya. “Inspirasi ini sebenarnya berasal dari Bang Riza Marlon. Yang saya lakukan selama ini, untuk memudahkan pencarian, saya membuat folder sendiri untuk kupu-kupu misalnya. Lebih bagus lagi jika langsung menyediakan folder per jenisnya. Beri nama folder penyimpanan sesuai nama spesiesnya. Kalau belum tahu namanya bisa beri nama: Sp1, Sp2, dan seterusnya. Bisa juga berdasarkan tanggal pengambilan gambar. Semua itu saya lakukan untuk memudahkan mencari foto saat kita butuhkan. Untuk penyimpanan saya menyediakan hard disk eksternal tersendiri.”

Riza Marlon, fotografer satwa liar, yang juga menjadi peserta webinar menyapa. Moderator kemudian memberi kesempatan kepada Bang Caca, sapaan akrabnya, untuk menambahkan jawaban.

KLIK INI:  Tenyata Menjadi Petani Kopi Itu Tidaklah Mudah, Begini Ceritanya!

“Halo semua. Saya mau menambahkan soal penyimpanan tadi. Pertama, tertib administrasi kalau menurut saya. Tertib administrasi artinya kalau kita sudah memotret, kita harus pilah-pilah.  Jadi kalau saya misalnya memotret sampai seribu foto, saya hanya sisakan 50 sampai seratus foto. Yang lain buang. Yang lain saya tutup mata. Hapus. Harus tega. Prinsipnya: blur, dobel, buang. Walaupun kita punya banyak hard disk, tidak akan cukup. Jika memang memotret untuk jangka panjang,” terang Bang Caca.

“Saya punya hard disk eksernal enam terabite, belum penuh-penuh sampai sekarang. Sudah sekitar 30 tahunan. Saya hanya menyimpan foto yang terbaik-terbaik saja. Karena kadang-kadang kita tidak melihat lagi foto kita yang tidak terbaik dan itu memenuhi penyimpanan file saja,” tambahnya.

“Kedua, untuk menjaga foto, kita perlu membuat copy-an, dua hingga empat copy-an. Harus ada backup. Kalau misalnya hard disk eksternal kita satu rusak masih ada tempat penyimpanan lainnya. Bisa di komputer, DVD, atau penyimpanan daring berbayar, seperti Cloud,” Bang Caca melanjukan tipsnya.

Begitu pun untuk menyimpanan kamera dan peralatan elektronik pendukung lainnya, Bang Caca punya tips tersendiri. “Saya memiliki ruangan khusus untuk penyimpanan. Ruangan yang selalu bersuhu 16°C. Pendingin ruangan yang tak pernah saya matikan. Komputer saya menyala terus. DVD dan hard disk saya awet tidak ada yang berjamur. Sudah sekitar 5 tahunan.”

Ruangan ber-AC membuat udara selalu kering. Dengan begitu jamur tak dapat berkembang. Jamur adalah musuh peralatan elektronik. Udara yang lembab membuat ia mudah memamahbiak.

KLIK INI:  Cerita dari India dan Kejutan di Pasar Rakyat yang Tanpa Kantong Plastik

Memotret dengan telepon pintar, mengapa tidak! Beberapa peserta mengajukan pertanyaan serupa. “Bagaimana teknik memotret kupu-kupu dengan telepon genggam canggih?”

Wanda kemudian menjelaskan teknik fotografi kupu-kupu dengan handphone. “Memotret kupu-kupu dengan telepon seluler sangat memungkinkan. Terutama  kupu-kupu yang hinggap. Caranya, ya.. kita harus bisa mendekatinya hingga jarak sekitar satu jengkal. kemudian kita atur ke setting-an makro. Pada beberapa telepon pintar juga ada pengaturan kamera pro. Setelah itu kita sentuh layar telepon untuk menentukan titik fokus. Terus jangan bergerak. Setelah itu tinggal tekan tombol potretnya.”

Senada dengan Agung. Ia juga kadang-kadang  menggunakan telepon pintar untuk memotret kupu-kupu dari dekat. Tak hanya itu ia juga malah pernah menggunakan handphone untuk membuat video singkat. Malah tanpa tambahan kamera seperti lensa bongkaran, hanya menggunakan pencahayaan dari kamera karena mengambil gambar pada alam hari.

“Intinya kita perlu mengenal alat yang kita gunakan sehingga bisa memaksimalkan hasil yang bisa kita peroleh.”

Andi Saragih, peserta asal Manokwari, Papua, kemudian menekan tombol raise hand. Yuli kemudian menyilahkannya bertanya langsung kepada narasumber. “Saya ini kan baru belajar makro. Bagaimana pose terbaik kupu-kupu untuk dipotret?”

Dua narasumber menjawabnya senada. Bahwa memotret kupu-kupu baiknya bisa memperoleh gambar dua posisi sayap. Memotret sayap dari atas dan sayap bagian bawah. Hal ini memudahkan untuk mengidentifikasi jenis kupu-kupunya.

Peggie Djunijanti, peneliti kupu-kupu LIPI, juga hadir sebagai peserta. Ia kemudian menambahkan. “Untuk pertanyaan Andi Saragih tadi soal posisi. Memang kalau dari fotografi harus menarik dulu ya. Agar mudah mengidentifikasi, baiknya memotret dari dua posisi sayap. Kita harus mendapatkan foto permukaan sayap atas dan permukaan bawah sayapnya. Saat memotret sayap bawah biasanya sayap depan akan tertutup. Sehingga kadang sedikit menyulitkan untuk mengenalinya. Namun dengan bantuan potret dari posisi lainnya akan cukup membantu untuk identifikasinya.”

KLIK INI:  Studi Terbaru, Pulp Kopi dapat Dimanfaatkan untuk Konservasi Hutan

Aris Hidayat, peserta asal Bogor, melalui kolom percakapan kemudian memberi usul. “Usul dong buat acara hunting kupu-kupu bersama. Satu atau dua bulan sekali. Biar kita saling belajar dan saling menyemangati,” tulisnya.

Yuli kemudian mengaminkan. Berharap masa sulit tularan penyakit corona segera berakhir. Dengan begitu hunting kupu-kupu bersama bisa terlaksana.

Bugi Sumirat, peserta webinar dari Bogor juga bertanya langsung. “Jika memotret dengan kamera, kok kadang hasilnya tidak konsisten dengan pengaturan otomatis?”

“Pada kamera ada pengaturan makronya. Kemudian kita bisa buat pengaturan manual. Bisa latihan dulu pada satu objek dengan menguji bukaannya. Kira-kira dengan bukaan berapa gambar kita peroleh bagus. Karena kalau otomatis sensornya akan bergerak terus,” jawab Wanda.

“Baiknya pakai pengaturan manual. Memudahkan pengaturan sesuai dengan kemauan kita. Hasilnya lebih memuaskan,” tambah Agung.

Time lapse, pernah tidak ada yang melakukannya? Misalnya pada saat menunggu kepompong menjadi kupu-kupu dewasa,” tanya Peggie kepada narasumber.

KLIK INI:  No Mow May, Gerakan Tidak Memotong Rumput di Bulan Mei

Agung kemudian menjawab. “Kalau saya pada kupu-kupu belum. Saya pernah coba waktu mengamati perubahan metamorfosis capung, dari nimfa ke capung dewasa. Saya bersama teman kala itu. Jadi kami setting beberapa kamera untuk satu objek. Satu kamera untuk foto, satu kamera untuk video, dan satu kamera khusus untuk mengambil video time lapse. Tapi memang harus sabar sih menunggunya.”

Pertanyaan terakhir dari Wily Ekariono. “Kalau mau belajar kupu-kupu, baiknya mulai dari mana?

Agung kemudian mulai menjawabnya: “Kalau mau belajar kupu-kupu. Baiknya, belajar dari siklus hidup kupu-kupu dan pakannya. Tanaman pakan itu sangat vital bagi kupu-kupu. Halaman kita tanamin aja tumbuhan inang. Jadi setiap saat kita bisa belajar dari halaman kita tentang kupu-kupu. Karena pakan dan bunga-bunga itu akan mengundang mereka datang ke halaman kita.”

Wanda juga kemudian menambahkan jawabannya: “Sering jalan-jalan pagi-pagi. Kalau ketemu ulat kupu-kupu bisa bawa pulang. Tentunya kita tanam pakan mereka. Saya di rumah punya tanaman jeruk, sirih hutan, sinia, dan pagoda. Dari situ kita bisa belajar metamorfosisnya. Atau kalau tidak bisa hunting ke taman-taman bunga.”

Ida Amal, peserta asal Tangerang, juga turut menyemangati para pemerhati kupu-kupu. “Kalau pandemi sudah berlalu. Kia bisa hunting sama-sama di Jogja atau di Gita Persada, Lampung. Malang juga boleh.”

Yuli kemudian membuat kesimpulan dari webinar yang telah berlangsung dua jam itu. Tak lupa sesi foto bersama sebelum peserta bubar.

Memotret kupu-kupu bisa jadi pilihan di masa pagebluk seperti ini. Mulailah memotret dari halaman rumah. Alatnya bisa menyesuaikan dengan apa yang kita punya. Kamera telepon pintar, pocket, prosummer, mirrorrless, hingga DSLR.

Karena segala sesuatu tak ada yang instan. Cukup mie yang instan, jangan usahamu.. he.

KLIK INI:  Sungai di Indonesia Tercemar, Survei: Pemerintah Abai!