Dengan Alasan Sampah, Haruskah Bakau Babak Belur?

oleh -397 kali dilihat
Dengan Alasan Sampah, Haruskah Bakau Babak Belur?
Harus mangrove di tebang demi atasi sampah? Foto-Idris
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Bagaimana membayangkan hutan mangrove atau bakau yang puluhan tahun bertumbuh harus babak belur seketika atas nama kebijakan pemerintah? Begitulah pegiat lingkungan di Banyuwangi memikirkan nasib mangrove di muara sungai Kalilo Banyuwangi yang direkomendasikan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat agar ditebang.

Surat rekomendasi yang dikeluarkan DLH Kabupaten Banyuwangi perihal pembabatan 4000 pohon mangrove memang menuai kontroversi. Sejumlah pegiat lingkungan di Banyuwangi menolak keras rencana tersebut, di antaranya dengan membuat petisi penolakan. Ratusan orang telah mendukung petisi penolakan, dukungan terus mengalir dari banyak kalangan sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan tersebut yang akan membuat mangrove babak belur.

Surat DLH Banyuwangi pertanggal 25 November 2019 kini beredar ke mana-mana. Dalam surat ditegaskan bahwa pembahasan penebangan mangrove di muara sungai Kalilo dilaksanakan atas dasar memperlihatkan surat dari Ketua RW.02 Lingkungan Ujung Kelurahan Kepatihan Banyuwangi Tanggal 4 November 2019 Nomor: 03/RW-02/2019 perihal penebangan mangrove. Hal ini seolah menekankan bahwa inisiatif penebangan mangrove berasal dari usulan masyarakat setempat.

Ada tiga alasan mengapa rekomendasi tersebut dilakukan (sebagaimana juga termaktub dalam surat) antara lain: (1) terjadinya tumpukan sampah yang tersangkut di akar pohon mangrove; (2) terjadinya sedimentasi yang membuat aliran sungai Kalilo tidak bisa mengalir dan banyak nyamuk; (3) kehidupan ikan dan sejenisnya sudah mulai punah.

KLIK INI:  Hujan Es, Peristiwa yang Lazim di Musim Pancaroba?

Dalam petisi penolakan disebutkan bahwa 4000 pohon mangrove yang ada di sepanjang pintu masuk pantai boom Banyuwangi tersebut tumbuh berkat kerja keras para pegiat lingkungan selama bertahun-tahun. Harapannya satu yakni agar mangrove tersebut dapat membantu agar air tidak meluap ke pemukiman.

Entah apa yang merasukinya?

Tapi, membaca surat edaran ini. Ke mana pola pikir ‘pintar’ pejabat ini sampai harus menebang pohon mangrove?” Demikian sebuah pertanyaan kritis diajukan dalam petisi penolakan. Faktanya, pemerintah Kabupaten Banyuwangi ternyata sudah pernah merencanakan hal yang sama di tahun 2015 juga dengan alasan yang sama.

Sampah. Argumen kunci yang dijadikan dasar penebangan mangrove. Apakah ini bisa dijadikan argumen rasional? Apakah hutan mangrove memproduksi sampah? Faktanya, sampah-sampah yang berserakan di akar bakau tersebut adalah kiriman manusia. Terlebih bila kawasan mangrove berada di dekat muara, sampah kiriman yang berasal dari aliran sungai tentu akan berkumpul di akar mangrove.

KLIK INI:  Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021, Restorasi Ekosistem dan Aksi Kita!

Saya teringat pernyataan seorang peneliti asal Jepang yang berkunjung ke suatu destinasi ekowisata mangrove di Sulawesi Selatan. Sang peneliti itu berujar: “Saya kagum dengan kawasan mangrove di Indonesia, termasuk di sini. Saya tak menjumpai hal begini di negara saya. Sayangnya, kenapa banyak sampah berserakan?” katanya. Ini suatu pernyataan kritis betapa pesisir kita adalah tempat berkembangbiaknya sampah kiriman dari daratan.

Dengan demikian, apakah rasional menjadikan sampah sebagai alasan penebangan mangrove? Rasanya sulit diterima akal sehat! Terlebih bila harus dibandingkan dengan betapa besar manfaat mangrove bagi kelestarian kawasan pesisir dan masyarakat di sekitarnya. Kawasan mangrove bahkan oleh negara dijadikan kawasan strategis dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia, melalui istilah zona jalur hijau.

Pelestarian mangrove diatur negara

Negara bahkan mengatur dengan tegas kelestarian mangrove agar tidak ditindak sembarangan, seperti dalam UU 27/2007 pada pasal 35 huruf f dan g disebutkan: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: (f) melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil; (g) menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri pemukiman dan/atau kegiatan lain.

Larangan tersebut sangat tegas, sanksi berat mengancam pelakunya. Sebagaimana termaktub dalam UU/27/2007 Bab 17 Ketentuan pidana Pasal 73 ayat 1 disebutkan bahwa pelakunya diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 Milyar rupiah, dan paling banyak 10 Milyar rupiah bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukannya.

KLIK INI:  Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar Perketat Pengawasan Pengelolaan Limbah Hotel

Dalam UU ini juga ditegaskan bahwa sama sekali tidak dibenarkan ada pengrusakan mangrove dalam bentuk konversi atau penebangan atas alasan kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan lainnya.

Hingga artikel ini diturunkan desakan pada Bupati Banyuwangi agar menolak penebangan mangrove terus mengalir mendekati angka 1000 tanda tangan. Semuanya berpulang pada pihak yang berwenang di Banyuwangi, tetapi kasus ini akan menjadi contoh sederhana bagaimana hutan bakau seringkali tergusur atas nama pembangunan.

Padahal, di banyak tempat di Indonesia kita membutuhkan mangrove bertumbuh sebagai pelindung kawasan pesisir. Banyak orang dan komunitas berjuang keras di atas karang cadas menanam dan merawat mangrove dengan satu harapan, mangrove tetap lestari.

Bila 4000 pohon mangrove di Banyuwangi babak belur karena alasan sampah, itu sama saja berkontribusi besar terhadap penambahan laju deforestasi hutan mangrove yang saat ini mencapai angka 2,2 % tiap tahunnya.

KLIK INI:  Dianggap Mirip, Ini Ajakan Menteri LHK kepada Ari Lasso!