Penangkap Kupu-kupu

oleh -100 kali dilihat
Riuh Kepak Sayap Kupu-kupu Bantimurung yang Berdendang
Kupu-kupu Bantimurung/Foto-Taufiq Ismail
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Asap

 

Aku baru saja menyeduh kopi. Tak kuberi gula. Kubiarkan saja pahitnya mengental di tenggorokan saat menyeruputnya nanti.

Kubiarkan kopi itu mendinginkan dirinya sendiri. Jadi, aku tak perlu meniupnya saat hendak menyeruputnya.

Kusaksikan dengan penuh perhatian asapnya. Asapnya lesap bersama asap pekat dari arah penyulingan daun cengkeh. Itu membuatku batu-batuk dan memerihkan mataku.

Seketika saja. Mataku meneteskan gerimis. Aku tak sedih. Mataku hanya perih saja. Sejak penyulingan daun cengkeh itu berdiri. Mata warga telah ditumbuhi gerimis. Pandangan memburam.

KLIK INI:  Delias Rosenbergi, Kupu-Kupu dengan Sayap Menawan Memanjakan Mata

Banyak warga kini terancam buta. Banyak dari mereka tak lagi saling mengenal wajah. Satu sama lain hanya dikenal dengan suaranya.

Jadi, omong kosong jika ada yang mengatakan, bahwa wajah adalah identitas pertama seseorang. Di kampungku itu tak berlaku. Identitas pertama adalah suara. Tepat ketika penyulingan daun cengkeh di tengah pemukiman itu mengeluarkan asap.

***

Seminggu lalu. Panrasu, baru pulang dari tanah suci, Mekah. Ia menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Datuna. Kini keduanya bergelar haji.

Keduanya naik haji saat musim peceklik. Saat cengkeh tiada berbuah. Makanya, hajinya terlalu istimewa. Saat cengkeh tak berbuah selama tiga tahun beruntun. Pasangan suami istri itu mendirikan penyulingan daun cengkeh.

Hanya dalam waktu tiga tahun saja. Keduanya mampu naik haji. Kata orang, keduanya menggunakan jalur lain, tak ikut jalur pemerintah yang mengharuskan antri.

***

Aku menyeruput kopiku. Rasanya tak lagi berbau kopi. Tapi berbau asap daun cengkeh. Pedih. Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu dan memberi salam.

Aku menoleh ke arah suara itu, tapi mataku telah berkabut. Buram. Aku tak bisa melihat siapa yang datang.

“Ini air zam-zam, teteskan ke matamu, Kamaseng.” Orang yang datang bertamu itu menyodorkan sebotol air zam-zam. Aku merabanya.

“Kamu siapa?” Tanyaku

“Haji Panrasu,” jawabnya.

“Cepat sembuh, daun cengkehmu telah menumpuk,” katanya.

Aku meraba botol gelas kopiku, ingin sekali melemparnya

 

tandabaca, 2023

KLIK INI:  Pohon Kehidupan

 

Sawah Sampah

 

Gerutu Sumardi terdengar jelas. Padahal jaraknya cukup jauh. Aku bayangkan wajahnya merah darah karena marah.

Bagaimana tidak. Padi yang baru tiga minggu ditanamnya. Kini tertimbun sampah. Sawahnya berubah jadi toko yang menyediakan semua kebutuhan. Hanya saja wujud dan namanya telah berubah jadi sampah.

Ia mengais-ngais tumpukan sampah di sawahnya itu menggunakan parangnya. Sesekali ia menebas ranting kau yang menancap.

Aku memerhatikannya dari jauh. Takut jika menegurnya, parangnya mengarah kepadaku. Apalagi di tanganku, masih ada ember berwarna hitam. Tempat sampah di rumah yang baru saja aku tuangkan isinya ke dalam drainase di belakang rumah.

Tugas membuang sampah, biasanya jatuh pada istriku. Tapi hari ini ia datang bulan. Hari pertama. Makanya ia lebih suka meringkuk di tempat tidur.

“Kurang ajar, tidak ada pancasilanya yang buang sampah di drainase.” Samar kudengar umpatan Sumardi.

Kupingku memerah mendengarnya. Aku ingin teriak. Menantangnya berkelahii. Tapi, kulihat parangnya yang panjang mengilat. Aku urung. Kupilih pulang ke rumah diam-diam. Tanpa terlihat olehnya.

KLIK INI:  Kudengar Bisik Alam Memanggilmanggilku

Kebiasaan membuang sampah di drainase memang telah turun temurun. Nenek istriku, lalu ibunya juga melakukannya. Kini kebiasaan itu diwariskan kepada istriku.

Kami tak pernah berpikir akan memiliki dampak buruk yang besar. Sebab saat hujan datang dan air membesar. Sampah-sampah itu menghilang. Draniase bersih. Bahkan anak-anak akan senang berenang.

Nyatanya tak demikian. Sampah-sampah itu jadi penghuni sawah dan ladang warga. Banyak yang dirugikan. Aku merenungi itu, hingga tak terasa sampai ke tangga rumah.

Saat aku menoleh ke atas rumah. Kulihat istriku menjinjing kantong plastik hitam.

“Sekalian buang dulu pembalutku di drainase!” pintanya

Mataku melotot. Bayangan parang panjang Sumardi menari-nari.

 

Tandabaca, Agustus 2023

 

 Penangkap Kupu-kupu

 

Sejak Arani menangkap kupu-kupu unik itu di kebunnya. Lalu dengan iseng ibunya memposting di media sosialnya.

“Mainan baru anak daraku.” Begitu keterangan pada foto kupu-kupu itu. Tiga jam pertama adem-adem saja. Tak ada notifikasi suka atau komentar masuk.

Namun, setelah tiga jam lewat tujuh menit. Suara notifikasi menyerbu gawai Apriana, ibu dari Arani. Berbagaia komentar datang dar orang asing. Jumlah yang membagikan postingannya mencapai 5987 kali.

“Dapat di mana kupu-kupu ini?”

“Alamatnya di mana?”

“Harganya berapa?”

“Saya kira kupu-kupu ini telah punah,”

KLIK INI:  Dadamu Deru Ombak

Dan ribuan komentar serupa menyerbu kolom komentarnya.

Warga sekitar yang melihat keheboan pada postingan Apriana itu. Sontak, tanpa dikomandon berbondong-bondong ke rumah Apriani.

Apriani kaget, sebab di halaman rumahnya, warga tumpah ruah. Mereka ingin melihat langsung kupu-kupu yang ditangkap oleh Arani.

Namun, Arani, gadis cilik enam tahun itu. Enggan memperlihatkannya. Ia memasukkannya ke dalam toples. Toples itu didekapnya dengan seluruh perasaannya.

Orang-orang yang datang ingin melihatnya langsung. Mulai tak sabaran. Ayah Arani membuat kotak amal secepat kilat.

Bagi yang ingin melihat kupu-kupu itu, harus mengisi kotak amal terlebh dahulu.

Dalam waktu singkat saja. Kotak amal penuh. Orang-orang mulai beringsut naik ke rumah panggung Apriana. Rumah panggung itu tak muat.

Namun, demi melihat kupu-kupu yang langka, orang yan datang tak lagi peduli. Padahal dulu, kupu-kupu sejenis yang ditangkap Arani  sangat banyak di kampung itu.

KLIK INI:  Lipa' Sa'be

Kini semakin banyak yang datang ingin melihat kupu-kupu itu. Arani meraung-raung ketakutakan. Kupu-kupu di dalam toples itu di pamerkan oleh ayahnya.

“Buka tutup toplesnya!” pinta salah seorang pengunjung yang diamini oleh yang lain. Ayah Arani membukanya. Kupu-kupu itu terbang. Orang-orang berlomba ingin menangkapnya.

Perabot rumah berjatuhan karena orang berkejaran. Lalu, rumah panggung keluarga Arani itu roboh mencium tanah.

Puluhan orang tewas dalam peristiwa penangkapan kupu-kupu langkah itu. Yang mengalami luka-luka tidak pernah dihitung hingga kini.

 

Tandabaca, Agustus 2023

KLIK INI:  Pengisap Ingatan