Pengisap Ingatan

oleh -402 kali dilihat
Penghisap Ingatan
Ilustrasi-foto/cerano.id
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Kepalaku sedang dihuni banyak belatung. Mereka berkembang biak sangat cepat. Memakan semua kenangan dan ingatan di dalam otakku.

Tak ada lagi ingatan yang bisa kuingat, dan itu membuatku merasa lebih baik. Aku kerap berdoa agar ingatan tak lagi mampir di kepalaku.

Namun, ada hal baru yang mulai kulakukan selama empat hari ini. Aku senang menghabiskan waktu di sebuah  bukit kecil dengan pohon cengkih rimbun.

Tapi sial, setiap aku ke bukit kecil yang dihampari pemandang menakjubkan itu. Ingatanku kembali sepotong-sepotong. Seolah semua awal kehidupanku kembali diputar. Dan belatung perlahan berhenti bernapas di kepalaku. Satu demi satu.

KLIK INI:  Perspektif Alam dalam Novel Ayu Utami: Apakah Keindahan Perlu Dinamai?

Meski kerap aku berdoa agar ingatanku tak kembali. Aku juga disesaki rasa penasaran, bagaimana rupa masa laluku, siapa ayah, ibu, saudara, dan siapa kekasihku.

Karenanya, mengunjungi bukit kecil itu telah jadi ritus soreku. Semisal hari ini, akan menjadi kunjunganku yang kelima secara berturut-turut.

Harusnya telah menjadi yang keenam. Tapi di hari pertama, di mana harusnya aku ke bukit kecil itu telah  gagal karena hujan lebat.

Sungai kecil yang harus aku lewati meluap. Aku tak bisa lewat. Jembatan bambunya terhalang. Maka di hari yang harusnya jadi hari pertama itu tak tertunai.

Sangat lama aku duduk di tepi sungai—menunggu airnya surut, tapi tak surut-surut hingga malam tiba dan aku pulang ke rumah.

Semua rumah di kampungku telah kuanggap sebagai rumahku. Aku bebas di mana mau tidur atau membuang tahi.

Ingatan yang kembali

Setiap aku ke bukit kecil itu, aku hanya akan duduk saja menatap sawah yang eksotik yang telah  kulang ‘tidak digarap’

Aku suka bukit kecil itu—riuh burung pipit akan menghiburku. Dan di sana aku bisa mengumpulkan ingatanku sepotong-sepotong. Dan juga mengubur belatung yang berjatuhan dari kepalaku.

Belatung itu cukup rapuh. Setiap ada satu peristiwa yang kuingat, seekor dari mereka akan jatuh lalu aku menguburkannya di atas bukit kecil itu dengan sangat layak.

Aku buatkan makam sendiri dengan hanya satu nama ‘pengisap ingatan’.

Aku selalu berharap tak ada yang menemukan bukit kecil itu lagi selainku. Dulu sangat banyak orang datang ke bukit kecil itu.

Sisa-sisa aromanya bisa diciumi oleh belatung di kepalaku. Dan  harapanku itu sepertinya akan berlangsung sangat lama.

Aku jadi penghuni terakhir kampung terpencil ini. Saat itu, satu lagi belatung terjatuh dari kepalaku karen aku ingat Maring, lelaki pertama yang menemukan belatung di kepalanya.

Lalu belatung itu menjangkiti kepala semua orang di kampungku. Semuanya, dan kamu bisa menebak apa yang terjadi pada akhirinya. Semuanya mati. Tubuh hingga tulang belulangnya tak ada yang tersisa. Semuanya jadi pakan para belatung.

Dan anehnya. Jika saya telah sampai di bukit kecil itu. Semua ingatan itu bisa datang satu persatu. Namun sialnya, begitu banyak ingatanku kembali, maka rasa kesepian juga merekah beringas.

Hal paling aku benci adalah kesepian, karena itu pula aku kadang enggan ke bukit kecil itu, sebab semua ingatanku bisa saja kembali jika ke sana.

Bila itu terjadi, rasa kesepian akan membuntutiku. Itu akan lebih mengerikan daripada kehilangan ingatan. Namun, begitu ingatanku kembali sepotong-potong. Rasa penasaran membiak pula dalam diriku. Aku ingin ingat semua hal dari masa laluku.

KLIK INI:  Sebatang Pohon Mata
Pelukan rasa takut

Hari ini, pada kunjunganku yang ketujuh belas ke bukit kecil itu. Aku seperti melihat seseorang berjalan ke bukit itu. Ia memakai gaun ungu muda dan  berjilbab hitam dengan sorot mata memanah kepadaku. Aku menatapnya. Namun, begitu aku berkedip ia menghilang.

Untuk pertama kalinya, sejak Maring berpulang karena jadi makanan belatung yang kemudian disusul oleh ribuan orang. Itu pertama kalinya aku kembali merasakan rasa takut.

Aku merinding dan berlari turun dari bukit kecil itu. Berteriak sejadi-jadinya. Namun,  karena tak ada lagi orang yang menghuni kampungku. Teriakanku terasa hampa dan menghantam pendengaranku sendiri. Burung pipit beterbangan karena kaget.

Rupanya rasa takut bisa membunuh pula belatung di kepalaku. Bahkan lebih banyak daripada ingatan yang kembali padaku.

Ketika rasa takut merasuk ke hatiku. Tiga ekor belatung berjatuhan. Sayangnya, aku tak sempat menguburnya karena keburu lari terbirit-birit.

Ketika aku berada agak jauh dari bukit itu. Aku periksa celanaku. Tak basah. Itu artinya aku tak kencing celana karena takut.

Dari jauh, aku memandangi bukit kecil itu, mencoba memperhatikan segalanya dengan detail.  Aku ingin memastikan perempuan berbaju ungu itu benar-benar ada.

Dan dari jauh aku melihatnya melambai kepadaku. Tentu saja aku takut mendekat. Aku hanya melihatnya saja tanpa kedip. Takut jika kedipanku datang. Ia kembali akan menghilang lalu tetiba saja berdiri di sampingku.

KLIK INI:  Sungai dan Napas Bapak
Kegembiraan tanpa orang

Aku menatap sekelilingku. Burung-burung mulai mencari tempat beristirahat. Ngengak mulai pula bermunculan tanda malam akan segera tiba.

Aku berjalan menuju rumah Maring untuk mengambil badik. Sejak kampung ini aku huni seorang diri. Aku bebas tidur di rumah siapa saja, seperti yang kukatakan dari awal, semua  rumah telah kuanggap rumahku sendiri. Sudah lima tahun kisahku ini berjalan.

Tak ada sesiapa yang pernah berkunjung. Bahkan aku pernah berjalan hingga keempat penjuru perbatasan kampung. Semuanya tertutup rapat.

Ketiadaan orang yang menghuni kampung ini selainku. Membuat  tumbuhan merambat jadi pemandangan mengerikan. Rerumputan semakin tumbuh liar dan subur. Pepohonan semakin tinggi, dan satwa mulai marak

Satwa dan tumbuhan seperti merayakan kemerdekaannya. Karena tak tangan orang yang mengusiknya.

Iya, sejak tak ada orang menghuni kampung ini selainku. Burung-burung lebih banyak berkicau, bunga-bunga tumbuh subur dan mengundang banyak kupu-kupu.

Pepohonan pun lebih hijau. Dan yang menarik lagi, dulu sungai yang kering kembali dialiri air. Sumur-sumur yang dulu kering pun membanjir.

Kopi, cengkih, cokelat  hingga markis berbuah lebat. Aku tak penah kekurangan makanan. Pun sawah begitu, jika ketika banyak orang yang masih menghuni kampung ini, air di sawah  menghilang. Kini sawah itu kembali dialiri air.

Tapi, aku tak menggarap sawah-sawah itu. Kubiarkan saja kulang. Sebab persedian berasku masih banyak.

Dan semua satwa yang berbahaya dan tak berbahaya banyak bemunculan, semisal ular dan buaya mudah aku temukan. Sstt aku ingat buaya. Di kampungku makhluk itu dianggap penjaga air.

Terlalu banyak hal yang muncul dan menggembirakan selama tak ada orang selain aku. Tak ada pula sampah berserakan. Air lebih jernih.

Apalagi karena tak ada yang berani mendekati kampung ini. Sebab mendekatinya berarti maut.

KLIK INI:  Tangisan Selembar Daun
Mangsa terakhir

Belatung yang memangsa semua orang di kampung ini tak keluar kampung mencari mangsa lain. Hanya di kampungku saja.

Dan aku adalah mangsa terakhir dari belatung itu.

Tapi, bagaimana dengan perempuan berbaju ungu itu? Apakah dia kesasar lalu menemukan kampungku?

Atau dia datang untuk mengeluarkanku dari ketakutan yang paling aku hindari. Kesepian.

Dengan sangat ringan, ketika malam berjalan perlahan. Aku kembali ke bukit kecil itu. Badik yang kuambil dari rumah Maring tak kusarungkan. Aku perhatikan, ada yang aneh kunang-kunang memenuhi bukit itu, terang benderang.

Perihal kunang-kunang. Makhluk berkelip-kelip itu telah lama menghilang ketika kampungku masih dihuni banyak orang dengan lampu yang benar-benar terang.

Aku berjalan  ke arah bukit kecil itu. Sementara kurasa belatung berpesta pora di kepalaku karena rasa takutku menghilang. Tapi, hanya sekejap, sebab dalam perjalanan menuju bukit kecil itu. Ingatanku lebih banyak kembali.

Maka di sepanjang jalan, belatung-belatung itu berjatuhan tanpa nyawa.

Ketika langkahku semakin mendekati bukit kecil itu, cahaya bulan seolah memandu jalanku. Ketika aku sampai. Sepi meraya-rayap.

Aku temukan tiga ekor belatung yang tadi jatuh dari kepalaku karena takut masih tergelak tanpa kekurangan apa-apa.

Dan tarian kunang-kunang yang kulihat dari jauh tadi tiada. Yang ada hanya sepi dan desir angin yang mengantar kengerian.

Aku kembali merinding takut dan enam ekor belatung berjatuhan dari kepalaku.

Dengan langkah waspada aku berjalan ke arah rumah-rumah kecil yang ada dibukit kecil itu mencari cangkul. Aku ingin menguburkan belatung yang jatuh dari kepalaku dengan layak. Para belatung itu yang telah setia menemaniku selama ini.

Ketika aku membuka pintu rumah kecil itu, kunang-kunang berhamburan ke wajahku. Kunang-kunang itu memangsa semua belatung di kepalaku tanpa sisa.

Aku sepertinya pingsan setelah serbuan itu. Aku bangun ketika matahari mengintip di sebelah timur bukit kecil itu.

Bukitan rasa malu

Aku temukan diriku tanpa sehelai pakaian. Aku benar-benar telanjang. Rasa dingin menyergapku. Aku menutup kemaluanku dengan kedua telapak tangan.

Pandangan kuedarkan. Untuk pertama kalinya pula rasa malu menghantam diriku. Aku malu telanjang, malu kemaluanku terlihat orang. Meski aku tahu tak ada sesiapa di kampung ini selainku.

Aku melihat sekelilingku sekali lagi dan tak ada sesiapa. Aku mengusap kepalaku lalu terkaget sendiri. Tak ada lagi belatung yang menghuni kepalaku.

Aku berjalan turun dari bukit dengan tangan menutupi kemaluanku. Rasa malu tiba-tiba lebih besar daripada rasa takut dan kesepian.

Kindang, 6 Oktober 2020

KLIK INI:  5 Kisah Fiksi Inspiratif dalam buku “Bukan untuk Dibaca” dengan Metafora Alam