Akar Leluhur

oleh -255 kali dilihat
Akar Leluhur
Ilustrasi kayu bakar-foto/Pixabay
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Sibuk.  Kata itu tertulis di pintu rumahnya. Beberapa hari ini ia memang jarang kelihatan. Ia tak pernah lagi berkumpul dengan warga lainnya. Apalagi menerima tamu di rumahnya. Daeng Kulle dan keluarganya memang sibuk sekarang.

Aku pernah melihatnya keluar rumah ketika hari masih subuh buta. Pulang ketika kokok ayam pertama mulai terlantun. Kira-kira dini hari. Tapi, mungkin hanya aku sendiri yang pernah melihatnya. Dan hanya Daeng Kulle yang kulihat. Entah di mana Daeng Ci’nong, istrinya dan Salmia anak tunggalnya.

Ia tetanggaku, hanya dibatasi tembok. Temboknya terbuat dari bambu, kira-kira hanya   satu meter tingginya. Ada jalan khusus yang dibuka, jadi memudahkan kami jika ingin ke rumahnya, atau keluarga Daeng Kulle ingin ke rumah kami.

Hampir tiap pagi Daeng Kulle berkunjung ke rumah. Sebelum berangkat mengajar. Bertemu  ayahku sambil menikmati kopi hitam tanpa gula. Atau kami sekeluarga ke rumahnya untuk menonton, karena di rumah tidak ada TV. Jadi, keluarga Daeng Kulle cukup akrab dengan keluargaku.

KLIK INI:  Setangkai Bunga Surga
*****

Namun sejak tulisan sibuk menempel di pintunya, tak ada lagi tradisi itu. Anehnya tak ada juga warga yang mau bertanya kenapa Daeng Kulle sibuk terus? Apa kerjanya?

Padahal beliau sudah digadang-gadang untuk menjadi kepala desa, karena orangnya bersahaja dan disegani. Mungkin karena saking diseganinya, tak ada yang berani bertanya. Hanya bisik-bisik yang terdengar. Semua warga di desa Passibajikang  menciptakan opini sendiri tentang Daeng Kulle.

Ada yang mengira Daeng Kulle jadi gerbong teroris., ada yang menganggap Daeng Kulle jadi babi ngepet dan ada juga yang mengatakan Daeng Kulle jadi penjaga setia di perbatasan kampung desa. Ia jadi pengintai untuk melacak gerbong teroris yang sewaktu-waktu bisa memasuki wilayahnya.

Jika yang terakhir itu benar. Alangkah mulianya hati Daeng kulle dan keluarganya. Menyabung nyawa demi tanah tumpah darahnya. Jarang bisa ditemukan orang sepertinya.

Pekerjaan sebagai tenaga pengajar, membuatnya gampang berinteraksi dengan orang sekelilingnya. Dia juga telah lama berdiam di desa itu. Bahkan menurut nenekku, leluhur Dg Kulle yang pertama menempati  Desa Passibajikang.

KLIK INI:  Ditetak Ayah
*****

Dinamai Passibajikang karena di tempat itu ada  batu besar, dulu kalau ada yang berselisih, maka di atas batu itulah diselesaikan permasalahannya. Dulu juga masih menurut nenekku Desa Passibajikang adalah hamparan sawah yang luas. Dengan bukit-bukit yang indah.

Namun sekarang sisa sawah tak lagi ditemukan. Telah ditanami beton, untuk kantor dan perumahan. Sementara rumah warga  tetap sama, terbuat dari dinding gamacca dan papan yang menempel seadanya.

Bukit telah diratakan untuk menimbun sawah.  Sehingga kalau hujan sehari bahkan setengah hari saja maka akan ditemukan genangan air yang cukup tinggi. Bahkan tak jarang air masuk ke rumah warga.

*****

Wajar kalau keluarga Dg kulle cukup disegani dan dikenal baik di desaku.  Tapi bukan berarti Daeng Kulle dan keluarganya lantas berbangga dan seenak perutnya saja. Daeng Kulle sangat menghormati orang lain. Di darahnya mengalir darah Bugis-Makassar yang kental.

“Daeng Kulle ke mana, Nek?” tanyaku kepada nenek pagi tadi.
“Kurang tahu juga, Nak,” jawab nenek
“Apakah dia terlibat kasus teroris nek?
“Ah jangan berprasangka buruk pada orang lain. Daeng Kulle itu orang baik-baik, tidak mungkin  melakukan hal seperti itu.”
“Tapi banyak orang bilang, Nek?”
“Jangan percaya omongan orang sebelum ada bukti”
“Tapi, Nek”
“Sudah, tidak usah dipikirkan. Daeng Kulle pasti akan kembali. Kamu ke rumah Dg Sattu  beli  minyak tanah!”
“Iye, Nek”

KLIK INI:  Kecupan Kemarau

Aku melangkah menuju rumah H. Sattu, dia merupakan raja minyak tanah di desaku. Meski minyak tanah susah, di pangkalam H. Sattu tak pernah ada habisnya
Tabe Haji, ada minyak tanahta?” Tanyaku
“Habis, Nak”
“Kok bisa? Padahal di panggalan ini kan selalu tersedia?”
“Iya kurang tahu juga kenapa bias.”
“Di mana ada?” Tanyaku lagi, padahal kutahu tak akan ada penjual lagi karena kalau di pangkalan H. Sattu telah habis pasti yang lainnya juga akan habis.

Aku harus pulang dengan kepala tertunduk dan siap-siap, asap tidak mengepul di dapur kami. Karena ibuku takut menggunakan tabung kompor gas tiga kilogram yang dibagikan pemerintah. Bukan hanya ibuku, hampir semua warga takut menggunakannya. Katanya tingkat keamanannya kurang baik. Rawan meledak. Tidak ada juga yang tahu kenapa minyak tanah bisa kembali langka. Seperti juga Daeng Kulle tidak ada yang tahu keberadaannya.

Padahal tempat tinggal kami, sebuah desa tapi kayu bakar sudah susah didapat. Pohon telah ditebang. Demi meraih predikat desa bersih. Lalu dibuatlah taman yang indah. Taman yang banyak tertulis “DILARANG MELINTAS”.

KLIK INI:  Segelas Kopi Pertemuan
*****

Aku masih tertunduk menatap ayunan kakiku. Bayangan Salmia, anak tunggal Daeng Kulle yang berparas menawan bermain manja di benakku. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba ada rindu menikamku tentangnya. Padahal Salmia seperti sauadaraku sendiri. Tapi sejak kata sibuk tertulis di pintu rumahnya, sejak itu aku mulai mengkhawatirkannya.

Aku senang menghabiskan senja dengan memandang bangku panjang yang terletak di taman belakang rumahnya. Biasanya kalau jingga mulai lahir di lazuardi, Salmia akan duduk di bangku itu sambil membaca novel kesukaannya. Aku senang mengganggunya, ketika dia serius melahap bacaannya. Dia kelihatan tambah cantik kalau pipinya memerah karena marah, lalu cahaya jingga menyempurnakannya.

Tanpa kusadari ayunan langkahku hampir melewati rumahku. Karena bayangan Salmia kian menggugah perasaanku. Kian sempurna.
“Nek, minyak tanah habis di pangkalan H Sattu,”
“Apa…..???” Sahut nenek terkejut, ibuku juga tidak kalah terkejutnya.
“Lalu dimana kita bisa dapat minyak tanah,  Sudding?” Tanya ibu dan nenekku bersamaan. Aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya tidak perlu kujawab dengan kata tanya mereka, karena kedua orang yang amat kukasih itu pasti tahu, di desa kami tidak ada lagi yang minyak tanah.

KLIK INI:  Mikroplastik di Dada Ibu
*****

Ibuku duduk lesuh di kursi plastik yang telah kusam warnanya. Ia mengurut keningnya. Mungkin dalam pikirinnya. Asap tak bisa lagi mengepul di dapur, lalu kami makan apa?.

Aku harus mencari cara, mencari kayu bakar di kampung seberang, karena di desaku kayu bakar juga semakin susah seperti halnya minyak tanah. Pohon-pohon diganti dengan tanaman bunga dan pohon yang tidak di izinkan ditebang oleh pemerintah.

Kian rumit saja permasalahan yang menderah warga, banyak warga mengeluh dan merasa dikerjai oleh pemerintah. “Apakah pemerintah tidak punya lagi kerjaan sehingga yang dikerjakan menyusahkan warganya sendiri,” kata-kata seperti itu tidak asing lagi kudengar dari warga sejak minyak tanah mulai langka.

Untunglah beberapa bulan sebelum minyak tanah langka, pembagian tabung kompor gas kecil berwarna hijau muda telah dijadikan penawar kecewa, meski anggarannya ada juga yang disunat. Tidak ada jalan lain, lorong dan bahkan jalan setapak pun tertutup, warga harus menggunakan kompor gas bertabung hijau itu. Rasa takut harus dilawan.

Kini hampir semua warga tidak lagi bisa berkumpul di balai-balai atau di taman desa yang sudah didesain sedemikian rupa indahnya. Sejak warga menggunakan kompor gas bertabung kecil, waktunya nyaris terkuras untuk menjaga kompor itu agar tidak meledak.

Tak ada lagi perbincangan tentang Daeng kulle. Warga larut dalam kobaran si mungil hijau itu. Warga mungkin mengerti kenapa Daeng Kulle jarang kelihatan keluar rumah. Atau kalau keluar selalu pagi buta dan pulang dini hari. Tak ada tanya itu lagi. Warga mengira Daeng Kulle dan keluarganya juga sibuk menjaga kobaran kompor hijau itu.

Kini di rumah warga termasuk di rumahku bergantungan tulisan lagi sibuk menjaga kompor gas mungil bertabung hijau, agar tidak meledak. Ahh, aku selalu ketawa ketika membaca tulisan itu. Benar-benar warga telah dibuat takut oleh tabung kompor mungil itu.

KLIK INI:  Puisi Tentang Lingkungan dari 5 Penyair Dunia Paling Menyentuh
*****

Lalu bagaimana dengan Daeng Kulle, benarkah beliau hanya tinggal di rumah untuk menjaga tabung kompor tersebut agar tidak meledak?. Kalau hanya begitu, aku ingin menemui Salmia sebentar senja di banggu panjang belakang rumahnya, aku ingin mengganggunya. Aku harus ketemu dengannya, biar bagaimanapun ada rindu yang terus mengetuk relung hatiku. Rasanya aku telah jatuh cinta pada anak tunggal Daeng Kulle tersebut.

Aku menjadi lelaki yang terpasung dalam sepi. Teman kanak-kanakku telah banyak yang menikah, belum lagi yang merantau, belum lagi yang melanjutkan pendidikannya di ibukota provinsi. Aku tak bisa melanjutkan pendidikan karena persoalan ekonomi keluarga. Jadilah aku lelaki penunggu pos ronda. Kesepian itu kian terasa ketika Salmia yang baru duduk di kelas tiga esema menghilang.

*****

Senja ini kuturuti rencanaku untuk mendatangi rumah Daeng Kulle, beberapa hari yang lalu aku selalu ingin ke sana, hanya di desaku ada tradisi yang tidak boleh memasuki pekerangan orang lain kalau penghuninya tidak ada di rumahnya. Tapi senja ini aku ingi melanggar tradisi ini. Demi rindu yang merongrongku. Aku harus ketemu dengan Salmia, aku ingin menatap lesung pipinya yang rekah. Menikmati parasnya yang menawan. Tutur sapanya yang teratur dan terjaga.

Ia memang mewarisi sifat-sifat ibunya yang lemah lembut. Ternyata tidak ada yang berarti selama ia masih berada di sisi kita. Sesuatu baru terasa berarti ketika ia telah melangkah jauhi tapak dan pandangan kita seperti Salmia bagiku.

KLIK INI:  Destinasi Pepohonan

Aku menarik napas, ketika ingin melangkah masuk ke halaman rumah Daeng Kulle. Sempat kudengar ibuku marah-marah terhadap pemerintah yang menghilangkan minyak tanah seenaknya .

“Ia pikir rakyat telah kaya semua,” begitulah yang kudengar sekilas. Kalau ibuku mengeluh begitu, maka ayahku hanya akan terus mengeluarkan pandangan-pandangan cemerlangnya. “Kita ini selalu saja menyalahkan pemerintah, menyumpahi, tapi kalau ia datang ke kampung kita, semua yang enak-enak disuguhkan, bendera dinaikkan, lalu bagaimana mereka tahu kalau hidup kita melarat,” ungkap ayahku, aku hanya tersenyum sambil berlalu.

Dengan perasaan deg-degan, aku melangkah masuk kehalaman belakang rumah Daeng kulle, mataku terbelalak menyaksikan tumpukan kayu bakar yang sudah di ikat dengan nama warga di desaku tertempel pada tiap ikatan kayu bakar itu. Ada juga nama ayahku ditumpukan kayu itu.

Di salah satu bangku yang ada di pojok agak tersembunyi kulihat Salmia menggerak-gerakkan sesuatu diwajahnya untuk mengusir  panas dan peluhnya. Ia tersenyum ketika melihatku, aku tertunduk. “Jadi ini yang membuat keluarga ini sibuk,” simpulku.

Makassar, 09 Agustus 2009

KLIK INI:  Meresapi 6 Puisi Taufiq Ismail yang Beraroma Alam