Menghela Napas di Tumpukan Sampah Tamamaung, Makassar

oleh -161 kali dilihat
Aktivitas bongkar sampah di TPS Tamamaung-foto/Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Tak semua orang dapat setia pada pekerjaannya. Apalagi jika pekerjaan itu dianggap remeh dan sebelah mata oleh banyak orang.

Namun, Saripuddin bisa masuk pengecualian. Ia setia melakoni pekerjaannya sebagai petugas kebersihan atau pengangkut sampah di Kota Makassar selama 17 tahun.

Ia bertugas di Kelurahan Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Makassar. Empat kali sehari ia akan mendatangi rumah warga, mengambil sampahnya. Lalu membawanya ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah Tamamaung. Sebelum berpindah ke Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) Tamangapa, Antang.

Tanpa peralatan

TPS itu kini berpindah tempat ke Jalan Sukaria 18, tepat di tepi kanal yang berair hitam pekat dan berbau. Di TPS itulah Saripuddin akan membongkar muatannya. Ia membongkarnya dari kendaraan roda tiga—yang lebih dikenal dengan nama viar.

KLIK INI:  Menteri LHK akan Kunjungan Kerja ke Makassar dan Gowa, Ini Jadwalnya

Pembongkaran sampah yang dilakukan oleh Saripuddin dan 11 orang rekannya itu, ada yang melakukannya dengan cara manual, dengan tangan kosong—tanpa kaos tangan, sepatu, dan alat lainnya.

Para pekerja di kelurahan yang memiliki luas wilayah 0,05 km², yang terdiri dari 62 RT dan 8 RW (Wikipedia) itu, sebagian memang tak menggunakan perlengkapan sebagaimana mestinya.  Bukan berarti perlengkapannya tak ada. Ada disiapkan pihak kelurahan, hanya saja rasa nyaman tanpa menggunakan alat tersebut jadi alasannya.

Misalnya menggunakan kaos tangan, menurut Saripuddin akan membuat tangan gatal bahkan luka sebab kaos tangan itu akan basah.

Penggunaan sepatu boots pun begitu, rasa panas akan menyerang kaki. Pun demikian dengan pengais, menghambat pekerjaan. Karenanya, para pekerja itu tak menggunakannya. Meski ada ancaman yang mengintai, semisal terisis kaca beling yang banyak bercampur dengan sampah rumah tangga.

“Jika hanya sampah rumah tangga, jumlahnya tak banyak. Hanya saja banyak warga yang mencampur adukkan sampahnya, tanpa pemilahan,” jelas lelaki yang telah memiliki lima anak tersebut.

Saripuddin mengawali “karier” sebagai tukang becak atau pengayuh becak di Kota Makassar pada tahun 1995. Kemudian ia “naik kelas” pada pekerjaan yang lain yang masih dilakoninya hingga sekarang, yakni sebagai tenaga kebersihan.

Ia telah menjadi petugas kebersihan di dua tempat, 9 tahun BKM atau kelurahan dan 8 tahun bekerja di kecamatan hingga sekarang.

KLIK INI:  Ekonomi Sirkular, Manfaat dan 3 Jalan Mewujudkannya

Saya bertemu dengan lelaki kelahiran Galesong, Gowa itu pada suatu pagi yang terik. Tepatnya Rabu, 5 Juli 2023.

Saat itu, saya menginap di rumah keluarga di Sukaria 18. Saat menyeruput kopi bau sampah merasuk ke dalam rumah, lalu ke hidung.

Sejak jalan diperbaiki dan TPS berpindah. Pagi hari di Sukaria 18 tak bisa dilepaskan dari aktivitas penganggukatan dan bongkar sampah.

Karena diliputi rasa penasaran, bagaimana banyaknya tumpukan sampah warga Tamamaung. Saya  keluar rumah ingin menyaksikan langsung proses bongkar sampah itu.

Saya mendekati tempat penampungan sampah sementara itu. Para “pegawainya” terlihat serius membongkar muatan dari viar ke kontainer sampah yang disiapkan. Ada dua kontainer, satu di antaranya sudah koyak sana-sini dan semestinya telah tak layak pakai. Dan satu mobil truk—semuanya penuh sampah pagi itu.

Aktivitas pengangkutan dan pembongkaran sampah di Tamamaung tak hanya pagi hari saja. Menurut Saripuddin empat kali sehari—yang dilakukan oleh Viar. Ada 12 Viar yang beroperasi di Tamamaung, 2 kontainer dan 2 mobil Rantasa. Mobil Rantasa ini beroperasi pada sore hari.

Aktivitas bongkar sampah di TPS Tamamaung-foto/Ist
KLIK INI:  Imlek dan Mitos Hujan Rintik-Rintik
Minim pemilahan sampah

Pemilahan sampah masih sangat minim dilakukan masyarakat. Masyarakat terbiasa mencampur adukkan sampahnya dalam satu wadah. Wadahnya pun dominan sampah plastik.

“Tidak ada pemilahan, bahkan kami kadang mendapatkan bangkai tikus atau kucing dicampur dengan sampah rumah tangga,” ungkap Saripuddin, “Bahkan kadang ada popok orang dewasa yang penuh kotoran manusia,” tambahnya.

Meski petugas kebersihan di Tamamaung cukup memadai dengan aktivitas pengangkutan sampah hingga empat kali sehari. Namun, masih banyak warga yang membuang sampahnya di sembarang tempat. Memang membuang sampah bukan pada tempatnya, rasanya telah mendarah daging.

“Padahal langganan sampah hanya Rp.20.000 perbulan. Namun, masih ada yang tak mau berlangganan,” keluh Saripuddin.

Meski begitu, diakui Saripuddin ada juga beberapa warga yang tidak berlangganan, namun secara sadar membawa sendiri sampahnya ke TPS Tamamaung.

Apa yang dikatakan lelaki yang kelahiran 1980 itu memang benar. Saat saya berbincang dengannya, beberapa warga datang membuang sendiri sampahnya.

KLIK INI:  Abrasi Sungai Jeneberang Mulai Cemaskan Warga Parangtambung
Perihal gaji

Bercerita tentang gaji petugas kebersihan yang bertugas di Kelurahan Tamamaung. Menurut saripuddin lebih dari cukup.

“Lumayan, 2,5 juta sebulan bersih karena bahan bakar ditanggung pihak kelurahan dan kecamatan” ungkapnya. “Yang membersihkan sampah berceceran di sekitar kontainer, gajinya 1,5 juta sebulan,” lanjutnya.

Hanya saja menurutnya penggajian “karyawan” kebersihan di Tamamaung tak selancar air kanal yang setia mengalirkan sampah.

Gajinya kadang dbayarkan dua bulan sekali. Itupun tidak utuh, sebab ada potongan untuk tabungan sebesar 150 ribu rupiah perbulan.

Saat menyebut nominal gaji. Tetiba saja saya teringat pengakuan Abdul Malin bin Ibrahim, petugas kebersihan di Singapura. Dalam sebulan lelaki renta itu mendapat gaji sekitar 35 juta rupiah, bersih. Aahh, betapa jauhnya perbandingannya.

Namun, meski gajinya jauh dari pendapatan Abdul Malik, Saripuddin tetap bersetia pada pekerjaannya. Pekerjaan yang tak banyak orang impikan. Pekerjaan yang dianggap tak penting bagi banyak orang. Namun, dari kacamata lingkungan, kesehatan, dan kebersihan. Pekerjaan yang dilakoni Saripuddin sangatlah penting.

Bisa dibayangkan, bagaimana jika tak ada pekerja seperti Saripuddin dan kawan-kawannya. Tentu Kota Makassar akan dikepung sampah, bau busuk akan tercium dan terlihat ke arah mana pun kita menghadap.

Jadi, sudah saatnya kita berterima kasih pada pasukan “kebersihan” itu. Mereka rela menghela napas di antara tumpukan sampah, melerai rasa jijik dan berkawan dengan bau yang kurang mengenakkan.

KLIK INI:  Keren, Kini Hadir Semen yang Bisa Dimakan, Terbuat dari Sisa Makanan