Aku, Pohon Dao, dan Cerita Saat Bersantai di Hutan Kota Unhas

oleh -907 kali dilihat
Pupuk Surabaya Perkuat Kapasitas Perempuan Pengelola Perhutanan Sosial
Suasana di hutan kota Unhas - Foto: Taufiq Ismail
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Minggu mendung membawaku menerobos kota Makassar. Menikmati akhir pekan. Menghabiskan waktu bersama keluarga.

Hari masih pagi, saat menuntas satu urusan di pusat kota. Saat tiba di Tamalanrea, Makassar, saya memelankan laju kendaraan. Saya menawarkan ke keluarga untuk singgah di taman berhutan milik Universitas Hasanuddin.

“Yuk kita singgah di kampus Ayah,” tawar saya ke anak-anak. Mereka lalu mengiyakan.

Saya ingin mengenalkan anak-anak terhadap keberadaan hutan kota milik kampus merah ini.

Mereka begitu senang. Mereka ingat pernah ke lokasi yang sama, beberapa tahun silam. Kala itu, masih menjadi kandang rusa.

Setakat kini, wajahnya telah berubah. Telah menjadi taman karismatik. Paduan rangka besi beralas papan menghias. Menjadikan hutan kota ini menarik.

Tak hanya itu, jejeran pohon yang tertata rapi jadi pemanis. Saya coba mengamatinya. “Pohon apakah gerangan yang jadi penyusun hutan kota,” gumam saya.

KLIK INI:  Penyebab Bunga Peace Lily Anda Sekarat dan Cara Memulihkannya!

Saya mendekatinya, mengamati daun. Daunnyanya majemuk menyirip. Saya masih belum bisa mengetahui jenisnya. Ada beberapa jenis pohon yang hampir serupa dengan tipe daun yang sama. Begitu saya melihat buahnya. Saya jadi teringat dengan dao. Saya kemudian mencari buah yang jatuh. Mencari buah yang belum begitu lama jatuh di lantai hutan.

Beberapa buah lalu saya amati. Bentuknya bulat sebesar kelereng. Berwarna kekuningan. Saya kemudian mencicipinya. Rasanya kecut tak terkira. Saya pun yakin jika pohon tersebut adalah dao.

Saya mengamati sekeliling. Pemilik nama latin: Dracontomelon dao ini tampaknya mendominasi hutan kota. Sengaja ditanam dengan jarak tertentu.

Saya bersama keluarga menikmati fasilitas umum ini. Menelusuri taman dengan hati-hati. Hujan semalam masih menyisakan permukaan yang basah. Awalnya hanya kami di taman. Tak lama kemudian warga pun mulai bertandang. Meski tak begitu riuh.

dao
Buah pohon Dao – Foto: Taufiq Ismail

Anak-anak nampak bermain. Main kejar-kejaran. Mereka tetap menyadari permukaan jalan yang licin. Bermain dengan hati-hati. Mereka bermain hide and seek dengan cara berbeda. Selalu ada kreatifitas di tengah keterbatasan.

Saya sedikit berbeda menikmati taman asri ini. Saya memerhatikan sekeliling. Mencari penghuni alami hutan kota. Saya menemukan beberapa jenis burung berkeliaran. Suara kutilang bersahutan, sesekali burung kacamata laut bercuitan. Berselang beberapa menit seekor cekakak sungai, Halcyon chloris, melintas dengan suara khasnya: “jikki…jikki….”

KLIK INI:  WALHI Sulsel Gelar Aksi Unik di Wilayah Bekas Penambangan Pasir Laut

Suasana yang begitu damai. Padahal tak jauh dari hutan kota, ada lampu merah yang sibuk dengan pengendara lalu lalang.

Burung-burung tahu ke mana mereka harus mencari makanan. Mencari pepohonan yang berbuah. Begitupun burung pemakan serangga, mendatangi rimbunan pohon mencari target makanannya. Hingga terjadi rantai makanan.

Warga sekitar Tamalanrea, Makassar, patut bersyukur dengan kehadiran hutan kota ini. Meski sebenarnya jarak tak lagi jadi hambatan. Ada kendaraan yang memudahkan segalanya.

Hutan kota Unhas ini juga menjadi faslitas tambahan bagi pemuda yang kasmaran. Tak heran taman ini menjadi tempat mereka memadu kasih. Menikmati alam sembari bercengkrama. Tak hanya itu juga menjadi ruang diskusi terbuka menarik. Tak heran jika kerap kali menjumpai kelompok mahasiswa  berdiskusi di taman.

Apalagi bagi mahasiswa yang sedang mengecap manisnya ilmu, taman inilah menjadi salah satu tempat pelarian. Sekedar melepas penat atau menjadi tempat menuntaskan tugas dari dosen.

Saya pernah melakoninya. Kala itu ada janji dengan dosen. Hanya saja ada kuliah daring yang hampir bertepatan. Karenanya saya memilih kuliah di kampus sebelum menuai janji.

Saya membuat rencana yang matang. Mengikuti kuliah dari hutan taman kota. Saya menggantung hammuck. Memanfaatkan pohon dao yang berjejer rapi. Batang dao yang berdiameter di atas 10 cm meter ini telah kokoh.

KLIK INI:  Meniran, Tumbuhan Liar Sang Pemelihara Imun Tubuh yang Layak Dimengerti

Berbaring di atas hammuck dengan rindang dao menjadi payung. Saya pun bisa menikmati kuliah daring hari itu. Begitu pun janji temu dosen tepat waktu.

Saya memerhatikan penyusun hutan kota. Dao memang di mana-mana. Meski begitu jenis pohon lainpun dapat kita jumpai. Sebuah pohon mangga megah melindungi. Beberapa pohon mahoni pun berjejer. Trembesi pun berbaris rapi di sepanjang jalan menuju kampus merah itu.

Setelah puas mengelilingi taman di hutan kota, saya pun mendekati sebuah pohon dao yang paling besar. Tak hanya perkasa, pohon berdaun majemuk itupun sedang berbuah.

Saya pun mencari buah yang dapat dijangkau. Saya akhirnya bisa mendapatkan beberapa buah. Kembali mencicipinya.

Buahnya bulat. Lebih kecil dari pada buah lengkeng.

Saya coba bawa beberapa biji. Menawarkan kepada anak-anak. Hanya anak saya yang tertua yang mau mencobanya. Awalnya dia protes dengan rasanya. “Kecut sekali Ayah,” pungkas Keenand, anak sulung saya. Tak lama kemudian Keenand minta lagi. “Kecut tapi suka,” tambahnya.

Dao di hutan menjadi makanan favorit bagi beberapa satwa. Rangkong, kangkareng, dan monyet hitam sulawesi, menyukainya. Saya pernah mendapati satu kelompok monyet yang memiliki nama latin: Macaca maura ini memanjati dan mengkonsumsi buah dao.

Moga hutan kota Unhas ini terus terjaga. Menjadi pelarian warga mencari udara segar. Hutan pun menjadi persinggahan beberapa satwa. Burung pun menjadikan sebagai habitatnya.

Semoga juga wahana publik serupa ini terus menjamur di Makassar. Begitupun di wilayah lain.

KLIK INI:  Bunga Pukul Sembilan, Sering Dianggap Gulma Namun Kaya Manfaat