Sepanjang Jalan, Sampah Memandang

oleh -139 kali dilihat
Sepanjang Jalan, Sampah Memandang
Sampah di kanal bilangan Jalan Muhammad Tahir Kota Makassar - Foto: Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Dalam perjalanan dari Kota Makassar ke Bulukumba belum lama ini, lalulintas di jalan raya kian melambat, padat merayap. Jalan-jalan seolah tak kuasa lagi menampung roda gila kehidupan dan setumpuk hasrat kuasa manusia.

Kendaraan bergerak lunglai. Padahal orang-orang terdesak oleh waktu. Pikiran dan desakan pekerjaan menyesaki kepala. Barangkali benar kata penyair Aan Mansyur dalam sajaknya: kepalaku, kantor paling sibuk di dunia.

Engkau tahu? Kepalaku: kantor paling sibuk di dunia. Begitu Aan Mansyur memulai sajaknya itu.

Semakin pelan dan melambat roda kendaraan berputar semakin sibuk sesak pula kepala kita. Sehimpun pertanyaan berkelindan pula layaknya hantu. Pada pikiran yang sibuk dalam kepala, emosi pun berdecak nyaring. Kehidupan di jalan raya membawa kita pada suasana ketidakpastian. Sekelumit kemarahan dan sekeranjang kekecewaan.

Semua bercampur aduk, maka setiap kali kita usai berkendara: rasa lelah begitu menderah tubuh. Padahal, kita tidaklah sedang berlari puluhan kilometer apalagi mengangkat benda-benda berat—kita hanya menyetir kendaraan. Bahkan, duduk manis di ruangan ber-AC, sesekali diiringi musik lagu-lagu kenangan.

Demi meredam emosi saat berkendara dalam kemacetan, saya mencoba melakukan hal sederhana yakni memperluas cakupan pikiran pada hal-hal positif. Resep ini ampuh, rasa kecewa dan marah luruh seketika. Kita nikmati saja perjalanan yang lambat laksana keong ini. Kita abaikan pula espektasi dalam pikiran harus tiba lebih cepat di tempat tujuan. Kita coba abaikan jua durasi berkendara yang lebih lama dan tentu lumayan menjemukan.

KLIK INI:  Manggala Agni dari Sulawesi Menuju Bali-Tanggerang, Merah Putih tetap Berkibar

Pendeknya kita nikmati saja. Biar lambat asal selamat. Lalu, di tengah pikiran yang berdamai itu, saya mencoba mengalihkannya lagi dengan mengamati satu hal sederhana yakni fenomena sampah di sepanjang jalan. Kali ini, saya, istri dan anak-anak mencoba mengamati fenomena sampah di jalanan layaknya menonton seni pertunjukan.

Tugas kami hanya mengamati dan meresapi makna-makna. Tidak menghakimi seperti sebelum-sebelumnya dimana kami mengutuk dalam hati katakanlah bila melihat ada kendaraan yang buang sampahnya di jalanan. Kali ini, kita amati saja. Kita simak layaknya sebuah pementasan.

Bermula ketika mendekati perbatasan Kota Makassar dan Kota Sungguminasa, sebuah mobil MVP (Multi Purpose Vihicle) melemparkan sampah gelas air kemasan di jalan raya. Kami mencoba mengamatinya saja. Gelas kemasan beterbangan entah kemana. Sesaat setelahnya, kendaraan roda dua juga melakukan hal serupa. Lagi, sampah beterbangan ke antabaranta. Orang-orang itu melakukannya dengan tanpa beban, tiada merasa berdosa.

“Good!” kata anak saya dengan ekspresi yang sedikit mengumpat. Kendaraan yang melambat pun membuat kami leluasa mengamati bagaimana sampah-sampah bergentayangan di pinggir jalan. Jumlahnya tidak terhitung, seolah mewakili tindakan akumulatif ratusan bahkan ribuan orang di jalanan.

Melewati kota Sungguminasa, kemacetan melanda di pasar tumpah. Di sana, sampah-sampah tiada terkira. Dari dekat mulai tampak pula, selokan di pinggir jalan disesaki botol kemasan, Styrofoam dan kawan-kawannya. Organisme dalam selokan tentu menderita hidupnya karena sampah-sampah itu menghalanginya dari akses cahaya matahari.

KLIK INI:  Kota dan Tumpukan Sampah di antara Lapis-lapis Kesadaran

Kendaraan bergerak lebih laju saat melintas di perbatasan Gowa-Takalar. Namun, suasana sepanjang jalan seolah peristiwa déjà vu. Sampah lagi, lagi-lagi sampah. Orang-orang tampak menikmati buang sana sini. Semua terjadi layaknya sebuah aktivitas biasa di keseharian.

Lalu, saat melewati kota Takalar dan terus mendekap ke Kabupaten Jeneponto, di sinilah penampakan sampah di pinggiran jalan, merajalela. Sampah-sampah berkarung-karung menumpuk di pinggiran jalan. Di setiap ada tanah kosong, di sana pula ada berkarung-karung sampah menumpuk. Bayangkan, bila sepanjang jalan adalah area persawahan, sepanjang itupula ada tumpukan sampah dijejal layaknya jajanan.

Mau marah atau mengumpat? Jangan! Kali ini kita sedang mengamati saja layaknya menonton seni pertunjukan yang topiknya kebetulan tentang sampah dan perilaku kita yang barbar pada bumi. Kami mengamati saja dan tak ingin menghakimi. Tentu agar kepala kita tak dirundung beban berat dan tersandung pikiran macam-macam. Kali, ini kepala kita hanya mengamati dan menikmati.

Sepanjang jalan dari Takalar ke Jeneponto, sampah bermuara di pinggiran jalan. Dari penampakannya, sampah-sampah itu terbungkus plastik dan karung. Berwarna-warni tentunya. Rongsokan itu diletakkan secara sengaja. Tujuannya tentu agar ditaruh menjauh dari pemukiman si-empunya.

Di suatu titik mendekati perbatasan Jeneponto-Bantaeng, laju kendaraan melambat. Hegemoni sampah di pinggiran jalan semakin meraja. Kali ini baunya membahana. Yah, jelaslah begitu karena sampah itu berisi segala rupa dan semakin menggunung. Terlebih karena hujan baru saja membasahi tanah.

KLIK INI:  TPA Kebon Kongok NTB Mengolah Sampah jadi Energi Terbarukan

Kaca mobil kami tutup agar baunya tidak membuat mulut kami mengumpat, marah. Sekali lagi, kita nikmati saja.

Sepanjang jalan, sampah memandang. Andai sampah itu hidup, ia akan melihat kita dengan kesedihan mendalam. Hatinya rengkah: betapa manusia teramatlah barbar.

Saya, jadi membayangkan sampah itu punya mata dan telinga. Sampai di sini, saya coba tersenyum sahaja. Lagu daerah Makassar yang dilantungkan penyanyi andalan Alifi lumayan menenangkan hati. Sekali lagi, nikmati saja.

Tiada terasa hari sudah malam. Senja yang indah terlewat begitu saja kali ini. Perjalanan berjam-jam yang melelahkan lumayan tidak terasa. Kami tiba di kampung Batukaropa, di bagian Selatan Sulawesi Selatan. Tak ada rasa lelah berlebihan. Kesannya lebih rileks seolah baru kembali dari menonton film kesukaan di bioskop.

Kami mengangkat barang-barang ke kamar. Makan malam agak sedikit terlambat, maka lahapnya menggairahkan. Kepalaku, kantor paling sibuk di dunia. Sajak Aan Mansyur menyela kembali ingatan saya: Juga perihal-perihal lain yang sepele namun sungguh rumit buat dijelaskan—demikian potongan sajak Aan berikutnya.

Yah, rasanya cukup mengena kali ini. Sampah mungkin memang tampak sepele, tetapi begitu rumitnya kita selesaikan. Sepanjang jalan, sampah memandang kita MANUSIA sama seperti dirinya: SAMPAH!

KLIK INI:  Lagi, Penyu Mati karena Sampah Plastik dan Limbah di Bengkulu