Merespons Keresahan Midori tentang Pembalut dalam Norwegian Wods

oleh -113 kali dilihat
Rupaya Pembalut Sekali Pakai Berbahaya Bagi Lingkungan
Ilustrasi pembalut/foto-ist

Klikhijau.com – Perempuan yang telah memasuki usia akil balig, tak bisa lagi dipisahkan dari pembalut.

Ada siklus alami yang mengharus perempuan berkawan setia dengan pembalut setiap bulan, yakni menstruasi.

Maka tidaklah mengagetkan jika penggunaannya sangat tinggi. Sebab telah menjadi kebutuhan maha penting bagi perempuan.

Berkat pembalut pula, perempuan yang sedang menstrusai bisa tetap beraktivitas, tidak harus mengurung diri dalam rumah.

KLIK INI:  Gelar Writing Camp, Klikhijau Ajak Peserta Menulis di Alam Raya

Namun, meski memberi manfaat yang baik bagi si perempuan,  pembalut sekali pakai juga memberi kabar buruk bagi lingkungan.

Dengan jumlah konsumsi yang tinggi, tapi tidak disertai dengan pengelolaan yang biak telah menjadi masalah tersendiri. Apalagi bahan yang dipakai adalah salah satu bahan yang sulit terurai dan jadi bahan pencemaran udara karena mengandung zat metana.

Keresahan tentang pembalut ini, telah berlangsung lama dan bisa ditemukan di mana-mana, bahkan dalam novel karya Haruki Murakami yang berjudul Norwegian Wood pun ada pembahasan singkat mengenai pembalut.

Tokoh yang mengungkapkan keresahannya adalah Kobayashi Midori, seorang perempuan yang mencoba mengkalkulasi jumlah pembalut di sekolahnya dulu, yang merupakan sekolah khusus putri

“Watanabe, kamu tahu asap apa itu?” tiba-tiba midori berkata

“Tidak tahu,” jawabku

Itu asap hasil pembakaran pembalut,”

“Oooh…,” kataky. Selain itu aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan lagi

“Pembalut, tampon, dan sebagainya,” Midori berkata sambil tersenyum. “mereka membuang sampah-sampah itu seperti ke dalam kotak di toilet……(Murakami, 87-88)

……..Jika seluruh murid SMP dan SMA, jumlahnya seribu orang. Memang ada murid yang belum menstruasi, jadi kita anggap saja 900 orang. Nah kalau seperlima dari mereka sedang menstruasi maka dalam sehari kurang lebih seratus delapan puluh orang akan membuang  pembalut ke dalam kota sampah,”…(Murakami, 88).

KLIK INI:  5 Lagu Legendaris Iwan Fals tentang Lingkungan dengan Pesan Menohok

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa di Jepang, khususnya sekolah putri juga dikepung  masalah pembalut.

Keresesahan Midori jika ditarik ke dunia nyata memang cukup mencengangkan. Ada sebuah laporan dari  National Women’s Health Network bahwa di Amerika Serikat, ada sekitar 85 juta perempuan  yang berada di usia reproduktif. Mereka ini rutin mengalami menstruasi.

Data dari National Women’s Health Network  itu menunjukkan bahwa mereka ini berkontribusi menghasilkan 12 miliar pembalut kapas.

Selain pembalut, mereka juga menghasilkan 7 juta tampon ke tempat pembuangan sampah setiap tahun. Tampon  merupakan alat penyerap darah menstruasi yang ukurannya lebih kecil.

Perempuan hasilan 11.000 pembalut seumur hidupnya

Laporan lain yang diuraikan laman OrganiCup mengungkapkan bahwa sebanyak 11.000 pembalut sekali pakai dihasilan oleh satu perempuan  seumur hidupnya.

Hal serupa tentu merasuki semua negara, termasuk Indonesia. Di negara ini, pembalut wanita mudah ditemukan tercecer di mana-mana. Pengelolaannya juga sangat buruk. Rerata berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA) atau sebagainnya tercecer di lingkungan.

Pembalut-pembalut itu, terkadang kita temukan di toilet umum, baik di toilet rumah ibadah seperti masjid atau di toilet kampus.

Penggagas komunitas Zero Waste Nusantara, Jeanny Primasari mengungkapka , jumlah pembalut yang dipakai setiap perempuan bisa di atas 300  lembar setiap tahunnya.

Jumlah 300 itu jika dikali banyak, maka hasilnya akan sangat  banyak pula. Jumlah yang banyak itulah yang meresahkan Midori.

KLIK INI:  Bagaimana Tumbuhan di Hutan Kota Berfungsi sebagai Peredam Kebisingan?

Hal menarik dari keresahan Midori dalam novel Murakami itu  karena ia merupakan seorang pelaku “perempuan” yang artinya perempuan menyadari bahwa mereka menghasilkan banyak pembalut yang bisa membahayakan bumi dan dirinya sendiri.

Karena pembalut sekali pakai membawa dampak buruk bagi lingkungan, temasuk laut. Ia bisa mengotori pantai dan laut . Sementara jika dibakar asapnya bisa mencemari udara.

Pembalut sekali pakai juga mengandung plastik yang  membuatnya sulit terurai. Butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Selain itu, juga mengandung  mengandung zat  pemutih yang digunakan pada bantalannya. Zat ini   dapat mencemari air dan tanah.

Tidak setop di situ saja, karena pembalut juga mengandung bahan kimia yang berbahaya. Bahkan ada beberapa jenis  pembalut dilengkapi dengan wewangian.

Sementara wewangian sintetis terbuat dari 3.900 bahan kimia. Bahan kimia ini erat  kaitannya dengan sifat karsinogen. Ia bisa memicu alergi dan iritasi.  Bahan kimia juga dapat mengganggu endokrin atau endocrine-disrupting chemicals (EDC).

Laman Friends of the Earth membeberkan, ada sebuah penelitian menyebut bahwa EDC ini berkaitan dengan risiko kanker payudara dan infertilitas serta penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksi, seperti endometriosis.

KLIK INI:  Pembalut Kain Ubah Stigma Perempuan sebagai Kontributor Kerusakan Lingkungan
Cara mengatasinya

Menyuruh para perempuan berhenti menstruasi sebelum waktunya adalah sebuah kemustahilan. Maka cara terbaik mengatasi limbah dan bahaya pembalut untuk merespons keresahan Midori adalah dengan beralih pada pembalut kain yang bisa dipakai berkali-kali

Selain pembalut kain, perempuan yang sedang datang bulan juga bisa beralih menggunakan cawan menstruasi (menstrual cup)

Menurut Dr. Michael Brook, yang merupakan seorang pakar silikon di McMaster University, alat penampung darah menstruasi yang paling ramah lingkungan adalah  menstrual cup.

Menstrual cup merupakan alat yang terbuat dari silikon. Bahan ini adalah salah satu mineral yang paling  melimpah di bumi.

Menstrual cup dapat menampung sekitar  30 ml darah menstruasi. Setelah penuh, kamu bisa membuang darahnya dan mencuci kembali menstrual cup  sebelum menggunakannya lagi.

KLIK INI:  Perihal Hutan, Cara Kita Terhubung dan Kata-Kata Mutiara Mengenainya