Perang Narasi di Balik Banjir Berulang dan Pentingnya Data Lingkungan

oleh -298 kali dilihat
Perang Narasi di Balik Banjir Berulang dan Pentingnya Data Lingkungan
Seorang gadis cantik menggunakan handphone saat berperahu di permukiman penduduk yang terendam banjir di Desa Balai Karangan, Sekayam, Sanggau, Kalbar, Senin (19/1/2015) - Foto/Jessica Helena- Antara
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Benarkah ada sengkarut tata ruang di balik fenomena banjir yang berulang setiap tahun di beberapa wilayah di Indonesia? Pertanyaan ini mengemuka pada diskusi virtual yang digelar Thamrin School, Kamis 28/01/2021, dengan tema “Sengkarut Tata Ruang di Balik Banjir Berulang”.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, Profesor Hariadi Kartodihardjo sebagai pemantik diskusi menyebut, banjir yang berulang tak lepas dari suatu akumulasi masalah yang berlangsung lama.

“Yang bisa dikaitkan dengan tata kelola atau tata ruang adalah sebuah perubahan yang sifat dasar perubahan itu tidak seketika. Nah, saya lebih menyoroti problem itu. Jadi, tak seperti bank begitu yah, kalau duitnya pagi hilang sorenya ketemu akan kelihatan yang hilang berapa rupiah begitu,” demikian Hariadi menggambarkan.

Hariadi juga menganalogikan bencana banjir dan longsor yang terjadi itu seperti penyakit dalam tubuh manusia yang tidak serta merta menahun. Namun, masalahnya, kata Hariadi, begitu bencana terjadi justru akan dikontestasikan dimana setiap orang akan saling lempar tanggungjawab.

“Nah, sejauh ini yang paling penting diungkap di media adalah sifat akumulasinya, seperti saya katakan tadi. Jadi, ini (banjir dan longsor, Red) bukan tunggal begitu. Tetapi terakumulasi dari waktu ke waktu sebagaimana penyakit yang mendera manusia. Tidak seketika terjadi.

KLIK INI:  Tanah Kita Sedang Tak Baik-Baik Saja
Perihal keterbukaan informasi

Nah, di sinilah pentingnya masalah kelembagaan dan hal-hal yang berkaitan dengan informasi publik. Menurut Hariadi, masalah-masalah ekologi sangat erat kaitannya dengan demokrasi dan keterbukaan informasi dan penggunaan teknologi.

“Di China saat ini sedang berkembang suatu aplikasi warga untuk lingkungan hidup. Jadi, mereka sudah berbasis warga jadi apapun faktor yang memengaruhi pada tingkat tertentu semisal pada makro kebijakannya dan sebagainya, itu dapat terdeteksi,” jelas Hariadi.

Untuk konteks Indonesia, jelas Hariadi, pengelolaan sumber daya alam sejak tahun 70-an tidak pernah berubah. Ia mencontohkan model-model pemberian izin lingkungan yang relatif mudah.

“Memang sih izinnya sudah sesuai regulasi, tapi kemampuan mengontrolnya pasti tidak bisa. Sehingga izin itu hanya menjadi alat administrasi saja,” jelas Hariadi.

Pandangan Profesor Hariadi ini seolah mempertajam perdebatan yang berkembang beberapa hari terakhir perihal penyebab banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) dan sejumlah wilayah lainnya di Indonesia.

KLIK INI:  Barelle Cippo-Cippo

Seperti disimak di pemberitaan media dan sosial media, ada diskursus yang mewacana bahwa banjir yang terjadi Kalsel erat kaitannya dengan deforestasi akut yang terjadi dalam 10 tahun terakhir. Namun, diskursus ini kemudian dinegasikan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo mengatakan (juga dikutip media) bahwa penyebab banjir Kalsel adalah curah hujan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lalu menegaskan bahwa banjir di Kalsel adalah faktor anomali cuaca.

”Penyebab utamanya terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,” ungkap Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK.

Perlunya melihat akar masalah secara utuh

Benarkah banjir yang berulang di Indonesia ada kaitannya dengan tutupan lahan? Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Soeltan Gussetya Nanggara, tak menampik hal ini.

“Perihal kondisi hutan, tanpa melihat angkanya pun, sebetulnya kita bisa mengindikasikan bahwa hutan kita semakin berkurang. Dan semakin banyak yang rusak,” kata Soelthan.

KLIK INI:  Koalisi Keadilan Iklim: Transparansi dan Partisipasi Publik Kunci Keadilan Iklim

Hal menarik untuk disimak kata Soelthan adalah ada klaim deforestasi yang turun, tetapi kita tidak pernah mencermati pada hutannya itu sendiri tetap berkurang.

“Ini juga kan menjadi salah satu penyebab banjir juga, walaupun secara umum penyebab banjir tentu sangat kompleks,” kata Soelthan.

Sepertinya kita agak kurang informasi pada setiap kejadian banjir yang terjadi. Hal ini yang membuat setiap ada satu faktor yang berpengaruh tinggi itu diklam.

Padahal, kata Soelthan itu tidaklah utuh sebab ada faktor-faktor lain yang seharusnya bisa dilihat. Termasuk mengenai problem akumulasi kerusakan hutan yang terjadi sekian lama.

Masalah lainnya kata Soelthan adalah kita tidak punya semacam pemodelan banjir yang membuat kita selalu gagap merespons masalah banjir yang terjadi. Ia menyarankan pentingnya melihat akar masalah banjir secara kompleks baik dari sisi tata ruang, HGU dan lainnya.

“Jadi nggak cuma menyalahkan iklim atau cuaca ekstrim, begitu,” jelas Soeltan.

Sementara itu, Direktur Thamrin School, Farhan Helmy juga mengajukan pentingnya melihat masalah banjir kaitannya dengan kebijakan publik. Menurutnya, banjir bisa dilihat dari dua dimensi yakni ada dimensi fisik dan dimensi konstruksi sosial yang berwujud pada kebijakan.

KLIK INI:  Banjir Menjalar ke Bantimurung

“Saya sebetulnya melihat ada 5 persoalan mendasar perihal banjir dan longsor. Pertama, barangkali kita tidk punya visi di dalam mengelola DAS terpadu. Persoalan tata ruang, soal ketidakkoherenan sistem perencanaan DAS, akses publik terhadap informasi dan pembangunan berbasis hak yang berkaitan dengan aspek keadilan dalam pengelolaan ruang,” jelas Farhan.

Farhan juga menyoal mengenai pentingnya ada suatu informasi yang sahih dan teliti mengenai masalah banjir. Ini penting, kata Farhan agar kita punya kesempatan untuk mencari opsi-opsi yang terbaik dari setiap persoalan.

Perihal tata ruang, Profesor Haryadi kemudian menegaskan kembali adanya masalah struktur dan kelembagaan yang bermasalah. Sejauh ini, kata Haryadi, setiap kelembagaan bertanggungjawab sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi. Ia menganalogikan, pentingnya suatu struktur yang terorganisir sebagaimana dalam tim sepakbola.

“Kalau setiap pemain punya perang berbeda-beda yah pasti ributlah. Nanti yang disalahkan adalah penjaga gawang terus, padahal ini kan satu tujuan bersama. Apalagi ini ada urusan-urusan adminitrasi, semua orang harus menghabiskan anggarannya. Jadi, ini ada masalah-masalah struktural,” katanya.

Haryadi juga mencontohkan adanya model-model penyelesaian yang keliru. “Misalnya upaya penyelesaian banjir adalah rehabilitasi hutan, padahal ini sudah cara lama dan tidak ada hasilnya juga. Jadi, persoalannya adalah tata kelola rehabilitasi hutan, bukan rehabilitasi hutannya,” tegasnya.

KLIK INI:  Sepasang Mata Hujan

Di samping masalah tata kelola, problem krusial lainnya adalah mengenai keterbukaan informasi publik, seperti disinggung oleh Dr. Mas Achmad Santosa., SH., LL.M (Pengajar Hukum Lingkungan FHUI).

“Pertanyaan saya, siapa yang punya kewajiban dan punya otoritas untuk menerbitkan neraca lingkungan setiap tahunnya di tiap daerah?” kata Mas Ota, sapaan akrabnya.

Menurut Mas Ota, ini penting agar publik dapat mengakses informasi lingkungan secara periodik. Dengan data dan informasi yang sahih tersebut, publik dapat mengambil peran dalam pengawasan lingkungan.

Perihal upaya hukum yang dapat diambil pada setiap bencana lingkungan, Mas Ota mengatakan bahwa yang paling penting adalah alat bukti.

“Alat buktinya adalah yang bisa mengaitkan antara kondisi lingkungan di suatu wilayah dengan banjir yang terjadi. Itu semua dapat dilakukan kalau misalnya ada ketersediaan data dan informasi,” jelas Mas Ota.

Perihal data, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Soeltan Gussetya Nanggara justru berpandangan lain. Menurutnya, persoalannya bukan soal ada atau tidaknya data, tapi ini soal kepentingan terhadap data tersebut.

Menurutnya, ada sejumlah data lingkungan yang sebetulnya tersedia, namun bila bicara kedalaman data atau jenis data tertentu yang krusial, seringkali sudah sulit diakses.

Data yang simpang siur jadi menarik pada diskusi kali ini. Seperti  padangan Profesor Haryadi berikut: ketika ada bencana kita mendapat banyak penjelasan mengapa banjir itu terjadi. Setelah itu kehidupan berjalan sebagaimana biasanya, sampai kemudian kita mendapat penjelasan serupa untuk banjir berikutnya. (Kompas, 26/01/2021).

Perihal data, beberapa peserta diskusi virtual kali ini mengajukan pentingnya apa yang disebut citizenship participation. Dalam konteks ini, semua pihak (warga) sejatinya punya kemampuan menyuarakan masalah-masalah ekologi di lingkungannya dan mengakses data. Peran ini bisa dijalankan oleh komunitas-komunitas.

KLIK INI:  Walhi Sulsel: Pemerintah Kota Makassar Gagal Atasi Banjir