Barelle Cippo-Cippo

oleh -442 kali dilihat
Barelle Cippo-Cippo
Ilustrasi-foto/Pixabay
Nona Reni

Hati sepasang suami istri itu selalu saja banjir—tak pernah ingin surut. Meski di permukiman warga, banjir telah lama tiada, telah pergi.

Sudah lima tahun lamanya mereka menjadi penghuni baru kampung ini. Membangun rumah kayu yang bisa dikatakan tak terlalu luas untuk ditempati oleh lima orang anggota keluarga.

Hanya terdapat dua ruang, ruang tamu dan ruang dapur yang dipisahkan oleh kain sekat. Mereka tak mempunyai ruang  khusus untuk bersantai, bahkan tak mempunyai kamar.

Satu-satunya tempat tidur mereka adalah ranjang ukuran king. Tempat anak-anak mereka biasa tidur. Ranjang itu dipasangi kelambu. Bukan karena semata menghalau nyamuk, melainkan memang untuk menghalau mata tamu yang kadang berkunjung di malam hari.

KLIK INI:  Perihal Banjir dan Kata-Kata Mutiara Mengenainya yang Patut Direnungkan

Sore tadi, istrinya berkunjung ke rumah. Membawa sebaskom barelle cippo-cippo. Aku menyambutnya dengan perasaan gembira. Mereka memang pemurah dan senang memberi.

Apa pun hasil kebunnya jika sudah panen, pasti akan diantarkan ke rumah, barang sebiji dua biji. Begitupun ke tetangga lain sepanjang lorong ini. Semua tak luput dari kedermawanannya.

Oya, mungkin kalian asing dengan nama barelle cippo-cippo. Itu sebutan lain untuk jagung yang bijinya bisa dihitung jari. Cippo-cippo dalam bahasa Bugis berarti ompong. Jagung ompong, jagung yang gagal menuntaskan buahnya secara utuh karena serbuk sarinya tak utuh, entah keburu dibawa air banjir atau hama lain.

Setelah mengucapkan terima kasih, kukembalikan baskom tempat ia menaruh jagung tadi. Ia tersenyum menunjukkan giginya yang tidak terlalu rapi,  namun seakan menambah daya tariknya. Kemudian bergegas pamit seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.

KLIK INI:  5 Puisi Wiji Thukul Berdiksi Alam dengan Napas Perlawanan yang Kuat

Ia tak banyak bicara, namun di wajahnya selalu bertengger senyum yang begitu bijaksana. Dan aku harus jujur, aku menyukai seyum itu.

Pandangan mataku mengekor langkah kakinya hingga ia menginjakkan tangga teratas rumahnya. Setelah beberapa langkah, kulihat ia terduduk di hadapan karung barelle cippo-cippo, memandanginya dengan perasaan sedih.

Isinya masih setengah penuh, yang kemudian dia hamburkan begitu saja di lantai papan rumahnya. Ia menyuruh anak tertuanya mengambil pisau, sedangkan anak bungsunya mengambil baskom. Kemudian dengan lincah tangannya mulai memisahkan biji jagung dengan tongkolnya.

Lalu bunyi speaker penanda waktu magrib  tiba juga di telinga.

KLIK INI:  Surati Aku di Pelukan Siapa pun Kamu Kini
—–

Saat aku hendak memutuskan mengambil air wudhu, tanpa sengaja mataku melihat dengan jelas ia sedang menangis.  Tapi jemarinya tetap bekerja. Air matanya bahkan menetes ke pupil jagung di tangannya.

Entah penasaran akan kejadian selanjutnya atau mungkin dorongan rasa kasihan, aku terpaku di tempat. Meneruskan memerhatikannya dari jauh. Perlahan isaknya mulai muncul, hingga nampak jelas bahunya terguncang begitu hebat.

—–

Aku berkali-kali mengecek temperatur suhu di layar hape, sambil sesekali menyeka biji keringat yang membanjir. Kubuka baju, dan kini hanya menyisa celana bola saja.

Sudah lima bulan belakang ini, suhu udara di sini terlalu panas. Apalagi jika jarum jam sudah menunjukkan angka satu atau dua siang.

KLIK INI:  Menuai Sampah dalam Hujan

Panasnya terasa memanggang. Kena sinar matahari sedikit saja kepala mendadak pening.

Padahal awal-awal kedatanganku di sini, pada siang hari pun harus mengenakan jaket karena hawa yang begitu dingin.

Namun, setelah terjadi pengerukan dan penebangan pohon pinggir sungai serta pelebaran jalan, terasa perubahan yang begitu drastis.

Dulu hujan seminggu tak berhenti baru mengakibatkan banjir. Sekarang hujan sehari semalam besoknya sudah banjir.

“Semakin ke sini semakin jelas bahwa sebenarnya tangan-tangan manusia jualah yang berperan penting dalam kepunahan ekosistem di muka bumi ini,” gumamku sambil menatap sisa hamparan jagung yang di sapu banjir beberapa waktu lalu.

Pandanganku bisa merentang jauh—sejauh mata memandang karena tak ada lagi pepohonan yang menghalanginginya. Tatapanku juga jatuh padanya, aku ingin melihat matanya, mencari sisa tangisnya semalam. Tapi tak berhasil.

Dan sejak pepohonan itu ditiadakan, banjir mulai acap bertamu di kampung kami. Seperti setahun ini, banjir bertandang dua kali. Kali pertama di bulan Agustus, kali kedua di bulan Desember.

KLIK INI:  Penanganan Bencana Berbasis DAS Jadi Prioritas KLHK

Namun, banjir di mata sepasang suami istri yang terkenal sangat akur itu tak kenal musim dan menetap. Bahkan banjir pun meluap hingga ke mata anak-anak mereka.

—-

Suatu sore, dari rumah mereka kudengar suara ribut. Anak-anak mereka bertengkar cukup keras. Ibunya dengan sabar melerai. Sedangkan ayahnya memilih untuk memukul si sulung dan juga istrinya yang tak terima anaknya dipukuli. Itu kejadian yang kesekian kalinya.

Lalu mertuanya, yang maaf kuceritakan paling terakhir karena tak terlalu penting dalam kisah ini—ikut menimpali. Ia menyalahkan didikan menantunya, menekan begitu kuat mentalnya dengan ujaran-ujaran kebencian. Menyalahkan kemiskinan yang tak kunjung pergi dari mereka karena kesialan menantunya itu.

Mungkin memang ia setype dengan mertua-mertua yang sering muncul di film-film. Merasa tersaingi dengan menantu sendiri. Tak jarang kudengar ia mengghibahi menantunya sendiri jika kebetulan ada acara kumpul-kumpul tetangga, menantu yang di mataku tak terdapat cela sedikit pun. Ah, sayang sekali, ia bahkan salah memilih mertua.

KLIK INI:  Serentang Jarak
—-

Pagi belum begitu ranum ketika suara gedoran pintu terdengar di kamar tidurku. Aku bergegas membuka pintu, sudah kutebak pasti siapa yang bertamu sepagi itu. Sambil membayangkan buah apalagi yang akan disodorkannya tepat di depan pintu tanpa berani masuk untuk sekadar duduk di ruang tamuku. Barangkali nangka, atau bisa jadi semangka.

Tetapi alangkah terkejutnya aku ketika membuka pintu.

Suaminya tanpa ba-bi-bu melayangkan tinjunya ke wajahku, mengucapkan sumpah serapah seperti orang kesurupan setan dan mengancamku untuk menjauhi istrinya, yang kukakugumi senyum bijaksananya itu.

Kuraih parang yang bertahun-tahun hanya menjadi pajangan di ruang tamuku. Dengan sekali sabetan, kuputuskan kedua belah tangannya. Tangan yang senantiasa menyiksa istri dan anak-anaknya.

KLIK INI:  Hujan yang Berhenti di Bibirmu

Aku sebenarnya ingin menamatkan hidupnya saat itu juga. Namun, kuurungkan saat istrinya berlari keluar dari rumahnya, memohon dengan suara khasnya yang lembut untuk mengampuninya. Kali ini tak ada senyuman seperti sebelumnya. Sebab laki-laki yang sangat ingin kuhabisi nyawanya itu telah membuatnya kehilangan gigi. Tak ubahnya barelle cippo-cippo yang pernah ia berikan padaku.

Ah, andai saja aku membunuh suaminya, atau seumpama saja ia memilih bercerai saja, aku bahkan tak akan menolak  jika disuruh menikahinya.

Aku mencintai dia? Entahlah. Yang kutahu pasti, banjir kini bukan hanya datang dua kali setahun di pekarangan rumahku maupun pekarangan rumahnya, kebunku ataupun kebunnya, tapi banjir menetap di mata suami istri itu, di mata anak-anak mereka dan juga mataku. ***

KLIK INI:  Pohon Kehidupan