Monolog Sebatang Pohon

oleh -39 kali dilihat
Ilustrasi-foto/Pinteres
Nona Reni

Rahim Bumi

 

Sajak-sajak berjatuhan ke dalam jiwa. Merimbun bagai semak yang senantiasa menghidu embun.
Semak yang mencintaiku dan mencintaimu juga, konon katanya.

Lewat pagi, ia ingin merengkuh kita di kedua lengannya
Lima puluh sajak dalam buku mahar lebih mendekat kepada bumi kita

Seakan-akan untuk pertama kalinya di jantung musim panas, kesunyian bergemuruh di antara pepohonan
Selaras dengan bahasa yang mengumandangakan perang dan nyanyian.

Dan ya, tentu saja di sana, aku mengenal dan mengekalkanmu sebagaimana pengembara tersesat di tanah tandus

Lalu aku ingin dirimu seluruhnya untukku, menerobos pohon kehidupan.
Rahim bumi atau tunas apapun yang tumbuhkan cinta, berkali-kali

Rumah mungil, Agustus 2024

KLIK INI:  Penikmat Banjir yang Bahagia

Monolog Sebatang Pohon

Kepada: Ang

Berkali-kali penolakan tidak lantas membuat akarku melemah, Ang.
Kau harus tahu seberapa keras getir tubuhku menahan angin kencang, kemarau panjang yang kian jadi, maupun derasnya hujan, telah menjadi saksi kunci.

Aku ingin memberimu pisau kecil, Ang. Kau bisa memakainya untuk menyayatku, menuliskan namamu biar abadi sepanjang hayatku, atau memotong tubuh keringku agar tangan usilku tak lagi melempari orang yang berlalu-lalang di bawah sana.

Sejujurnya, Ang, aku pecinta senjata klasik. Dan kutahu kau pasti tak tertarik dengan semua itu. Ada satu hal yang senantiasa ingin kulakukan padamu. Kejahatan kecil semisal mengecup keningmu atau meremas tangan mungilmu.

Aku pun ingin menyembunyikan segala jenis gergaji dari tubuhmu dan tubuhku.
Sebab beberapa peristiwa masa lampau jika kuceritakan sekarang akan membuatmu merinding.

Pernah suatu hari, Ang. Ada gadis seusiaku, memainkan gergaji listrik dan memotong lengan temannya sendiri di depan mataku.

Temannya tak selamat, namun aku selamat dan menjadi satu-satunya saksi. Bukankah perih untuk bertahan hidup tanpa bisa berkata dan bercakap-cakap kepada siapapun? Bahkan sekedar untuk mengadu(h) nasib.

Kelak pisau kecil pemberianku pun akan kusembunyikan dari tanganmu.

Kau jangan tanya kenapa dan mengapa.
Aku mencintaimu, dalam garis-garis tangan dan gurat kehidupan 7 generasi jika memang ada, betapa besar rasa yang tak mungkin kuungkap, namun adakah penerimaan utuh bagiku yang hanya sebatang pohon?

Rumah mungil, Agustus 2024

KLIK INI:   Di Balik Hitamnya Arang, Ada...

Gemericik Air Mata

 

Senyummu desau angin, padaku yang selembar daun di musim dingin.

Berhembus kamu
Gemetar aku

Memelukmu ingin;
menggigil jatuh, jauh ke dunia yang lain.

2.
Gemericik air mata jadi mata air mengalir di wajah batu-batu pualam
Cericit burung bercengkerama, suara binatang bersahutan gemanya menjadi nyanyian alam.

Seorang kelana di atas kayu terduduk muram
Nyala api meredup dari matanya. Segenggam harapan ditabur sepanjang perjalanan.

Entah siapa dapat mencari dari kehilangan jejak (le)luhur, yang lebur dalam pergantian musim.

Agustus 2024

KLIK INI:  Apakah Kau Hanya Akan Datang Sebagaimana Petang?