Paus, Mamalia Laut Penyerap Karbon yang Terkepung Mikroplastik

oleh -58 kali dilihat
13 Fakta Menarik Paus Orca yang Berkeliaran di Perairan Indonesia
Paus orca/foto- Inews

Klikhijau.com – Paus tidak hanya berukuran besar. Ia juga memiliki peran yang besar pula. Satu di antaranya dapat melawan perubahan iklim.

Bagaimana bisa? Rupanya paus memiliki kemampuan untuk menyerap dan memerangkap karbon agar tidak lepas ke atmosfer.

Paus adalah hewan laut yang menarik. Meski hidup di laut, ia bukan tergolong dalam keluarga ikan. Ia berkembang biak dengan melahirkan, bertulang keras, bernapas dengan paru-paru, memiliki kelenjar susu, dan berdarah panas. Jauh berbeda dengan ikan–lebih dikenal dengan nama mamalia laut.

Mamalia laut ini termasuk jenis makhluk hidup tanpa tungkai belakang atau Cetacea. Masa kehamilannya pun berbeda dengan ikan, paus hamil berkisar antara 9 sampai 15 bulan.

KLIK INI:  Intip Kelebihan dan Kekurangan Berkebun Tanpa Tanah

Bagaimana cara mamalia laut ini melawan perubahan iklim? Dilansir dari Greeneration, caranya adalah dengan menangkap dan mengendapkan karbon dengan dua cara.

Cara pertama, Whale Pump, ini adalah proses paus mengeluarkan kotoran yang mengandung urea tinggi saat ia naik ke permukaan laut. Kotoran itu masuk ke laut. Kandungan ureanya akan memicu pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton adalah penangkap karbon yang sangat penting, sebab bisa menangkap dalam jumlah banyak di permukaan laut.

Cara kedua adalah Whale Conveyor Belt, cara ini adalah proses paus mendistribusikan kotorannya untuk menyebarkan nutrisi ke wilayah laut yang minim nutrisi.

Penyerapan karbon dari mamalia laut ini cukup besar. Pada tahun 2010, dalam sebuah studi para ilmuwan memperkirakan 190.000 paus besar dapat menyerap sebanyak 1.9 juta ton karbon setiap tahun.

Peran mamalia ini dalam mengatasi karbon tidak hanya pada masa hidupnya saja. Namun,  saat paus telah mati pun tubuhnya dapat memerangkap karbon agar tidak lepas ke atmosfer.

KLIK INI:  Mikroplastik, Ancama Baru dan Nyata bagi Terumbu Karang

Biomassa paus mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar. Selain itu, kotoran dan bangkai dari paus yang telah mati  dapat juga menyimpan karbon.

Kemampuan paus menyerap dan menyimpan karbon menciptakan konsep yang disebut Monetisasi Paus. Ini adalah sebuah konsep untuk monetisasi konservasi paus demi mengurangi jejak karbon di atmosfer.

Pencetus konsep ini  adalah International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2019 lalu melalui sebuah artikel berjudul “A Strategy to Protect Whales Can Limit Greenhouse Gases and Global Warming”.

Monetisasi ini memiliki tujuan untuk melibatkan peran pelaku industri dan pemangku kepentingan dalam konservasi paus.

IMF menentukan nilai paus dengan mempertimbangkan jumlah kontribusi paus terhadap penyerapan karbon, harga pasar karbon dioksida, dan teknik diskon finansial. Nilai rata-rata konservasi paus berkisar $2. Nilai untuk seluruh populasi paus saat ini bisa mencapai $1 triliun.

KLIK INI:  Risiko Kepunahan Ancam Burung Penyelam Lebih dari yang Dibayangkan
Paus dikepung mikroplastik

Peran penting paus dalam melawan perubahan iklim, sayangnya mendapat ancaman. Bukan hanya ancaman dari perburuan liar, tetapi juga dari mikroplastik.

Mikroplastik memang telah menjadi ancaman mengerikan bagi biota laut. Pada tahun 2022, para peneliti menyoroti betapa buruknya polusi mikroplastik di laut.

Indonesia termasuk salah satu negara yang penyumbang terbesar ancaman tersebut (mikroplastik), yakni sekitar  24,4 triliun keping mikroplastik.

Padahal laut Indonesia juga dihuni beberapa spesies paus. Perairan Indonesia adalah jalur transmigrasi mamalia ini yang bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia.

KLIK INI:  Mengenal Jenis-Jenis Racun Pada Tanaman dan Cara Serangga Menghindarinya

Di Indonesia,  spesies paus yang bisa ditemukan di antaranya, Paus Biru, Paus Pilur, Paus Bungkuk, Paus Sei, Paus Sperma, Dan Paus Sirip. Pau-paus ini  bermigrasi ke Indonesia untuk melahirkan di perairan yang hangat.

Dilansir dari Treehugger, menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science of the Total Environment, paus di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mengonsumsi sekitar tiga juta mikroplastik setiap hari. Para peneliti menganalisis kotoran paus untuk melihat berapa banyak mikroplastik yang ada.

Sebuah studi Nature Communications menemukan bahwa paus biru mungkin menelan 10 juta keping mikroplastik setiap hari.

KLIK INI:  4 Langkah Percepat Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menurut Prof Rachmat Witoelar

Shirel R. Kahane-Rapport, penulis utama studi Nature Communications mengatakan, penelitian lain menunjukkan bahwa jika plastik berukuran cukup kecil. Plastik dapat melewati dinding usus dan masuk ke organ dalam meskipun efek jangka panjangnya masih belum jelas. Plastik juga dapat melepaskan bahan kimia yang mengganggu endokrin.

“Hal ini memprihatinkan, dan meskipun kita belum memahami dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan, kemungkinan besar ini bukan pertanda baik bagi organisme ini dan mangsanya jika mereka menelan bahan buatan manusia seperti plastik,” terangnya dikutip dari Treehugger.

KLIK INI:  Akibat Perubahan Iklim, Gunung Denali Terancam Dibanjiri 60 Ton Tinja Manusia

Kahane-Rapport juga mengatakan bahwa paus adalah insinyur ekosistem. Mereka dapat bertindak seperti pompa, mensirkulasikan kembali nutrisi yang mereka konsumsi. Selain itu, mereka juga dapat berfungsi sebagai penjaga ekosistem—ketika paus tidak berkembang biak, bagian lain dari sistem tersebut kemungkinan besar akan menderita.

Jadi, hal yang pasti, jika ancaman paus tidak ditiadakan, maka akan memperburuk perubahan iklim. Karena semakin banyak paus yang mati, khususnya di daratan. Secara otomatis akan semakin banyak pula karbon yang dilepaskan ke atmosfer.

Berkurangnya jumlah paus akan pula mengurangi reseptor karbon alami. Karenanya, penting sekali menjaga populasi paus agar tetap Lestari demi melawan perubahan iklim. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mengurangi mikroplastik.

KLIK INI:  Hiu Putih Tak Pernah Terlihat di Perairan Cape Town, Punahkah?