- Papilio gigon, Kupu-kupu Endemik Sulawesi yang Gesit - 20/03/2024
- Anis Punggung-merah, Burung Endemik Penghias Lantai Hutan - 09/03/2024
- Rahman, Nahkoda Baru DPW IPEHINDO Sulselbar - 27/02/2024
Klikhijau.com – Tahukah kamu kawasan karst Maros-Pangkep? Pasti sudah tahu ya.. apalagi bagi yang berdomisili di Makassar dan sekitarnya. Namun mungkin pengetahuan tentang wilayah ini masih terbatas ya.. yuk kita bahas bersama. Karena tak kenal maka tak sayang.
Kawasan karst ini cukup luas, sekitar 40.000 ha. Sudah termasuk bagian yang dimanfaatkan oleh dua perusahaan semen besar: Bosowa dan Tonasa. Meski begitu kita patut bersyukur karena setengah dari luasan tersebut masuk sebagai wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Hal tersebut berarti wilayah yang berada di kawasan konservasi tersebut akan terjaga dengan baik. Sebagian lagi karst tersebut masuk sebagai kawasan ekosistem esensial.
Lebih jauh lagi, saat ini wilayah ini telah mendapat pengakuan secara internasional melalui UNESCO yakni sebagai Maros Pangkep UNESCO Global Geopark dan Cagar Biosfer Bantimurung Bulusaraung Marupa’ne. Wilayah keduanya bahkan lebih luas dari luas total kawasan karst tersebut.
Ekosistem hutan karst memiliki karasteristik yang berbeda dengan jenis hutan lainnya. Menurut Tolentino et al. (2020) hutan batu kapur memiliki relung ekologi yang beragam, vegetasi spesifik, dan medan kompleks. Ekositem hutan ini juga belum banyak diekplorasi atas kandungan tumbuhan dan satwanya. Boleh jadi ada banyak spesies spesifik yang hanya hidup pada ekositem ini. Karena itu peluang menemukan sebaran baru atau bahkan spesies baru begitu terbuka.
Karst tak hanya rumah bagi aneka fauna dan flora, bahkan lebih dari itu. Pada wilayah batuan gamping ini menjadi daerah tangkapan air dan mengalirkankanya melaui mata air dan sungai-sungai. Wilayah ini, seperti halnya di dalam Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat sungai-sungai bawah tanah, seperti contoh pada Gua Salukkang Kallang yang memiliki panjang gua 12 km dengan sungai bawah tanahnya. Dan beragam manfaat lainnya seperti pariwisata dan budaya.
Jika sudah mengenalinya secara umum, ada baiknya kita mengenalnya lebih spesifik lagi. Saya ingin mengenalkan salah satu tumbuhan penghuni hutan batuan gamping ini. Nama tumbuhannya adalah “banga batu”. Pemilik nama ilmiah: Dracaena multiflora ini habitat utamanya adalah ekosistem karst. Tumbuh di puncak-puncak menara karst.
Tumbuh pada karst yang memiliki tinggi berkisar 100 s.d 200 meter dar permukaan tanah. Begitu menggoda saat memandangnya. Apalagi jika menjumpainya tumbuh dalam satu rumpun yang lebat. Seolah menemukan taman dengan permadani vegetasi yang menawan. Menghias bukit-bukit karst yang lebih sering kita jumpai gersang.
“Dracaena ini lebih banyak tumbuh di wilayah karst Pangkep. Pada wilayah Maros hanya terdapat di beberapa titik saja,” terang Prof. Ngakan Putu Oka, Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Pada suatu waktu saat kami berdiskusi tentang flora penyusun hutan karst.
Banga batu ini sebarannya tidak begitu luas. Perjumpaan spesies ini hanya ditemukan di Sulawesi, khusus di tanah air. Batuyong et al. (2020) juga melaporkan keberadaan banga batu ini di hutan batu kapur di salah satu cagar alam di Filipina. Tepatnya di Cagar Hutan Daerah Aliran Sungai Metropolitan Ilocos Norte, Luzon Barat Laut, Filipina. Wong et al. (1999) juga menemukan pertama kalinya di negaranya, Malaysia di Pulau Semporna, Sabah. Wong dan kawan-kawan merasa senang dengan perjumpaan Dracaena ini. Tampak dari publikasi jurnalnya menampakkan foto Dracaena multiflora-nya. Menurutnya tumbuhan ini termasuk langka.
Dracaena memiliki ragam spesies. Setidaknya ada sekitar 170 spesies di muka bumi. Tumbuhan ini sering menjadi tanaman hias. Dilansir dari web resmi Kementerian Pertanian, Dracaena menjadi salah satu dari delapan komoditas florikultura yang menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia.
Kehadiran Dracaena di hutan, apalagi di hutan konservasi menjadi bank plasma nutfah. Menjadi tempat penyimpanan kekayaan hayati. Perumpamaan jika suatu spesies terancam punah, pada kawasan hutan ini menjadi stock terakhir untuk selanjutnya kembali memulihkannya. Menyelamatkan spesies tersebut agar tidak hilang dari muka bumi. Karena pemanfaatan yang berlebihan kadang membuat suatu spesies musnah. Hilang tanpa jejak alias punah.
Bagaimana ciri-ciri Dracaena? Secara umum, Dracaena memiliki bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Memiliki daun tunggal, tidak bertangkai, dan uniknya pelepahnya memeluk batang. Selanjutnya bagaimana perawan Dracaena multiflora? Menyerupai pohon. Tumbuh berumpun. Sebagaimana lazimnya Dracaena, daunnya tumbuh berkumpul di ujung tangkai batang seperti mahkota. Saya mengamati secara seksama banga batu ini, tumbuh bercabang-cabang. Bisa jadi karena usianya yang juga sudah belasan bahkan puluhan tahun. Tumbuh alami di hutan-hutan batu yang miskin hara ini. Herannya karena tidak semua tipe batu karst mampu tumbuh baik. Ada jenis batuan karst yang identik dengan banga batu ini.
Beberapa jenis Dracaena yang populer sebagai tanaman hias di antaranya: Dracaena braunii, D. fragrans, dan D. trifasciata. Umumnya Dracaena yang menjadi primado menghias taman dan pekarangan rumah karena bentuk daun atau batangnya yang berbeda. Terutama daun yang kadang memiliki variasi warna sehingga menarik minat untuk dikoleksi menjadi tanaman hias. Beberapa jenis Dracaena juga dipercaya memiliki kemampuan yang baik untuk membersihkan udara dalam ruangan dari bahan kimia seperti formandehida.
Pada tahun 2017, Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung melakukan inventarisasi tumbuhan pada tipe ekosistem hutan karst. Mengiventarisasi hutan karst di Desa Bantimurung, Tondong Tallasa, Pangkep pada akhir Mei 2017. Melakukan inventarisasi pada 5 kriteria jenis hutan primer: datar, lorong patahan, lereng sedikit batu, lereng banyak batu, dan punggung bukit. Hasil inventarisasi ini salah satunya menemukan bahwa hutan primer punggung bukit didominasi oleh Dracaena multiflora (Shagir et al., 2017). Pada kegiatan ini juga menjumpai beberapa banga batu yang memiliki diameter di atas 20 cm dengan tinggi mencapai 7-9 meter.
Uniknya karena hanya ditemukan satu jenis tumbuhan Dracaena di kawasan taman nasional. Hanya ada Dracaena multiflora.
Tak terbilang periode perjumpaan saya dengan banga batu ini. Hanya saja tak menelisik secara spesial. Bagi saya, keberadaannya pada punggung-punggung karst menjadi daya tarik tersendiri. Tak jarang sesekali kali saya memotretnya. Pada beberapa kesempatan yang mengabadikan beberapa jenis burung dan kebetulan bertengger pada dahan banga ini. Sebut saja seperti perjumpaan dengan julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) di Amarae, Resor Balocci, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Menjadikan cabang banga batu sebagai persinggahan. Melompat dari dahan satu ke dahan yang lain. Bisa jadi karena tumbuh di atas punggung bukit dan jarang ada pohon yang lebih tinggi yang menaunginya, sehingga tumbuhan ini terlihat paling tinggi. Pada kesempatan lain, saat bertemu dengan kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), tanpa sengaja ada beberapa batang banga batu menghias.
Status konservasi Dracaena multiflora ini, menurut IUCN: Least concern, yang berarti beresiko rendah. Dalam artian bahwa populasinya masih terjaga di alam. Namun ada kekuatiran jika spesies yang berada pada status ini belum dilakukan evaluasi sejak tahun 2001 (IUCN 2012). Karena itu, pemanfaatan suatu spesies perlu pengawasan agar populasinya di alam terus terjaga. Pemanfaatannya pun boleh-boleh saja, asalkan ada upaya budidaya untuk penggunaan secara luas.
Seperti dilansir dari brittania.com, sejumlah spesies Dracaena terdaftar sebagai spesies terancam punah dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN karena pemanenan berlebihan dan hilangnya habitat.
Semoga banga batu ini senantiasa menjadi penghias punggug karst di Taman Nasional bantimurung Bulusaraung, Kawasan Karst Maros Pangkep, dan kawasan karst lainnya. Termasuk juga perlunya penelitian lebih luas tentang spesies ini untuk memahaminya lebih dalam.
Daftar Pustaka
Britannica, The Editors of Encyclopaedia. “Dracaena”. Encyclopedia Britannica, 4 Oct. 2023, https://www.britannica.com/plant/Dracaena. Accessed 14 November 2023.
Batuyong, M. A. R., Calaramo, M. A., & Alejandro, G. J. D. (2020). A checklist and conservation status of vascular plants in the limestone forest of metropolitan ilocos norte watershed forest reserve, northwestern luzon, Philippines. Biodiversitas, 21(9), 3969–3981. https://doi.org/10.13057/biodiv/d210907
Shagir, K. J., Syachrir, M., Usman, Tahari, Yunus, M., & Muasril. (2017). Inventarisasi Tumbuhan Pada Tipe Ekosistem Karst di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
UCN (2012). IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. Second edition (PDF). Gland, Swiss dan Cambridge, Inggris: IUCN. ISBN 9782831714356.
Tolentino, P. J. S., Navidad, J. R. L., Angeles, M. D., Fernandez, D. A. P., Villanueva, E. L. C., Obeña, R. D. R., & Buot, I. E. (2020). Review: Biodiversity of forests over limestone in southeast asia with emphasis on the philippines. Biodiversitas, 21(4), 1597–1613. https://doi.org/10.13057/biodiv/d210441
Wong, K. M., Nilus, R., Petol, G. H., Sungau, J. B., Pereira, J. T., & Ong, R. C. (1999). The lanscape, vegetation and botany of the Semporna Islands of Sabah, Borneo: A conservation perpective. SANKANIA, 13, 41–65.