Klikhijau.com – Ekonomi hijau menjadi perbincangan yang sedang hangat. Ia dianggap sebagai salah satu gerbang untuk mencapaian pembangunan berkelanjutan.
Hanya saja istilah pertanian berkelanjutan dengan ekonomi hijau masih terkadang bikin puyeng alias membingungkan. Khususnya bila melibatkan budaya dan masyarakat adat.
Masyarakat adat sendiri menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah sekelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun.
Masyarakat hukum adat memiliki kedaulatan atas tanah dan sumber daya alam, kehidupan sosial budaya di bawah hukum adat, dan lembaga adat yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat hukum adat.
Ada empat hal yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya, yakni identitas budaya, nilai dan sistem pengetahuan, wilayah adat (ruang hidup), serta hukum adat dan lembaga adat.
Sementara itu, ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan.
Ekonomi hijau juga berarti ekonomi yang menghasilkan emisi karbon dioksida dan pencemaran lingkungan yang rendah atau tidak sama sekali, melestarikan sumber daya alam dan berkeadilan sosial.
Dilansir dari laman ipb, dalam hal penerapan ekonomi hijau, menurut Dr Yudha Heryawan Asnawi, yang merupakan Dosen Sekolah Bisnis IPB University, sebenarnya ekonomi hijau telah diterapkan oleh masyarakat adat, misalnya Suku Badui di Banten, yang selama lebih dari 700 tahun tidak pernah kelaparan.
Itu karena Suku Badui mampu mengelola huma atau sawah ribuan hektar dengan baik. Menariknya pengelolaan itu tanpa adanya teknologi yang modern.
Dikelola mekanisme alam
Dr Yudha Heryawan Asnawi menilai mekanisme surplus dan defisit sebenarnya sudah dikelola oleh mekanisme alam. Hal tersebut disampaikannya dalam webinar Propaktani ““Ekonomi Hijau untuk Sistem Pangan Berkelanjutan” yang diselenggarakan pada 14 Juli 2022 oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
“Pengalaman masyarakat adat dalam mengelola alam seharusnya menjadi renungan dalam mengajarkan dunia bahwa kunci dari ekonomi hijau adalah ketidakserakahan dan keseimbangan alam yang terjaga,” ujarnya.
Pertanian berkelanjutan sering dikaitkan dengan arah perubahan teknologi dan kelembagaan. Dalam pandangannya, dari sudut pandang sosiolog, teknologi adalah kendaraan kapitalisme.
“Sesungguhnya secara tidak langsung, Indonesia turut didorong kelembagaan tersebut menjadi pasar mereka sehingga menggerus kelembagaan yang sudah dimiliki,” ungkapnya.
Di samping itu, lanjutnya, Indonesia dipaksa untuk menjadi sumber pangan dunia ketika sesungguhnya kelembagaan tersebut melakukan aspek-aspek lain.
“Saya melihat ada kuasa pengetahuan dan kuasa kepentingan dunia yang dipaksakan kepada kita. Istilah sustainable agriculture development tidak melulu menjadi sesuatu yang netral tapi ada misi yang mereka pegang,” katanya.
Menjawab kebutuhan manusia
Lebih lanjut, menurut dia, Indonesia terpaksa menjadi negara sumber pangan dunia padahal lembaga tersebut justru melakukan hal lain.
“Teknologi pertanian berkelanjutan seharusnya tidak bisa diseragamkan secara global. Setiap negara pasti memiliki local knowledge yang melibatkan masyarakat adat dan sudah memiliki sejarah panjang. Teknologi yang telah dikembangkan oleh masyarakat ratusan tahun sebenarnya sudah dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan,” ujarnya.
Dia menambahkan, konsep modern tidak hanya menggunakan teknologi canggih, tetapi makna modern dapat menjawab kebutuhan manusia.
Teknik bertani lokal yang mungkin dianggap “kuno” sebenarnya modern dan lebih efisien. Teknologi tidak perlu dikotomi, teknologi modern sebenarnya bisa dimaknai berbeda di setiap daerah.
“Teknologi pada masanya dan filosofisnya (bersifat) sepanjang masa, apa yang sustainable apa yang cocok dalam konteks waktu itulah teknologi. Jadi kita harus melihat teknologi dengan perkembangan masyarakatnya,” tambahnya.
Menurutnya, setiap komponen teknologi pertanian yang dikembangkan masyarakat setempat memiliki nilai spiritual dan filosofis yang tinggi, tidak hanya fungsional dan mekanis. Teknologi ini telah diturunkan dari generasi ke generasi, dan ternyata tahan lama dan lebih berkelanjutan.
“Untuk menguatkan keberjalinan local knowledge dengan pertanian yang berkelanjutan tentu terdapat beberapa instrumen yang harus dimiiliki. Di antaranya harus memiliki ideologi guna membangun kesadaran dan kemandirian, politik yang berpihak pada desa, ekonomi yang berpihak kepada masyarakat desa, pendidikan yang mendorong kemandirian dan inovasi beridkari, dan praktik melalui insentif yang jelas,” tutupnya.