Kearifan Ekologis Masyarakat Adat Kajang dalam Melestarikan Lingkungan

oleh -1,537 kali dilihat
Kearifan Ekologis Masyarakat Adat Kajang dalam Melestarikan Lingkungan
Gerbang masuk kawasan Adat Ammatoa Kajang/foto-ist

Klikhijau.com – Suku Kajang merupakan satu suku atau Komunitas Adat yang terdapat di Kecamatan Kajang Kabupaten  Bulukumba Sulawesi Selatan. Kawasan Adat ini berjarak sekira 165 kilometer dari Kota Makassar.

Suku Kajang termasuk suku tertua di Indonesia yang masih eksis di tengah gempuran modernisasi dengan tetap mempertahankan budaya dan tradisinya. Suku ini bahkan menolak segala bentuk modernisasi dalam aktivitas kesehariannya. Antara lain tidak menggunakan listrik, alat transportasi, tidak memakai sandal dan sepatu, menolak penggunaan alat elektronik dan lainnya.

Penanda utama dari suku ini adalah penggunaan warna hitam pada pakaiannya serta menolak warna mencolok. Aturan ketat diberlakukan khususnya di Kawasan Adat Kajang (Kajang lalang).

Kawasan Adat kajang atau kajang lalang, biasa pula disebut lalang bata.  Kawasan ini benar-benar tertutup, dimana para tamu harus mematuhi aturan dan budaya setempat bila ingin berkunjung atau bertemu dengan kepala suku bernama Ammatowa.

Suku Kajang dikenal memiliki model pelestarian lingkungan yang baik karena menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan sistem kepercayaannya. Simak penjelasannya berikut:

KLIK INI:  Meninjau Ulang Rencana Bupati Bulukumba Datangkan Perusahaan Sawit
Konsep Tomanurung, “Possi tanah” dan Istilah ‘Kajang’

Seperti halnya mitos asal-usul raja di sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan, Komunitas Adat Kajang juga menyimpan mitos mengenai manusia pertama yang  turun ke bumi. Suku Kajang meyakini bahwa manusia pertama yang ada hutan adat Tana Towa bernama Bohe Amma (Ammatowa). Kehadirannya di bumi tidak jauh beda dengan konsep tomanurung atau tu’manurung atau kamase-maseya.

Kemunculan manusia pertama di Kajang sangat erat kaitannya dengan penanda yang disebut “possi tanaya” (pusar tanah). Di sinilah tempat tinggal manusia pertama (pa’rasangang), manusia pertama yang juga diyakini sebagai tumanurung.

Tak lama setelah  kedatangan tumanurung, dikisahkan bahwa ia menghilang atau dalam bahasa Konjo disebut assajang. Sebelum assajang, ia melahirkan 5 orang anak. 4 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Kelima bersaudara tersebut bernama Dalonjo ri Balagana, Dangempa ri Tuli, Damangungsalam ri Balambina, Dakodo ri Sobbu dan Tumutung ri Benteng atau Bohe Tutowa.

Nah ada yang mengaitkan meghilangnya tumanurung ri banteng dengan kata sajang yang kemudian mengalami perubahan pada fonem awal kata menjadi Kajang. Namun, sebagian lagi mengaitkan kata sajang dengan nama sebuah perahu.

Seperti diketahui nenek moyang Kajang berjiwa bahari. Kepiawaian mereka melaut masih tampak hingga kini dimana nelayan-nelayan tradisional masih eksis di wilayah adat Kajang Pesisir (tu pabbiring tamparanga) seperti di Desa Malleleng.

Ada versi lain yang menyebut bahwa kata Kajang diturunkan dari sebuah nama burung yakni koajang (rajawali). Rajawali ini konon digunakan tu’manurung ketika datang di Negeri Kajang.

KLIK INI:  Tawa Ceria Anak Pesisir Pantai Kalumeme di Tengah Abrasi
Pasang ri Kajang

Masyarakat adat Kajang berpegang teguh pada “Pasang ri Kajang” sebagai warisan tradisional leluhur mereka. Pasang merangkum nilai-nilai, baik etika dan norma dalam kehidupan sosial maupun dalam pelestarian lingkungan

Ajaran-ajaran dalam Pasang ri Kajang adalah keyakinan terhadap Yang Maha Pencipta (turie’ Ara’na) yang memberikan tuntunan (patuntung) dalam berperilaku, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Pemangku adat Ammatowa dalam kawasan adat biasa disebut “pa’la’langang’ bertugas menjaga kelestarian pasang agar komunitas masyarakat menaatinya. Setidaknya ada 4 Pasang ri Kajang paling familiar dan dipegang teguh dalam kebudayaan Kajang :

  1. A’lemo sibatu, A’bulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, mate siroko, bunting sipabasa. Lingu sipakainga, sipakatau sipakasiri. Artinya: Memelihara persatuan dan kesatuan yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan, hidup yang harmonis dan damai, menjalin kerjasama yang adil dan merata, penuh kepedulian dan saling menghargai.
  2. Lambusu ki gattang, sabbarakki ki pisona, Artinya: memelihara kejujuran dengan penuh ketegasan , memelihara kesabaran dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan.
  3. Sallu riajoka Ammulu Ri Adahang, allabbui rurung allabbaki cidong, Ammucca ere anreppe batu-batu, amanyu na angei. Artinya: tunduk dan patuh seia sekata penuh percaya diri, merasa bangga terhadap apa yang telah dicapainya dan kuat untuk menghadapi segala bentuk cobaan, gigih mencapai keunggulan, menyadari semua potensi dan kekuatannya.
  4. Angngurangi Mange Ri Turie’ A’ra’na nani gaukang, sikontu passuaroanna, nanililiang sikontu pappisangkana. Artinya, selalu ingat kepada Tuhan yang maha berkehendak, melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Masyarakat adat Kajang sangat konsisten dengan nilai-nilai pasang ri Kajang demi menciptakan hubungan harmonis antara sesama manusia, manusia dengan alam (hutan dan laut) dan manusia dengan penciptanya.

KLIK INI:  Biro Humas KLHK Tingkatkan Kompetensi Pranata Humas Internalnya
Nilai-nilai otentik Budaya Kajang
  • Konsistensi untuk bertahan di tengah gempuran modernisasi maupun isu-isu pemurnian agama.
  • Simbol hitam (le’leng) yang diterapkan secara konsisten sebagai bagian dari adat istiadat dan melambangkan kesetaraan dan filosofi kehidupan yang bersumber dari kegelapan dan menuju kegelapan.
  • Sikap kamase-mase masyarakat adat dalam aktivitas keseharian yang hidup apa adanya dan memanfaatkan alam raya dalam batas paling minimal.
  • Falsafah hidup yang sangat erat dengan tanah atau bumi. Possi tanah sebagai titik pertama kejadian bumi diyakini sebagai sumber inspirasi untuk menjaga dan melestarikan bumi.
  • Hutan menjadi basis material kebudayaan Kajang dan mereka berupaya hidup harmonis dengan alam dengan tidak merusaknya.
 Kearifan ekologis suku Kajang

Berikut ini beberapa penanda betapa masyarakat Suku Kajang memiliki kearifan ekologis yang istimewa, antara lain:

  • Masyarakat adat suku Kajang menempatkan hutan sebagai sebuah kemuliaan yang wajib dijaga dan dilestarikan. Hal ini yang membuat kawasan adat Kajang termasuk yang terjaga sejauh ini.
  • Menariknya, atensi komunitas adat Kajang terhadap lingkungan sangatlah tinggi. Pasang ri Kajang yang setidaknya berisi 120 pasal, hampir seluruhnya berkaitan dengan masalah atau tatacara pengelolaan lingkungan, khususnya mengenai pelestarian hutan adat. Dari 120 pasang, 83 pasal diantaranya berisi aturan umum, 18 berisi pantun dan seni dan 19 pasal berisi sistem pengelolaan lingkungan, khususnya hutan adat.
  • Model-model pelestarian hudat adat di Kajang dipercaya sebagai satu contoh terbaik. Hal ini mengkonfirmasi satu pandangan bahwa kearifan lokal (local wisdom) yang berisi seperangkat pengetahuan yang dipelajari masyarakat dari generasi ke generasi sangat cocok untuk pengelolaan lingkungan secara lestari.
  • Pengelolaan kawasan hutan adat Kajang saat ini telah mendapat legitimasi dari negara dengan SK Hutan Adat dari KLHK pada tahun 2016.
KLIK INI:  Mahasiswa Program Modul Nusantara Unifa Takjub dengan Kearifan Budaya Kajang

Pasang dan Metafora pelestarian alam

Menariknya hampir semua pasal dalam Pasang ri Kajang mengandung metafora atau simbol-simbol ekologis yang membuktikan betapa krusialnya masalah lingkungan dalam keberlanjutan budaya Kajang.

Sebuah pasal misalnya berbunyi Anjo boronga  anre nakkulle nipanraki. Punna nupanraki boronga, nupanraki kalennu (hutan itu tidak boleh dirusak, bila engkau merusaknya maka sama saja dengan merusak dirimu sendiri). Pasal ini menggambarkan bagaimana masyarakat adat Kajang mensejajarkan dirinya dengan lingkungan atau memandang dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan lingkungan.

Dalam narasi yang lain disebutkan antara lain:

  • Anjo kajua paru-parunna linoa (pepohonan itu adalah paru-paru dunia)
  • Anjo uhea kalelenna linoa (air itu pengikat dunia).
  • Anjo boronga anggotakki bosia (hutan mendatangkan hujan).
  • Narie kaloro battu ri boronga, narie timbusu battu ri kajua battu ri kalelenga (sungai yang mengalir itu ada karena adanya hutan, mata air itu pun ada karena ada pohon-pohonan dan semak belukar).
  • Punna nitabbangi anjo kajua riboronga, angngurangi bosi, appakaanre timbusu (apabila pohon-pohonan di dalam hutan ditebang dapat mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air).
KLIK INI:  Di Pasar Desa, KP2K Beraksi Cegah Penyebaran Covid-19
Filosofi Sulapa Appa

Suku Kajang meyakini bahwa keberadaan manusia sangat erat kaitannya dengan konsep empat persegi (Sulapa’ appa’e) yakni api (pepe’), tanah (butta), udara (anging) dan air (ere’). Empat konsepsi ini yang menginspirasi masyarakat Adat Kajang untuk menjaga dan melestarikan hutan. Bagi mereka merusak hutan sama dengan merusak diri sendiri.

Olo-oloji anjo akkulle ammanraki boronga. Jari punna nia’ tau ammanraki boronga sangkammajintu olo’-olo’a (hanya binatang yang dapat merusak hutan. Jadi, jika ada ada manusia yang sengaja merusak hutan berarti ia setara dengan binatang.

4 Hal penting perihal lingkungan
  • Tabbang kaju (penebangan kayu).
  • Tatta uhe (pengambilan rotan).
  • Rao doing (penangkapan udang).
  • Tunu bani (pemanenan lebah hutan).

Pesan ekologisnya menarik: sestem pengelolaan hutan (forest management system), pelestarian hutan (environmental sustainable), ekosistem lingkungan hidup (environmental ecosistems).  4 hal ini menjadi dasar hokum pengawasan yang diamanahkan Ammatowa  oleh Turie’ a’ra’na (sang pencipta).

KLIK INI:  Rayakan 95 Tahun Sumpah Pemuda, Ribuan Orang Muda Aksi Jaga Iklim
Pembagian peran dan pelestarian hutan

Demi menjaga kelestarian hutan adat di kawasan adat Kajang ada peran 5 orang sebagai penjaga hutan tau limayya ditugaskan oleh Ammatowa mengawasi hutan.

Pengangkatan tau limayya dilakukan pada wilayah mukim masing-masing sebagai daerah atau wilayah kerjanya sesuai dengan tuntunan pasang ri Kajang. Kelima penjaga hutan ini bertugas mengawasi orang-orang atau oknum-oknum yang merusak hutan beserta ekosistemnya. Mereka adalah informan khusus dari Ammatowa.

Semua pelanggaran di hutan keramat terlebih dahulu dilaporkan kepada Tumutung yang berdomisili di Kampung Sobbu, yang selanjutnya dipertimbangkan secara matang sebelum akhirnya dilaporkan ke Ammatowa Kajang. Jadi, tidak semua laporan dapat diterima langsung oleh Ammatowa,namun kebenarannya harus dicek terlebih dahulu oleh tumutung.

KLIK INI:  Selada Air, Sayuran Tertua yang Dikonsumsi Manusia dengan Setumpuk Manfaat
Sanski bagi perusak hutan

Jadi bagi mereka yang terbukti merusak hutan dan ekosistemnya akan dipanggil menghadap meja peradilan adat Kajang yang dihadiri Ammatowa ri Kajang dan pemangku-pemangku adat lainnya (Galla Puto, Paranrang bicara, Lompo Ada’) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Adapun sanksi yang diberikan bila terbukti bersalah bisa berupa denda (passala), hukuman masyarakat, pengusiran (ripaoppangi butta).

Para penegak supremasi hokum yang kaitannya dengan pengrusakan hutan adat antara lain: Ammatowa, Karaeng Labbiriya, Angrongta Ri Bungkina, ANgronta Ri pangi, Ada’ Limaya ri Tana Kekeya dan Ada Limayya ri tana Lohea. Mereka ini diberi kewenangan mengadili pelanggaran pengrusakan lingkungan.

Pengadilan adat (abborong ada’) menghadirkan tersangka dan seluruh masyarakat adat untuk menyaksikan jalannya sistem peradilan adat.

KLIK INI:  Kolaborasi dan Komitmen Jaga Laut se Indonesia di Hari Sumpah Pemuda
Proses pembuktian tersangka

Untuk membuktikan kebenaran atas seorang tersangka yang terduga melakukan pengrusakan, dilakukan proses antara lain:

  • Kana tojeng (berkata dengan sebenarnya dengan sumpah adat).
  • Attunu panroli, dimana tersangka disuruh memegang linggis yang membara. Attunu panroli juga diberlakukan pada orang yang diduga memberi keterangan palsu.
  • Attune Passau, dengan memanjatkan mantra-mantra kepada Turie a’rana’ agar memberi kutukan berupa perut buncit (bassung), penyakit lepra (kandala) dan penyakit kronis lainnya.
sanksi
  • Pelanggaran yang paling berat dikenakan hukuman pangkal cambuk (poko’ habbala’) atau setara dengan denda materil sebesar 12 real atau setara dengan 24 ohang (mata uang VOC) atau sekira Rp. 1.200.000 ditambah dengan kain kafan sebanyak 24 siku atau sekitar 12 meter. Pelanggaran berat antara lain: illegal logging, menabang rotan, merusak habitat ikan, merusak sarang lebah hutan.
  • Pelanggaran sedang dikenakan hukuman tengah cambuk (tangnga habbala) atau setara dengan denda 8 real atau setara 16 ohang atau setara dengan Rp.800.000. Pelanggaran sedang antara lain penebangan kayu yang melebihi izin dari pemangku adat.
  • Pelanggaran ringan dengan hukuman (cappa habbala) atau setara dengan denda 4 real atau 8 ohang atau setara dengan Rp.400.000.

Menariknya, hasil dari denda dalam pengadilan dibagi rata pada semua yang hadir. Sedangkan kain kafan disimpan di rumah Ammatowa. Pelaku kemudian diberi nasehat agar tidak mengulangi perbuatannya.

KLIK INI:  Navicula, Grup Band Asal Bali yang Suarakan Isu Lingkungan Melalui Musik

*Sumber: Diolah dari beberapa sumber