Pertemuan Membara dengan Raja-udang Merah Sulawesi

oleh -106 kali dilihat
Pertemuan Membara dengan Raja-udang Merah Sulawesi
Raja-udang merah sulawesi - Foto: Taufiq Ismail
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Pagi itu cuaca tak menentu. Pagi itu, Jumat, 15 Desember 2023. Pagi-pagi sekali saya tetirah ke kawasan wisata Bantimurung, Maros. Bermaksud menikmati keriuhan warna-warni kupu-kupu di kawasan wisata tirta ini.

Selepas memarkir kendaraan, saya menyapa punggawa Resor Bantimurung. Junaidi Sam, Kepala Resor Bantimurung menyambut saya. Kami berdiskusi sejenak di pelataran pusat informasi Bantimurung. Tepat di bawah kaki menara karst. Bangunan dua lantai itu adalah hibah dari JICS ke Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Bangunan megah yang pendiriannya diawasi langsung oleh konsultan asal negeri matahari itu.

“Apakah kupu-kupunya sudah ramai di Telaga Kassi Kebo?” Begitu pertanyaan yang saya lemparkan ke Junaidi. “Sudah ramai Bang. Sudah ramai sejak hujan sudah mulai turun,” jawabnya.

Saya kemudian mengutarakan maksud kedatangan bertamu. Mengobrol, sembari mengeluaran kamera dari tas. Junaidi lalu menyambarnya. Memotret dua kupu-kupu yang asyik mengisap nektar pada bunga pagoda. Bunga pagoda yang berada di halaman kantornya.

Nampak beberapa kupu-kupu terbang di mana-mana. Awal musim hujan memang pertanda musim kupu-kupu mulai bersemi. Jika beruntung kita bisa menemukannya berkumpul dalam jumlah besar, terutama di tepian sungai.

Karena itu saya ingin bergegas menuju titik pengamatan. Junaidi kemudian mengiringi saya. “Saya antar sampai di air terjun,” kilahnya.

KLIK INI:  Cerita Baru Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi Lintas Provinsi di Makassar, Tersangka Siap Disidangkan

Kawasan wisata pada pagi hari masih sepi, apalagi masih di bawah pukul 9 pagi. Hanya nampak kesibukan beberapa petugas sedang menyingkirkan sampah. Sang kepala resor sesekali menegur petugas yang sedang melaksanakan kewajibannya itu.

“Tak apa-apa sendiri ya, saya antar sampai di sini saja,” pungkas Junaidi sebelum kami berpisah. Saya kemudian mengucapkan terima kasih atas keramahannya.

Air terjun masih mengalirkan air dengan debit normal. Warnanya sudah mulai kecoklatan. Meski hujan beberapa pekan terakhir ini belum membuat airnya meluap.

burung raja-udang merah sulawesi
burung raja-udang merah sulawesi – Foto: Taufiq Ismail

Setelah puas memandangi air terjun megah itu, saya kemudian mulai menaiki anak tangga di sisi kiri air terjun. Berjalan perlahan namun pasti. Sinar matahari mulai menyinari meski langit tak begitu bersih. Nampak beberapa gulungan awan hitam menyambang di sana.

Saya kemudian menyalakan kamera. Membuatnya dalam keadaan siap tempur. Sesekali memerikasa sekeliling. Berharap ada fauna yang menampakkan diri. Beberapa ekor kupu-kupu mengunjungi bunga yang mekar. Saya kemudian memotretnya beberapa.

Nampak di badan sungai ada soa-soa, Hydrosaurus celebensis, sedang terdiam. Sepertinya ia menunggu matahari yang terik. Memanaskan tubuhnya. Saya lalu menjebretnya beberapa kali. Setelah itu meninggalkannya berleha-leha di atas batang aren di tengah sungai.

Saya terus berjalan, selalu mawas diri. Selalu bersiap dengan segala kemungkinan. Hingga akhirnya saya tiba di tepi Telaga Kassi Kebo.

KLIK INI:  Status Burung di Indonesia 2021, 9 Jenis Burung Ini Berisiko Punah!

Matahari mulai memudarkan sinarnya. Barangkali tertutup oleh awan. Saya tak lagi menemukan air yang berwarna. Berwarna hijau toska seperti saat kemarau. Kini airnya telah berubah warna, berubah menjadi coklat. Ini pertanda musim hujan telah menyapa.

Saya hanya menjumpai beberapa jenis kupu-kupu yang asyik mengisap mineral di pasir yang basah. Saat menyadari kehadiran saya, mereka menghambur.

“Sepertinya kupu-kupunya kurang ramai. Bisa jadi karena cuaca kurang bersahabat,” batin saya.

Karena itu, setelah memotret satu per satu spesiesnya, saya putuskan balik kanan. Apalagi gerimis mulai turun. Setidaknya dengan berada di bawah rindang pepohonan bisa menepis bulir-bulir hujan yang turun, pikir saya.

Kini harapan bertemu keriuhan kupu-kupu harus saya pendam dalam-dalam. Harus mencari hari lain untuk menemukannya lebih ramai.

Kini harapan satu-satunya bisa berjumpa dengan burung yang biasanya khilaf menampakkan diri.

Ada beberapa spesies burung yang telah saya ketahui menghuni koridor karst Bantimurung ini. Saya pun hafal titik perjumpaan sebelumnya.

Karena itu saya selalu menanti mereka saat melintas. Betul saja, seekor burung memotong jalan saya. Terbang tak begitu tinggi, namun cukup gesit. Karenanya membuat saya tak dapat mengenalinya. Terbang rendah menuju semak belukar di bawah rindang pepohonan.

KLIK INI:  Ancol Taman Impian Gandeng JBS dan Belantara Foundation Gelar AWC di Ancol

Saya berjalan memutar berharap bisa berpapasan dengan sang burung. Mencoba menerabas semak dan rotan. Mencarinya hingga sampai di kaki menara karst yang menjulang. Masih belum ada tanda-tanda. Saya putuskan terus mencarinya. Namun naas, di balik batu ternyata dia bertengger, saya tak melihat. Ia lebih dahulu menyadari keberadaan saya. Karena itu dengan gesit, ia meninggalkan saya. Meninggalkan saya dengan kehampaan.

Saya masih terus mencarinya. Namun sulit sekali memprediksi arah terbangnya. Karenanya membuat saya galau, antar melanjutkan atau balik kanan. Saya kemudian melihat jam, ternyata sudah menunjukkan pukul 10:00 wita.

“Ini hari Jumat. Sebentar lagi salat jumat tiba,” pikir saya. Karena itu saya putuskan balik arah. Meski begitu saya tidak kembali ke jalan umum seperti halnya para pelancong. Lebih memilih berjalan di lantai hutan. Mencoba menelisik koridor ini.

Saya sedikit kaget saat melihat tajuk pohon yang bergoyang Saya coba selisik, ternyata seekor monyet hitam sulawesi, Macaca maura, sedang memanen buah masak.

Gerimis mulai reda. Saya pun sudah berada di track jalan wisata. Sejurus kemudian saya terhenti. Melihat sesuatu yang bergerak dari kejauhan. Ukurannya lebih kecil. Saya jadi penasaran, apakah itu daun kering yang tertiup angin ataukah seekor burung?

Saya coba angkat kamera mencoba memastikan. Ternyata seekor burung. Wah.. seru nih. Saya jadi deg-degan. Mengingat burung yang saya temui adalah incaran saya selama ini.

Ya.. namanya: raja-udang sulawesi, burung yang hanya bisa ditemui di Pulau Sulawesi. Burung mungil yang selalu saya damba. Beberapa kali berjumpa kala blusukan ke hutan idaman. Namun selalu tidak beruntung.

Pernah bertemu di Pattunuang, namun lagi jalan kosong. Saya lagi tak bawa kamera kala itu. Pernah juga bertemu di tempat serupa, namun saya tak menyadari keberadaannya. Pemilik nama latin Ceyx fallax ini pun segera minggat saat melihatku.

Ini pun saat bertemu hampir sama kejadiannya. Dia sudah standby begitu saya lewat. Si raja udang endemik Sulawesi ini sedang bertengger di tumbuhan merambat. Begitu rendah posisinya, tak lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.

Saat saya perhatikan, si doi lagi membanting makanan tangkapannya. Membanting kadal kecil yang berhasil dia jepit dengan paruh panjangnya. Hanya beberapa hentakan, si kadal tak lagi bergerak. Ia pun segera menelannya bulat-bulat.

Saya terus memantaunya. Sedikit bergerak mendekatinya. Jarak dari saya hanya sepelemparan. Hanya sekitar lima meter. Pertemuan yang tak terduga.

Karena itu suara shutter pun terkadang mengganggunya. Terlihat dia gelisah saat saya membekukannya. Terganggu dengan suara asing di habitatnya.

Saya pun cukup pegal dengan hanya meng-handle lensa putih ini. Dengan perlahan saya pun berjongkok. Bergerak perlahan. Hingga akhirnya bisa bertumpu pada lutut sebagai pengganti tripod. “Syukurlah dia belum terbang,” batin saya.

Tak berselang lama, dia pun berpindah tempat. Berpindah pada pelepah aren yang mengering. Bertengger di seberang jalan, tepat di sisi sungai.

Terus memantau pergerakannya. Saya bergerak ekstra hati-hati. Berusaha agar tidak membuat gerakan yang mengagetkannya.

Posisi saya sepertinya kurang menguntungkan saat ia berpindah tempat. Ada perdu yang menghalangi. Maklum posisi saya sudah jongkok. Saya coba memotretnya beberapa kali, namun kurang bersih. Masih terhalang oleh dedaunan.

Saya kemudian berangsek perlahan. Mencari posisi terbaik mengekernya. Hingga akhirnya saya dapati posisi yang pas. Saya pun memanfaatkan baru besar di depan saya sebagai sandaran kamera.

Jadilah saya leluasa menunggu pose terbaiknya. Saat bertengger di doi juga sempat menangkap laba-laba yang melintas di depan. Sekali hentakan, laba-laba malang itu tak berkutik.

Shutter kamera terus bertekan. Memotret setiap perubahan tingkahnya. Ia terus menggerakkan kepalanya ke sisi kiri dan sesekali menengadah ke atas. Sepertinya dia melebarkan telinga. Mencoba mengenali suara asing sekitarnya. Termasuk warna yang tak biasa ia lihat. Beruntung saya menggunakan pakaian yang tersamarkan dengan lingkungannya sehingga tak mencolok baginya.

Saya coba memegang bodi kamera. Sedikit hangat. Mesinnya terus bekerja. Karenanya saya coba mematikannya. Sang doi pun masih anteng di sana. Mungkin karena sudah kenyang sehingga ia sedikit malas bergerak.

Tak lama ia memutar badan. Sepertinya sudah mulai menyadari keberadaan saya. Karena itu saya coba kembali memotretnya. Memotret sisi lain darinya.

Pada pose ini tunggir belakangnya yang berwarna biru muda nampak jelas. Bulu pada bagian belakang inilah, salah satu yang membedakan dengan spesies raja-udang mungil lainnya yang hampir serupa dengannya.

Tak lama setelah membalikkan badan, ia pun terbang menjauh. Saya sempat mengabadikannya, mengepakkan sayapnya sebelum akhirnya mengudara. Ia melesat dengan cepat, membuat saya tak dapat mengikutinya dengan mata.

Saya coba melihat layar kamera. Mencoba menikmati lekuk tubuhnya. Begitu mungil dengan variasi warna yang beragam. Mulai dari jingga, merah muda, biru muda, coklat hingga warna putih. Paruhnya lebih panjang. Menjadi senjata saat menukik di air menangkap buruannya.

Pertemuan yang mendebarkan. Pertemuan yang selalu dinanti. Semoga saat kembali bertandang bisa menjumpainya di lokasi serupa.

Selalu ada kenikmatan tersendiri saat menjelajah hutan. Selalu ada keberuntungan bagi mereka yang berani keluar dari zona nyamannya.

KLIK INI:  4 Tanaman yang Sejak Dahulu Kayunya Diyakini Berkhasiat Obat