Jalan Panjang Perjuangan Masyarakat Toraja Tolak Tambang

oleh -880 kali dilihat
Jalan Panjang Perjuangan Masyarakat Toraja Tolak Tambang
Gerakan penolakan yang dilakukan kelompok masyarakat yang menamakan diri ‘Toraja Tolak Tambang’ - Foto/edelweisnews
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Konflik masyarakat dengan perusahaan tambang kembali terjadi di Tana Toraja. Meski bukan termasuk kasus baru, pada 4 Februari lalu masyarakat yang dimotori kelompok pemuda dan mahasiswa melakukan aksi penolakan aktivitas tambang yang berada di dua kecamatan di Tana Toraja.

Gerakan penolakan yang dilakukan kelompok masyarakat yang menamakan diri ‘Toraja Tolak Tambang’ berawal dari rencana konsesi tambang dua perusahaan eksplorasi tambang mineral logam yaitu PT. Cristina Explo Mining dan PT. Tator Internasional Indutrial di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bittuang dan Kecamatan Masanda.

Kedua perusahaan ini memiliki luas wilayah konsesi tambang seluas 4000 hektar dengan pembagian PT. Christina Eksplo Mining (CEM) seluas 3.200 ha untuk tambang jenis Galena DMP dan PT. Tator International Industrial (TII) seluas 1.389 ha untuk tambang jenis logam dasar.

Aktivitas eksplorasi tambang ini berlangsung di dataran tinggi diimana sebagian besar wilayahnya berada di kecamatan Bittuang.

KLIK INI:  Mudik dan Kampung yang Dikepung Sampah Plastik
Protes aliansi masyarakat

Bagi aliansi gerakan, lokasi perizinan aktivitas tambang ini berada di wilayah yang bukan diperuntukkan untuk kawasan pertambangan.

Meski tertera dalam Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Tana Toraja 2011-2030 bahwa kecamatan Bittuang masuk dalam kawasan pertambangan, namun kecamatan Bittuang juga termasuk dalam zona merah rawan bencana longsor dan gempa bumi.

Pencemaran sungai yang disebabkan aktivitas tambang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat setempat. Kondisi geografis Tana Toraja yang berada di daerah dataran tinggi menjadikannya sebagai pemasok air utama bagi sungai di sekitarnya termasuk sungai Sa’dan. Sungai Sa’dan memberikan kiriman air yang melimpah bagi beberapa kabupaten di sekitarnya.

Ancaman kerusakan hulu sungai dapat membawa dampak besar bagi kualitas air yang mengairi irigasi sawah-sawah warga.

Limbah tambang yang mengandung zat kimia mineral logam buangan tambang dapat berakibat buruk bagi kehidupan ekosistem sungai dan masyarakat yang mengonsumsi air dari sungai.

Fiki, salah seorang mahasiswa yang tergabung dalam aliansi menjelskan, “Secara geografis Toraja berada di daerah ketinggian dan banyak daerah di sekitarnya (Enrekang, Pinrang dan Sidrap) yang mendapatkan kiriman air melalui Sungai Sadan (hulu sungai Toraja) untuk kebutuhan domestik dan pertanian mereka.

Secara otomatis, ketika hulu sungai ditambang akan mengancam kualitas air sungai karena limbah dan sedimentasi tambang akan mencemari sungai,” tutur anggota Format ini.

KLIK INI:  Maurice, Ayam Jantan Pertama di Dunia yang Menang di Pengadilan

Aliansi tolak tambang juga menganggap aktivitas tambang di sekitar hulu DAS dapat mengakibatkan bencana ekologis seperti banjir dan longsor. Analisis ini tak lepas dari potensi bencana di kecamatan Bittuang yang masuk kategori rawan longsor.

“Apalagi kita tahu, dunia saat ini mengalami krisis iklim. Membuka tambang di Hulu DAS akan meningkatkan bencana ekologis seperti banjir, kekeringan, banjir bandang dan tanah longsor. Dalam RTRW Tana Toraja, Kecamatan Bittuang dianggap daerah rawan longsor dan pusat gempa bumi. Membuka tambang akan meningkatkan resiiko bencana,” tutur Riski.

Atang, pemuda yang bermukim di sekitar wilayah tambang menjelaskan, “Kalau respon masyarakat menolak, alasannya karena takut dengan dampak terhadap lingkungan sektiar karena kebanyakan masyarakat sekitar petani,” tegas mahasiswa ini.

Selain ancaman bencana ekologis akibat tambang, aliansi gerakan juga menganggap kehadiran perusahaan ekploratif mengancam kehidupan masyarakat yang bermukim di dua kecamatan ini.

Ancaman penggusuran tanah adat yang berada di wilayah konsesi tambang dan rusaknya peninnggalan budaya setempat menjadi mimpi buruk bagi masyarakat setempat.

“Tambang ini mengapling 9 lembang yaitu lembang Sandana, Bau, Sasak, Burasia, Balepe, Pali, Paliorong, Ratte dan Rembo-rembo. Ironisnya didalam wilayah yang telah diterbitkan IUP tersebut ada banyak pemukiman, kebun, sawah, tongkonan dan liang (kuburan batu),” lanjut Riski.

KLIK INI:  Pakai Kostum Brasil dan Jepang, Aktivis Tuntut Hapus Konsesi PT Vale di Pegunungan Lumereo
Perlawanan melawan tambang

Kasus konfllik masyarakat Toraja dengan perusahaan tambang sebenarnya telah berlangsung beberapa tahun lalu. Dari hasil penelusuran beberapa pemberitaan, PT Christina Eksplo Mining pada 2011 lalu juga pernah mengurus perizinan tambang galena namun mengalami kendala dalam perizinan tambang di wilayah yang sama.

Dua tahun setelahnya, pada 2013 silam masyarakat Sangkaropi’ melakukan penolakan dan blokade jalan aktivitas tambang PT. Makale Toraja Mining yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan cagar budaya masyarakat setempat.

Selain kedua perusahaan diatas, Aliansi Gerakan Toraja Tolak Tambang juga menemukan beberapa informasi terkait izin usaha pertambangan yang telah dikantongi beberapa perusahaan tambang di daerah Tana Toraja.

“Kami mencoba mengakses informasi baik itu melalui instansi pemerintahan, situs ESDM serta jejaring yang lain ternyata banyak perusahaan yang memiliki ijin WIUP dan IUP yang akan melakukan aktivitas pertambangan di Toraja. Baik itu sektor energi maupun mineral”, tambah Fiki.

Hingga kini Aliansi Toraja Tolak Tambang masih getol berjuang untuk mencabut izin tambang dua perusahaan dan perusahaa-perusahaan tambang lainnya yang berniat mengeksplorasi di Tana Toraja. Pada 17 Februari lalu, Aliansi menggelar petisi daring di change.org bagi masyarakat yang ingin bersolidaritas bersama mereka.

KLIK INI:  Banjir di Sulsel, Sinyal Kuat Krisis Iklim yang Sungguh Nyata?