Bercengkrama dengan Satwa Karst Di Rimba Malam

oleh -480 kali dilihat
Bercengkrama dengan Satwa Karst Di Rimba Malam
Tarsius fuscus/Foto-Tahari

Klikhijau.com – Bekerja sebagai petugas taman nasional mengharuskan selalu bergelut dengan alam liar. Rimbunnya pepohonan, terjalnya medan hingga mencari tahu sarang binatang liar.

Orang lain seringkali menganggap hal semacam itu aneh, atau bahkan menganggap kurang kerjaan. Namun, itulah tuntutan sebagai petugas rimba.

Menjelajah rimba seolah tak ada habisnya. Seperti halnya pada pertengahan Oktober 2018 lalu, saya berkesempatan menjelajah alam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kali ini kami diharuskan menyibak belantara hutan batu gamping di malam hari.

Berkelana di alam seringkali tak dapat diprediksi hasil atau apa yang akan terjadi. Kami sengaja mencari satu jenis satwa tetapi justru jenis lain yang kami temukan.

Sore itu selepas Ashar, saya bersama tim bersiap melakukan survey satwa. Kami berencana menetap di hutan untuk beberapa hari. Kami lantas menyiapkan tenda, matras, peralatan dapur serta runsum untuk beberapa hari.

Setelah tim berkumpul, kami berangkat berbarengan menuju spot pengamatan. Lokasi yang kami tuju tak begitu jauh, hanya sekitar tujuh kilometer dari kantor balai taman nasional.

Hanya saja wilayah ini tak terjangkau signal telepon selular. Kondisi tersebut membuat tim seolah menghilang sejenak dari hingar-bingar dunia luar.

KLIK INI:  Mengintip Satu Abad Tata Kelola Bantimurung

Tidak sampai setengah jam kami telah sampai di ujung aspal menuju spot. Kami berbelok ke arah kanan sebelum menapaki jalan layang Pattunuang.

Keluar dari jalan poros. Kami disambut susunan rapi paving blocks. Hingga akhirnya kami tiba tepat di depan kantor Resor Pattunuang. Memarkir kendaraan kemudian mulai berjalan menyusuri susunan paving yang diperuntukan untuk wisatawan. Akhirnya kami tiba Kawasan Wisata Pattunuang.

Kawasan Wisata Pattunuang terkenal dengan cerita legendaris batu terbaliknya: Bisseang Labboro. Tak sedikit komunitas pecinta alam dari berbagai perguruan tinggi menjadikan lokasi ini untuk gelar pendidikan dasar. Mengenalkan alam kepada calon-calon perwira rimba.

Sungai Pattunuang yang membelah gugusan batu gamping menjadi daya pikat. Beragam satwa liar bergantung pada aliran air yang tak pernah mengering ini. Serangga, reptil, mamalia hingga manusia sendiri juga bergantung dari alirannya.

Tiba di Dusun Pattunuang, kami mendapat sambutan hangat dari Pado, petugas resor. Bercengkrama sejenak dengan penduduk setempat sembari melepas dahaga.

Kami lalu melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan setapak berpaving sepanjang sempadan sungai. Sesekali kami mendapati soa-soa (Hydrosaurus amboinensis).  Menyadari kedatangan kami, mereka berlari, menghindar. Satu dua menyeberangi sungai.

Satu kilometer sebelum sampai tujuan kami melintasi sungai melalui jembatan yang berdiri megah. Jembatan ini dibangun pihak taman nasional beberapa tahun silam.

Selain memudahkan wisatawan menuju batu terbalik yang berlegenda, juga bermanfaat bagi warga yang menetap di Dusun Tallasa, Desa Samangki, Simbang, Maros. Penduduk setempat yang menetap di zona khusus taman nasional.

Sebelum Magrib, tim telah tiba di lokasi camping ground. Tepat barada di sempadan sungai. Hanya sepelemparan dari bisseang labboro. Tak ada waktu berleha-leha. Tim dengan kompak mendirikan tenda.

Satu dua orang dari kami menyiapkan dapur umum. Ada juga yang mulai menggantung tali hammuknya. Lainnya menyibak tumbuhan perdu di areal mendirikan tenda.

KLIK INI:  Gelar Aksi Bersih, Balai TN Bantimurung Bulusaraung Kumpulkan 10 Ton Sampah

Saat alarm salat dari salah satu tim berbunyi, tenda telah berdiri rapi. Kawan yang bertugas di dapur pun telah memulai tugasnya. Setelah menunaikan salat, tim pun berkumpul, menyusun rencana. Membangi tim mengamati satwa malam: Tarsius fuscus.

Salah satu satwa endemik Pulau Sulawesi. Tim memantau populasi sang satwa pada malam hari.

Tarsius adalah kelompok satwa malam. Ia beraktivitas di malam hari, siang justru ia manfaatkan untuk beristirahat. Pengamatan dimulai saat tarsius memulai aktivitas sore hari dan kembali ke sarang menjelang pagi.

Saya sendiri satu regu dengan Pado. Bertugas mengamati tarsius di salah satu sarangnya yang berada di tebing batu gamping. Regu lain terbagi ke sarang-sarang yang berada tak jauh dari lokasi tenda berdiri.

Lepas santap malam tim berpencar menuju lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Derik tonggerek berpadu suara jangkrik bersahutan. Sesekali sahutan burung hantu terdengar. Memainkan orkestra alam yang merdu.

Pado berjalan di depan. Ia berjalan mantap. Menyibak liana yang meninggi. Ia tak menghiraukan jalan yang tak rata. Bermodal senter kepala dan kamera, ia terus mendekati sarang sang satwa malam.

Tepat di kaki karst yang mulai menjulang, Pado menghentikan langkahnya. Ia mengamati sekeliling. “Di sekitar sini sarangnya.” Pado menunjuk ke arah tebing batu gamping.

KLIK INI:  Peringati Hari Ketiadaan Tanah, SPTR Suarakan "Sulsel Darurat Agraria", Ini 9 Tuntutannya!

Ia terus mencari sosok satwa incaran. Terus mendongak, mengarahkan senter ke kiri dan ke kanan. Liana yang memilitnya tak ia hiraukan. Terus berangsek mendekati dinding tebing.

Berjalan mengitari lokasi yang menjadi sarang tarsius. Berharap menjumpai satu kelompok tarsius keluar dari sarang untuk mencari makan atau sekedar memulai aktivitasnya.

Pohon di lokasi sekitar sarang tak begitu rapat. Pohon besar bisa dihitung jari. Hanya pancang seukuran betis orang dewasa, cukup rapat. Hingga tak lama berselang sorotan senter kepala Pado berpapasan dengan sorot mata satwa malam.

Pado berseru, ”Itu ada Cangali,” ia berbisik lirih ke arah saya. Saya pun mendekatinya. Penasaran dengan satwa dimaksud. Saya kemudian mengikuti arah telunjuk Pado.

Benar saja saya melihat dua ekor kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis). Mereka sedang asyik mencari makan di pucuk pohon jambu-jambuan. Ia tak serta merta menghindar. Bergerak lambat, membuat kami bisa berlama-lama melihat sosoknya.

Kuskus kerdil adalah nama lainnya. Ia tergolong herbivora, makanan utamanya ialah dedaunan dan buah-buahan. Satwa ini terkenal penyendiri. Sebaran kuskus terbatas.

Di Indonesia sendiri hanya bisa dijumpai di Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jenis kuskus hanya bisa dijumpai di belahan dunia lain di antaranya: Australia dan Papua New Guinea. Untuk kuskus kerdil hanya bisa dijumpai di Sulawesi dan pulau satelitnya.

Badan berwarna kecoklatan cerah seperti warna sapi bali. Mata bulat dengan kumis tipisnya. Mulutnya runcing. Mata bulatnya membelalak. Bulunya lebat. Bentuk muka yang bundar dengan daun telinga kecil. Sungguh menggemaskan.

KLIK INI:  Kebun Binatang Surabaya Berhasil Tetaskan 74 Telur Komodo

Panjang tubuh si Small Sulawesi Cuscus ini hanya berkisar 29-38 cm dengan berat sekitar satu kilogram. Cukup mungil kan!

Tak banyak yang pernah menjumpainya secara langsung. Bisa jadi hanya mereka yang menetap di sekitar hutan kadang-kadang berjumpa dengannya. Aktif di malam hari membuatnya tidak sepopuler kuskus beruang (Ailurops ursinus).

Bagaimana dengan status konservasinya? Kuskus kerdil termasuk kriteria “Vulnerable”. Satwa australis ini seperti kanguru, kuskus betina melahirkan anaknya kemudian merawat dan membawa sang anak di dalam kantung yang terdapat di perutnya. Lucu kan!

Saya puas mengamatinya. Betapa senang bisa berjumpa dengan satwa berkantung ini. Hingga kemudian sang satwa menyadari kehadiran kami. Dengan gerakan khasnya, bergerak lambat (slow motion).

Ia berpindah dengan mengandalkan ekornya yang panjang, berpegangan pada dahan satu ke lainnya. Hingga kemudian menghilang dari pandangan kami.

Pado kemudian berfokus mencari tarsius. Dengan indra penciumannya ia yakin tarsius ada di sekitar kami. “Mereka ada di sekitar sini,” tunjuknya ke arah tebing. Hingga saya tak menyadari ia telah memanjat tebing. Saya yang asyik mendongak mencari si mata bulat itu tak menyadari keberadaan Pado.

Saya kemudian memutuskan mengikuti Pado. Ikut memanjat tebing. Penasaran melihat langsung sang satwa.

Ternyata tak mudah memanjati tebing tanpa peralatan yang memadai. Bermodalkan tekad dan rasa penasaran yang membuncah. Tak membiarkan Pado jauh dari jangkauan saya.

Pado begitu lincah berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya. Saya kewalahan dibuatnya. Cadasnya batu gamping tak memberi ampun jika anggota tubuh terbentur. Sesekali lutut saya terantuk.

KLIK INI:  Lagi, Karena Ulah Manusia Ribuan Spesies Binatang Berisiko Punah

Saya meringis kesakitan. Namun tak menyerah, terus berdampingan dengan Pado. Mata saya juga terus awas, mencari si mungil. Berharap mendapatinya berpegang erat di ranting pohon.

Hingga akhirnya pencarian kami membuahkan hasil. Pado melihatnya saat melompat. Berpindah dari ranting ke ranting. Ia menunjukkan ke saya.”Itu dia di atas pohon.” Menunjuk ke arah pohon yang akarnya melekat di tebing batu gamping.

Sesekali Pado mengusap peluh yang bercucuran. Kami kemudian memotretnya. Belum mendapat gambar yang cukup baik, ia telah menyadari keberadaan kami. Tanpa pamit ia sudah melompat, berpindah. Menghilang di kesunyian malam.

Hingga kemudian kami mencoba mencari ke mana ia pergi. Namun hasilnya nihil. Tak gampang mengikutinya. Sekali melompat ia bisa berpindah tempat beberapa meter. Hingga kemudian kami memutuskan menyudahi pencarian malam itu.

Kami kembali ke tenda. Beberapa regu belum kembali. Satu dua regu mengabarkan bahwa mereka tak berjumpa langsung.

Hanya mendengarkan suara sang satwa saat akan keluar dari sarang. Meski begitu mereka tetap senang. Bertualang di gelapnya rimba.

Semoga megahnya bukit-bukit batu kapur terus berdiri hingga akhir zaman. Menenteramkan biduk-biduk penghuninya. Kuskus sulawesi dan tarsius adalah bagian kecil dari satwa yang menjadikan karst sebagai rumahnya.

KLIK INI:  Benarkah Kupu-Kupu Ekor Sriti Paling Dikagumi Wallace?