5 Puisi Wiji Thukul Berdiksi Alam dengan Napas Perlawanan yang Kuat

oleh -551 kali dilihat
5 Puisi Wiji Thukul Berdiksi Alam dengan Napas Perlawanan yang Kuat
Wiji Thukul-Foto/Tirto-Sabit

Klikhijau.com – Wiji Thukul menghilang entah ke mana pada tahun 1998. Lelaki yang lahir pada 26 Agustus 1963 itu dikenal sebagai penyair dan juga aktivis.

Ia lahir di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah. Masyarakat di kampungnya mayoritas bermata pencaharian sebagai buruh dan tukang becak.

Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak sekolah dasar (SD). Puisi-puisi Wiji Thukul kebanyakan bernapas perlawanan. Itu tak mengherankan karena Thukul merupakan aktivis yang gigih melawan penindasan rezim orde baru.

Di antara puisi-puisi perlawanannya itu, banyak yang berdiksi alam yang menyorot persoalan ketidakadilan, di antaranya:

KLIK INI:  6 Penyair Arab Beserta Puisinya dengan Diksi Alam yang Menyentuh

Bunga dan Tembok

 

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

KLIK INI:  Menantu yang Diingini Ibu

Nyanyian Akar Rumput

 

Jalan raya dilebarkan
Kami terusir
Mendirikan kampung
Digusur
Kami pindah-pindah
Menempel di tembok-tembok

Dicabut
Terbuang
Kami rumput
Butuh tanah

Dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Juli 1988

KLIK INI:  Menikmati Akhir Pekan Bersama 3 Puisi Bertema Hujan dari M. Aan Mansyur

Tanah

 

tanah mestinya dibagi-bagi
jika cuma segelintir orang
yang menguasai
bagaimana hari esok kamu tani
tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap
dari cerobong asap besi
hari ini aku mimpi buruk lagi
seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi

KLIK INI:  Masih 16 Tahun, Aktivis Lingkungan Ini Dijagokan Raih Nobel Perdamaian

Catatan Suram

 

kucing hitam jalan pelan
meloncat turun dari atap
tiga orang muncul dalam gelap
sembunyi menggenggam besi
kucing hitam jalan pelan-pelan
diikuti bayang-bayang
ketika sampai di mulut gang
tiga orang menggeram
melepaskan pukulan
bulan disaput awan meremang
saksikan perayaan kemiskinan
daging kucing pindah
ke perut orang!

Solo, 1987

KLIK INI:  Perempuan yang Berjalan di Gelombang

Burung Dara Pagi Terbang

 

burung dara pagi terbang
pulang sarang rembang petang
tidur mendengkur tiada beban di mata
pada ketakpastian musim

burung dara pagi terbang
tiada cemas di mata
pada matahari yang tergelincir
tidur malam tanpa mimpi buruk

punyaku hanya gema
bernama luka dan kenangan
pagi berangkat kerja
sore tertegun, bintang di kamarku
mengganti angka-angka kalender

KLIK INI:  Sampah dan Mahasiswa