Menilik Kisah Pilu Masyarakat Terdampak Semburan Lumpur Lapindo dalam Film Grit

oleh -738 kali dilihat
Menilik Kisah Pilu Masyarakat Terdampak Semburan Lumpur Lapindo dalam Film Grit
Ilustrasi - Foto/SBS
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Hari ini, 29 Mei 2020 tepat 14 tahun peringatan bencana ekologis semburan lumpur yang disebabkan oleh perusahaan Lapindo Brantas terjadi di Sidoarjo. Melalui film Grit, kita bisa melihat dengan seksama bagaimana impact yang ditimbulkan akibat kejadian itu.

Film yang sangat kuat ini menjadi saksi tragedi dalam skala epik ketika tsunami lumpur beracun menggusur lebih dari 60.000 orang di Indonesia dan hanya menyisakan geiser mengalir dari pasir kasar yang merusak ekosistem.

Dikemas dengan gejolak politik, Grit mengundang penonton untuk melihat tragedi melalui para penyintas yang suaranya diabaikan oleh pemerintah. Melihat mereka yang terdampar dan diasingkan, ketika mereka menyaksikan lumpur naik ke tanah air mereka dan menelan tanah dan segala kepunyaan masyarakat.

Film besutan Sasha Friedlander dan Cynthia Wade (pemenang Oscar untuk Freeheld, yang dibuat ulang sebagai drama yang dibintangi Ellen Page dan Julianne Moore) dapat mengklaim mereka sebagai duo yang layak dibandingkan dengan Jennifer Baichwal dan Edward Burtynsky dengan film yang dibuat dengan indah ini.

Tragedi Lapindo yang memilukan
KLIK INI:  KLHK Beri Anugerah PROPER 2020, Perusahaan Dinilai Sukses Turunkan Emisi Karbon

Mereka memanfaatkan kekuatan yang menggugah dengan lanskap menarik untuk menciptakan kisah menakutkan tentang apa yang dipertaruhkan untuk planet kita saat ini.

Grit menemukan subjek yang lebih besar dan lebih buruk daripada Bendungan Tiga Ngarai, ladang baja Cina, atau sungai merah darah di Sudbury, Ontario, yang semuanya dilihat di Bentang Alam yang Diproduksi.

Friedlander dan Wade memusatkan pandangan mereka pada masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, di mana sebuah sumur gas yang dibangun oleh perusahaan minyak Lapindo menghantam gunung lumpur bawah tanah sembari menjarah sumber daya dari tanah pada tahun 2006.

Grit menjelaskan bagaimana dasar tanah lumpur bawah tanah ini bisa muncrat ke permukaan, hingga menewaskan 16 orang dalam ledakan besar, dan menelan banyak korban dalam banjir lumpur. Sekitar 16 desa telah tenggelam di bawah lumpur setinggi 60 kaki.

KLIK INI:  Kongres Kehutanan Indonesia VII, Serukan Komitmen Kebermanfaatan Hutan
Bermula dari kisah tentang keluarga miskin

Film berdurasi 47 menit ini bercerita tentang keluarga yang menjadi miskin karena kehancuran rumah dan keluarganya mereka yang tidak masuk akal.

Film ini melihat perjuangan untuk keadilan melalui mata Dian, seorang gadis berusia enam belas tahun yang keluarganya terlantar akibat bencana lumpur ini.

Dian menyaksikan tetangga-tetangganya dicekik oleh pemerintah mereka dan bermain sebagai bidak di lanskap yang sangat dipolitisasi, di mana kompensasi dibarter dan dipersenjatai yang membuat korban kehilangan separuh bahkan seluruh kehidupannya.

Dian adalah karakter yang kuat, bijak dan tangguh, yang melihat melalui harapan palsu. Dia menaruh hatinya pada puisi, menentang pemerintah dan Lapindo karena menghancurkan kehidupan begitu banyak orang yang dia sayangi — dan dia menyalurkan hasratnya ke dalam pendidikan.

KLIK INI:  Komisi IV DPR RI Dukung Pengembangan Wisata Alam Papua

Orang Sidoarjo yang terlantar seperti penggambarannya dalam Grit bergulat dengan kesadaran bahwa tempat yang mereka sebut rumah tidak lagi memiliki masa depan.

Pesan kritis yang mencerahkan

Film ini juga memperlihatkan wawancara yang memuakkan dengan seorang eksekutif dari Lapindo, yang dengan bangga menggambarkan upaya perusahaan untuk meminimalkan kerusakannya dengan menolak kompensasi kepada penduduk yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka kehilangan rumah mereka.

Padahal apa yang dikatakan tak sesuai dengan realitas yang terjadi. Masyarakat terdampak hingga saat ini tak mendapat haknya yang setimpal akibat lapindo.

Selain kisah kepentingan manusia yang memikat di Dian dan keluarganya, Friedlander dan Wade memanfaatkan kekuatan visual yang mencekam dari lanskap bekas luka untuk menempa permohonan mendesak.

KLIK INI:  Sengkarut Pengelolaan Sampah di Kota Makassar

Lumpur terus meningkat, dan diperkirakan akan mengalir selama belasan tahun lagi, dan Grit menyaksikan upaya sia-sia untuk menahan dan mengalihkan, seperti memompa lumpur beracun ke sungai, yang hanya akan menambah dampak lingkungan di perairan.

Ironi yang menyedihkan dari tumpahan lumpur adalah bahwa medan yang retak dan hingga saat ini gas-gas beracun terus menyembul. Hal ini bisa membuat kesehatan masyarakat terganggu seperti banyaknya masyarakat terdampak yang terkena ISPA.

Situs lumpur juga merupakan anugerah bagi para seniman. Dengan begitu banyak lumpur mengalir dari Bumi, orang mungkin juga membuat sesuatu darinya.

Film ini dimulai dan berakhir dengan gambar instalasi di mana puluhan tokoh lumpur berdiri dalam persatuan di tengah-tengah kotoran beracun yang meningkat. Telapak tangan mereka menghadap ke atas dan penduduk menawarkan tanda pengorbanan saat mereka menunggu Lapindo untuk mengakui kesalahannya.

Lumpur terus naik seiring berjalannya waktu dan, seperti penduduk miskin demi klaim tanah mereka karena perlakuan tak manusiawi oleh empunya Lapindo.

Masyarakat sudah 14 tahun lamanya menanggung beban kerusakan ekologis. Mereka telah berjuang dan melawan sebaik-baiknya demi mendapatkan keadilan pasca bencana nurture lapindo 2006 silam. Maka seyogianya perusahaan bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi.

Grit adalah satu dari sekian kisah pilu lainnya di mana kehidupan manusia hanyalah kerusakan karena kepentingan segelintir orang dan masyarakat terdampak dipermainkan dengan agunan-agunan (yang tak ditepati) oleh perusahaan hingga kini.

KLIK INI:  Siti Minta Pemerintah Daerah Bergerak Cepat Atasi Masalah Lingkungan