Cerita Miris 2019, Jutaan Warga Sulsel Terdampak Bencana Ekologis

oleh -147 kali dilihat
Cerita Miris 2019, Jutaan Warga Sulsel Terdampak Bencana Ekologis
Tanah longsor yang melanda Gowa, merupakan salah satu bencana ekologis/foto-tirto
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Tahun baru 2020 tiba melanjutkan tahun 2019. Kedatangannya hanyalah melanjutkan perjalanan tahun-tahun sebelumnya. Yang pada akhirnya juga akan berakhir dan berlanjut ke tahun berikutnya.

Setiap tahun yang berjalan, selalu saja meninggalkan pula catatan. Semisal yang menjadi cacatan Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sulawesi Selatan.

Walhi melansir data sepanjang tahun 2019 dari 24 kabupaten kota. Hasilnya 20 di antaranya terdampak bencana ekologis dengan jumlah korban terdampak sebanyak 1.032.852 jiwa.

Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin mengungkapkan ada enam bencana ekologis yang sering dirasakan masyarakat di Sulsel sepanjang tahun 2019 yakni banjir, abrasi, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), longsor dan angin puting beliung.

KLIK INI:  16 Rekomendasi Walhi Sulsel Atas Persoalan Sampah di KSN Mamminasata

“Dari bencana itu, kerugian materil pascabencana yang dialami penduduk secara total sebesar Rp 2,3 triliun lebih,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin saat rilis catatan akhir tahun 2019 di Makassar, Selasa, 31 Desember 2019.

Data yang valid

Menurut Amin, data yang dikumpulkan dari beberapa sumber valid, untuk bencana banjir terjadi di 20 kabupaten kota.

Wajo merupakan kabupaten yang paling terdampak parah dengan korban sebanyak 52.112 ribu jiwa hingga merendam 8.504 hektare lahan persawahan dan perkebunan rakyat termasuk fasilitas publik lainnya.

Sementara Kabupaten Jeneponto yang juga diterjang banjir merusak 438 rumah warga, 85 jiwa mengalami luka-luka, 13 orang meninggal dunia dan empat orang hilang. Sedangkan di Kabupaten Maros, luas lahan persawahan yang terendam seluas 8.321 ribu hektare.

Untuk bencana tanah longsor tercatat jumlah masyarakat yang terdampak di Kabupaten Gowa sebanyak 3.041 jiwa, meninggal karena tertimbun sebanyak 55 jiwa.

Tidak hanya di Gowa, tanah longsor juga terjadi di Kabupaten Enrekang dengan korban terdampak sebanyak 400 jiwa. 42 unit rumah rusak.

KLIK INI:  USAID Dorong Pola Pengelolaan Keuangan untuk Kawasan Konservasi Perairan

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Luwu, sebanyak 40 jiwa yang terdampak dan 10 unit rumah rusak akibat tanah longsor.

Untuk bencana angin puting beliung terjadi di Kabupaten Takalar, sebanyak 85 jiwa menjadi korban dan 26 rumah rusak. Bencana serupa di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), terdapat 95 jiwa dan 20 unit rumah rusak. Di Kabupaten Barru ada 148 jiwa dan 46 unit rumah rusak.

Sementara di Kabupaten Toraja korban sebanyak 122 jiwa dan 14 unit rumah warga rusak. Dan Kabupaten Sidrap terdapat 53 jiwa dengan 18 unit rumah rusak. Kabupaten Enrekang, ada 91 rumah warga yang rusak dan empat orang yang mengalami luka-luka akibat bencana angin puting beliung.

Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) juga terjadi di hutan wilayah Kabupaten Gowa. Sebanyak 200 jiwa yang mengungsi dan 107 unit rumah yang rusak dengan luasan hutan dan lahan terbakar seluas 75 hektare. Sedangkan di Kabupaten Luwu bencana Karhutla seluas 27 hektare dan Luwu Timur seIuas 50 hektare.

Dampak bencana kekeringan juga terjadi di beberapa daerah, seperti Kota Makassar terdampak krisis air bersih sebanyak 564.612 ribu jiwa. Disusul Kabupaten Jeneponto ada 361.793 jiwa yang terdampak kekeringan dan 15.591 ribu hektare sawah gagal panen.

Di Kabupaten Bulukumba, ada 1.200 petani terdampak dengan luas sawah dan kebun 2.294 hektare gagal panen akibat kekeringan. Begitupula di Kabupaten Maros, ada 7.100 jiwa yang terdampak kekeringan dan 300 hektare sawah mengalami gagal panen.

Karena perusakan lingkungan
KLIK INI:  Penerbangan Lebih Ramah Lingkungan Jika Ketinggian Pesawat Diubah

Bencana ekologis lainnya yakni dampak gelombang pasang dan abrasi masyarakat pesisir di Kabupaten Kepulauan Selayar. Tercatat 109 jiwa dan tujuh rumah rusak berat serta satu orang meninggal dunia.

Tidak hanya di Selayar, bencana itu juga terjadi di Kabupaten Takalar. Ada 1.975 jiwa masyarakat pesisir terdampak, serta 34 unit rumah warga yang berada di pesisir amblas terkena abrasi.

Dari enam jenis bencana ekologis Sulsel, yang paling sering dirasakan rakyat adalah angin puting beliung sebanyak 40 kali atau setara dengan 46,5 persen dari 80 kejadian bencana ekologi sepanjang 2019.

“Disusul dengan banjir sebesar 29,1 persen, tanah longsor 9,3 persen kebakaran hutan 7,0 persen, kekeringan 5,8 persen dan terakhir abrasi dan gelombang air laut sebesar 2,3 persen ,” ujar Al Amin.

Menurut dia, bencana ekologis ini disebabkan eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang berlebihan dalam meraup keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup rakyat.

Rentetan bencana ekologis di Sulsel dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepanjang sejarah di Sulsel, bencana ekologis yang paling parah pada bulan Januari 2019 yang menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun non materil.

“Kerugian secara meteril dari bencana ekologis ini kebanyakan di tanggung masyarakat sendiri dengan nilai kerugian sebesar Rp2,3 trillun atau setara dengan 25 persen anggaran APBD Sulsel, dan anggaran untuk pendidikan,” beber Amin seperti ditulis M Darwin Fatir di media daring Antara.