- Prahara Hukum UU Cipta Kerja, KEPAL Tantang MK Segera Lakukan Uji Materil - 19/09/2025
- Dokumenter Ungkap Penderitaan Perempuan Nelayan Jeneponto Berjuang di Tengah Gagal Panen Rumput Laut Akibat Limbah Tambak - 14/09/2025
- Pelatihan Industri Rumahan: UMI Latih Majelis Taklim Ismul A’zham Makassar Membuat Sabun Cair dari Minyak Jelantah - 14/09/2025
Klikhijau.com – Pangan akuatik mencakup segala bentuk organisme dari perairan tawar, payau, dan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan, kini menjadi sorotan utama dalam diskursus global mengenai ketahanan pangan dan keberlanjutan.
Tidak hanya ikan, kategori ini juga mencakup krustasea, moluska, alga, dan berbagai jenis tumbuhan air lainnya. Pangan akuatik telah menjadi bagian integral dari pola makan manusia selama ribuan tahun dan kini, di tengah tantangan pertumbuhan populasi dan perubahan iklim, perannya menjadi semakin krusial sebagai sumber protein hewani yang efisien dan bergizi.
Kekuatan Nutrisi dan Efisiensi Pangan Akuatik
Keunggulan utama pangan akuatik terletak pada profil nutrisinya yang luar biasa. Ikan dan produk laut lainnya merupakan sumber protein berkualitas tinggi yang mudah dicerna, mengandung asam amino esensial yang lengkap, serta kaya akan mikronutrien penting.
Salah satu nutrisi paling terkenal dari pangan akuatik adalah asam lemak omega-3, seperti EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid). Asam lemak ini memainkan peran vital dalam kesehatan otak, fungsi kognitif, dan pencegahan penyakit kardiovaskular. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association menyoroti korelasi antara konsumsi ikan berlemak secara rutin dengan penurunan risiko kematian akibat penyakit jantung.
Selain itu, pangan akuatik juga kaya akan vitamin D, vitamin B12, yodium, selenium, dan kalsium. Kandungan nutrisi ini menjadikannya pilihan makanan yang superior, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terhadap defisiensi mikronutrien (kondisi kekurangan vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan).
Tidak hanya dari segi nutrisi, pangan akuatik juga menunjukkan efisiensi yang tinggi dalam hal konversi pakan. Ikan, sebagai hewan berdarah dingin, tidak memerlukan energi sebanyak hewan berdarah panas untuk menjaga suhu tubuhnya.
Hal ini berarti mereka mampu mengubah pakan menjadi biomassa protein dengan rasio yang lebih baik dibandingkan dengan ternak darat. Sebagai contoh, rasio konversi pakan (FCR) pada beberapa spesies ikan budidaya seperti salmon dan nila dapat mencapai 1:1, di mana 1 kg pakan dapat menghasilkan 1 kg biomassa ikan. Angka ini jauh lebih efisien dibandingkan dengan sapi yang membutuhkan FCR sekitar 6:1 (FAO, 2018).
Akulturasi dan Diversifikasi: Menjelajahi Berbagai Sumber Pangan Akuatik
Ketika berbicara tentang pangan akuatik, pandangan kita seringkali terbatas pada ikan. Padahal, kekayaan hayati akuatik menawarkan spektrum yang jauh lebih luas. Krustasea (udang, lobster, kepiting), moluska (kerang, tiram, cumi-cumi), dan ekinodermata (teripang, bulu babi) semuanya merupakan sumber pangan yang signifikan dan bernilai ekonomi tinggi.
Tiram, misalnya, tidak hanya lezat tetapi juga berfungsi sebagai biofilter alami yang dapat meningkatkan kualitas air. Pemanfaatan moluska secara berkelanjutan dapat berkontribusi pada ekosistem perairan sekaligus menyediakan sumber protein.
Selain hewan, alga dan tumbuhan air juga mulai mendapatkan perhatian serius. Alga, baik makroalga (rumput laut) maupun mikroalga, merupakan sumber pangan yang sangat potensial. Rumput laut telah lama menjadi bahan makanan pokok di banyak budaya pesisir, dan kini diakui sebagai sumber serat, vitamin, mineral, serta protein yang menjanjikan.
The Food and Agriculture Organization (FAO) dalam laporannya mengenai “The State of World Fisheries and Aquaculture” mencatat bahwa produksi rumput laut global telah meningkat pesat, menunjukkan peran pentingnya dalam sektor akuakultur (FAO, 2020). Mikroalga seperti Spirulina dan Chlorella, yang dapat dibudidayakan dalam sistem bioreaktor, juga menawarkan protein tinggi dan nutrisi bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai suplemen atau bahan pangan fungsional.
Akuakultur: Pilar Masa Depan Pangan Akuatik
Di tengah menurunnya stok ikan tangkap alam akibat penangkapan ikan berlebihan dan degradasi habitat, akuakultur (budidaya perairan) muncul sebagai solusi paling menjanjikan untuk memenuhi permintaan global akan pangan akuatik. Akuakultur telah berkembang pesat dan kini menyumbang lebih dari 50% dari total konsumsi pangan akuatik global (FAO, 2020).
Perkembangan teknologi akuakultur, seperti sistem resirkulasi akuakultur (RAS) dan budidaya laut lepas (offshore aquaculture), memungkinkan produksi pangan akuatik yang lebih terkontrol dan efisien dengan dampak lingkungan yang minim.
Sistem RAS, misalnya, menggunakan filtrasi dan daur ulang air, sehingga mengurangi penggunaan air bersih dan meminimalkan pelepasan limbah ke lingkungan. Teknologi ini memungkinkan budidaya ikan di lokasi yang jauh dari sumber air alami, bahkan di area perkotaan. Di sisi lain, budidaya laut lepas berpotensi mengurangi tekanan pada ekosistem pesisir dan memanfaatkan kondisi perairan laut yang lebih stabil untuk pertumbuhan ikan.
Namun, akuakultur juga menghadapi tantangannya sendiri. Penggunaan pakan ikan yang berasal dari ikan tangkap (fishmeal dan fish oil) masih menjadi isu keberlanjutan. Untuk mengatasi hal ini, penelitian intensif sedang dilakukan untuk mengembangkan pakan alternatif berbasis serangga, protein nabati (kedelai, alga), dan bahkan limbah pertanian. Adopsi teknologi akuakultur yang bertanggung jawab dan berkelanjutan menjadi kunci untuk memastikan sektor ini dapat terus tumbuh tanpa mengorbankan kesehatan ekosistem perairan.
Menghadapi Tantangan dan Jalan ke Depan
Meskipun memiliki potensi besar, pemanfaatan pangan akuatik secara berkelanjutan tidak terlepas dari berbagai tantangan. Perubahan iklim, yang menyebabkan pemanasan global dan pengasaman laut, mengancam produktivitas ekosistem perairan dan stok ikan.
Kenaikan suhu air dapat mengubah pola migrasi ikan, mengganggu reproduksi, dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) juga menjadi masalah serius yang mengikis sumber daya perikanan global.
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik dan terkoordinasi. Pengelolaan perikanan yang efektif, didukung oleh kebijakan berbasis sains, sangat krusial. Pembentukan kawasan konservasi laut, penetapan kuota tangkapan yang berkelanjutan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap IUU fishing adalah langkah-langkah penting.
Dari sisi konsumen, peningkatan kesadaran tentang pentingnya memilih produk pangan akuatik yang bersertifikat berkelanjutan, seperti yang dikeluarkan oleh Marine Stewardship Council (MSC) atau Aquaculture Stewardship Council (ASC), dapat mendorong praktik industri yang lebih bertanggung jawab. Selain itu, diversifikasi konsumsi ke spesies yang kurang populer namun melimpah juga dapat mengurangi tekanan pada spesies ikan yang sudah terancam.
Pangan akuatik adalah pilar penting dalam sistem pangan global yang perlu dikelola dengan bijaksana. Dengan memanfaatkan kemajuan dalam akuakultur yang berkelanjutan, diversifikasi sumber pangan, dan mengadopsi kebijakan pengelolaan perikanan yang kuat, kita dapat membuka potensi penuh dari dunia bawah air untuk memberi makan populasi dunia yang terus bertambah, sambil tetap menjaga kesehatan ekosistem perairan. Masa depan ketahanan pangan global sebagian besar akan bergantung pada bagaimana kita memilih untuk berinteraksi dengan sumber daya lautan dan perairan tawar kita.