Klikhijau.com – Para pegiat lingkungan di Nagekeo, Flores, masih tengah diselimuti duka sejak awal September silam. Rudolfus Oktavianus Ruma, aktivis yang dikenal gigih menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau geothermal di kawasan mereka, ditemukan tewas pada Jumat 5 September 2025. Tubuhnya tergantung di sebuah gubuk di tepi pantai Desa Sukusama, Kecamatan Nangaroro. Bagi banyak orang yang mengenalnya, kematian Ruma bukan sekadar kabar duka, melainkan pesan teror yang dikirimkan secara telanjang kepada siapa pun yang berani bersuara.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Ruma masih menghadiri pertemuan warga yang menolak proyek geothermal. Ia menolak rencana itu karena berpotensi mengancam sumber air dan lahan pertanian masyarakat. Ia dikenal vokal, berani, dan tak mudah tunduk pada tekanan. Kini suaranya terhenti di tengah gelombang laut Flores yang tenang, tetapi kisahnya menambah panjang daftar luka di antara para pembela lingkungan di Indonesia.
Menurut laporan Global Witness yang dirilis pada 10 September, terdapat 196 aktivis lingkungan tewas dibunuh sepanjang tahun 2024 di berbagai belahan dunia akibat upaya mereka melindungi masyarakat dan bumi. Dalam periode 2012 hingga 2023, jumlahnya mencapai 2.106 orang. Angka yang mencerminkan risiko yang kian besar bagi mereka yang memilih berpihak pada alam.
Indonesia tidak luput dari pola itu. Laporan Auriga Nusantara mencatat setidaknya 133 tindakan ancaman atau kriminalisasi terhadap pembela lingkungan antara tahun 2014 hingga 2023. Bentuknya beragam, mulai dari gugatan perdata, intimidasi, hingga penggunaan pasal-pasal pidana yang longgar.
Fenomena ini menggambarkan satu hal yang menakutkan. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial dan kelestarian alam, membela lingkungan bisa berujung pada kematian.
Dari Flores ke Dunia, Pola yang Berulang
Kematian Ruma bukanlah peristiwa tunggal. Ia bagian dari rangkaian panjang kekerasan terhadap para pembela lingkungan di dunia. Mereka yang mempertahankan hutan, air, dan tanah berhadapan dengan kepentingan modal, yang sering kali mendapat perlindungan negara.
Global Witness mencatat antara 2012 sampai 2022 terdapat 1.910 kasus pembunuhan terhadap pembela lingkungan di berbagai negara. Sebagian besar terjadi di wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi lemah dalam tata kelola dan penegakan hukum.
Ironisnya, gelombang kekerasan ini terjadi di tengah gencarnya kampanye internasional tentang hak asasi manusia. Sejumlah lembaga kemanusiaan telah berulang kali menyerukan perlindungan bagi pembela lingkungan. Namun di lapangan, seruan itu terdengar seperti gema di lembah yang sunyi.
Indonesia sebenarnya telah menjadi bagian dari berbagai perjanjian internasional. Lebih dari satu dekade, Pemerintah telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Deklarasi Pembela HAM. Semua itu menegaskan tanggung jawab negara untuk melindungi warganya yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, realitas di lapangan masih jauh dari semangat itu.
Pasal-Pasal yang Menjerat Pembela Lingkungan
Alih-alih melindungi, sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia justru menjerat para pembela lingkungan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE masih sering digunakan untuk memenjarakan kritik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru disahkan juga mengandung banyak pasal multitafsir yang bisa digunakan untuk membungkam suara kritis terhadap pemerintah atau perusahaan.
Pasal-pasal ini melahirkan efek gentar yang nyata. Para pegiat lingkungan kini bukan hanya berhadapan dengan aparat atau preman, tetapi juga ancaman hukum yang bisa datang sewaktu-waktu. Tidak sedikit aktivis yang dijerat dengan tuduhan menghasut, menyebarkan berita bohong, atau mengganggu ketertiban umum.
Dalam beberapa kasus, perusahaan mengajukan gugatan perdata terhadap aktivis untuk melemahkan mereka secara psikologis dan finansial. Tindakan ini dikenal sebagai SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation. Tujuannya bukan memenangkan perkara, tetapi membungkam suara yang mengganggu kepentingan bisnis mereka.
Cahaya dari Mahkamah Konstitusi
Meski suram, ada secercah harapan di tengah situasi ini. Pada 28 Agustus 2025, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 66 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025.
Mahkamah menilai bahwa penjelasan Pasal 66 selama ini terlalu sempit dan membuka ruang kriminalisasi. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai melindungi korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan.
Putusan ini penting karena memperluas makna setiap orang sebagai subjek perlindungan hukum, sesuai dengan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Mahkamah juga menegaskan bahwa pembela lingkungan tidak boleh menjadi korban pembalasan hukum, baik melalui pidana, gugatan perdata, maupun bentuk kriminalisasi lain. Langkah ini memang belum cukup, tetapi menjadi titik terang bagi perjuangan panjang para pembela lingkungan di tengah tekanan kekuasaan.
Regulasi yang Terseok dan Kemauan Politik yang Mandek
Meski ada putusan Mahkamah Konstitusi, perlindungan terhadap pembela lingkungan di Indonesia masih sangat rapuh. Upaya perlindungan yang dilakukan negara sejauh ini bersifat parsial dan tidak memiliki kekuatan mengikat lintas lembaga.
Kejaksaan Agung pernah menerbitkan Pedoman Jaksa Nomor 8 Tahun 2022 yang mengarahkan jaksa untuk berhati-hati dalam menuntut pembela lingkungan. Mahkamah Agung juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 yang menjadi panduan bagi hakim untuk melindungi hak-hak pembela lingkungan hidup.
Kedua aturan ini merupakan langkah positif, tetapi kedudukannya hanya sebagai pedoman internal. Ia tidak mampu melindungi secara efektif jika berhadapan dengan kepentingan politik atau tekanan ekonomi yang kuat. Tanpa undang-undang khusus yang menjamin perlindungan, pembela lingkungan akan terus berada di ujung tanduk.
Perlindungan hukum sejatinya tidak bisa bergantung pada belas kasihan pejabat. Negara harus memiliki kehendak politik yang tegas untuk memastikan bahwa pembela lingkungan tidak dikriminalisasi atau bahkan dilenyapkan karena sikapnya yang berpihak pada lingkungan dan masa depan umat manusia.








