Waktu Terbaik Mencintai Hujan

oleh -18 kali dilihat
Ilustrasi -foto/Pinteres
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Kali di depan rumah tercipta dari kencing.  Suatu malam yang hujan, seorang lelaki  menahan kencingnya hingga pagi. Perutnya membesar. Lalu saat pagi, ia membuang kencingnya. Sangat banyak. Alirannya itulah yang menjadi kali.

Ketika ada peristiwa besar akan terjadi. Air kali di depan rumah akan berbau kencing. Misal, ketika pohon beringin paling keramat di ujung kampung tumbang. Dua hari sebelumnya. Kali di depan rumah berbau pesing

Begitu pula ketika anjing paling setia Pak RT mati. Sehari sebelumnya bau pesingnya menyengat. Membuat Ibu muntah-muntah.

Aku selalu teringat cerita itu. Karenanya, aku kadang menahan kencingku. Aku ingin menciptakan kali sendiri. Mengabaikan murka Ibu.

KLIK INI:  7 Puisi Tema Lingkungan dengan Metafora Terbaik dan Menyentuh

Ketika kutulis cerita ini. Aku baru saja dari kamar mandi. Membuang kencing yang telah menyesaki kantong kemihku. Harusnya aku menahannya tiga menit lagi. Tapi, benar-benar tak bisa.

Padahal aku sedang menerima telepon dari Rinai. Pembahasan kami memasuki masa krusial—pernikahan.

Setiap kami teleponan, Rinai pasti akan membahas pernikahan. Aku jadi teringat Seung In, tokoh dalam novel  A Chance yang ditulis Kim In-suk.

Seung In selalu merasa heran, kenapa otak wanita selalu berisi pernikahan. Apakah setiap hubungan pria dan wanita akan berujung pada pernikahan?.

KLIK INI:  Menjamu Sampah

Sejujurnya, terkadang aku ingin menanyakan hal itu pada Rinai. Tapi, aku tak seberani Seung In.

Untunglah, saat pembahasan memasuki masa krusial itu. Kencingku terasa ingin tumpah. Terpaksalah aku mematikan telepon dari Rinai. Aku gagal menahannya lebih lama. Kali tak lagi tercipta dari kencing.

Sebenarnya, Rinai merengek agar aku membawa gawai ke kamar mandi. Aku tolak dengan lembut. Dan tanpa mengucapkan salam. Aku menekan warna merah di gawaiku. Lalu  membuangnya begitu saja ke atas kasur.

Aku berlari menuruni tangga, menuju kamar mandi. Membuat Ibu yang masih terjaga kaget. Tapi, beliau tak mengucap apa-apa. Hanya menatap saja.

Di kamar mandi, aku ingin berlama-lama. Membayangkan wajah Rinai yang memerah menahan amarah. Sebab teleponnya terpaksa kuputus.

KLIK INI:  Meneguk Puisi Harijadi S Hartowardojo “Lereng Senja” yang Disesaki Diksi Alam

“Kapan waktu terbaik mencintai hujan?” Itu pertanyaan Rinai sebelum teleponnya terputus atau tepatnya sengaja kuputuskan.

Sejujurnya aku tak punya jawabannya. Aku tahu, Rinai ingin aku jawab, “saat sudah menikah,” tapi aku telah lelah berbohong demi menyenangkannya.

***

Sudah sangat lama aku tak pernah menikmati hujan. Satu-satunya hujan yang kusukai hanyalah gerimis. Sifatnya lembut, tak membahayakan padi yang kutanam.

Gerimis juga mengantar sampah plastik ke sawah. Tak pernah pua membuat banjir, tak pernah merampas padi yang telah menguning.

Dan gerimis tak pernah membuatku flu atau demam, juga tak pernah membuat pekerjaanku tertunda.

Jika saja pertanyaan Rinai begini, “Kapan waktu yang tepat menikmati gerimis,” tentu saja aku akan mudah menjawabnya. Tanpa perlu berbohong kepadanya.

Akan kujawab, saat matahari juga ikut bersinar.

KLIK INI:  Penikmat Banjir yang Bahagia
***

Di kamar mandi, aku tak leluasa membayangkan wajah Rinai. Sebab hujan tetiba saja merampas ketenangan seng. Gemuruhnya mengantar gentar ke hatiku. Begitu tuntas membuang kencing. Aku segera berlari keluar dari kamar mandi.

Bayangkan, jika aku terjebak dalam kamar mandi sementara hujan menggebrak-gebrak atap yang tingginya hanya 175 centi meter. Betapa mengerikannya.

Ketika sampai di kamar. Aku mencoba menelepon Rinai. Tapi tak lagi tersambung. Barangkali ia sedang tidur atau sedang menikmati hujan. Hujan pada malam hari, bagi banyak orang adalah berkah pada kantuk dan lelap.

Aku memasang kelambu, memadamkan lampu karena hendak tidur. Tapi kantuk menggantung saja—tak sampai ke mataku.

KLIK INI:  Meribang Sawah

Sementara hujan semakin meremas cemasku. Dan kali di depan rumah meluap. Seekor anak anjing meraung-raung. Barangkali terseret air. Aku ke teras. Air berwarna coklat telah hampir mencapai batas ketinggian selokan.

Mungkin lelaki itu sedang membuang kencingnya di hulu. Kencing yang ditahannya selama bertahun-tahun.

Ibu yang sedang menonton TV di lantai bawah mengungsi ke atas. Takut air kali meluap hingga ke matanya lalu merampas uban yang mulai memenuhi kepalanya.

***

Ibu selalu membenci hujan. Sama sepertiku. Semua bermula ketika Ayah pulang pada hari Rabu, 21 tahun lalu. Ayah pulang tak sendiri. Ia bersama perempuan lain.

Usiaku baru lima tahun kala itu. Ibu melempari Ayah apa saja yang ada di dekatnya. Ibu tak memberi waktu pada Ayah menjelaskan siapa perempuan yang dibawanya itu.

KLIK INI:  Di Tetes Terakhir Kopiku

Karena takut amukan Ibu semakin meraksasa, Ayah akhirnya pergi bersama perempuan itu. Keduanya lalu hilang dalam hujan. Sejak saat itulah, hujan pun pindah ke mata ibu. Dan setiap hujan menderas, Ibu akan merana sendiri.

Adikku, yang berada dalam kandungan Ibu saat itu, keluar dengan terpaksa. Hanya berusia tiga bulan saja. Ibu dibawa ke rumah sakit. Dan Ayah tak pernah datang menjenguknya.

Pada hari kepergian Ayah bersama perempuan itu. Ibu akan mengenangnya dengan sebatang pohon langsat. Sekali setahun, pada hari kepergian Ayah, Ibu akan menanam sebatang pohon langsat.

Aku tak pernah mengerti kenapa harus pohon langsat. Anehnya lagi, setiap pohon langsat itu berbuah, Ibu akan melarang siapa saja memetik buahnya. Beliau akan menyerahkan sepenuh-penuhnya kepada kelelawar.

Kejadian itu telah 21 tahun lalu, kemarin. Ibu yang sedang demam tetap memaksakan diri ke kebun menanam sebatang pohon langsat. Dan ia melakukannya tanpa mau ditemani oleh siapa pun.

KLIK INI:  Sampah dan Mahasiswa
***

“Jangan mencintai perempuan penyuka hujan!” pesan itu selalu dingiangkan di telingaku oleh Ibu. Minimal dua kali sehari dan itu berlangsung sejak aku masih lima tahun. Saat Ayah pergi meninggalkannya bersama perempuan itu.

Suatu waktu, aku bertemu Midah. Ia mampir bernaung di tempatku bernaung di depan rumah seseorang yang entah siapa. Midah tersenyum mencibir kepadaku yang sedang gemetaran karena hujan. Padahal aku tak basah.

Selalu saja begitu, sejak Ayah pergi dari rumah bersama perempuan itu, hujan selalu membuatku takut.

“Kenapa?” tanya Midah yang melihat aku gemetaran. Ia membuka jaket yang dikenakannya. Lalu menyodorkan padaku. Midah mengira aku gemetar karena pelukan gigil. Ia keliru.

“Selalu begini jika sedang hujan,” jawabku terlalu jujur. Midah tertawa. Ia lalu akui sangat mencintai hujan.

KLIK INI:  Resep Masakan dari Sungai

Ia bertemu Rubi dalam hujan. Rubi adalah anak kucing yang datang berlari ke rumahnya saat hujan. Dan sejak itu, keduanya menjadi kawan yang tak terpisah.

Midah hanya bernaung tak lama, setelah mengemasi barang bawaannya agar tak dipeluki basah. Ia lalu pergi.

“Hubungi aku jika kau ingin menikmati hujan,” katanya sambil menyodorkan nomor kontaknya.

Setiap hujan, aku selalu teringat pesan Midah itu. Perempuan pencinta hujan. Namun, hingga kini aku tak pernah menghubunginya.

Bukan karena takut Rinai cemburu, bukan. Aku takut itu akan membuat Ibu lebih pendek usianya jika ia mengetahui aku dekat dengan perempuan penyuka hujan.

***

Rinai hampir senasib denganku. Ibunya pergi saat hujan sedang merampas semua daun-daun menguning dari pohonnya. Ibu Rinai pergi bersama seorang lelaki yang entah. Usianya saat itu, empat tahun tujuh bulan dua puluh satu hari.

“Bagaimana kau bisa tahu usiamu segitu saat itu?” tanyaku setiap ia mengisahkan kisahnya.

KLIK INI:  Pohon Ludah

“Nenekku mencatatnya di balik lemari kayu yang masih utuh hingga saat ini,” jawabnya. Jawaban yang selalu terulang dan aku suka mendengar jawaban itu.

Rinai adalah perempuan yang juga membenci hujan. Tapi selalu ingin menikmati hujan. itulah sebabnya ia selalu bertanya, kapan waktu yang tepat menikmati hujan kepadaku.

Ada dua alasan ia membencinya. Hujanlah yang merampas Ayah dan dua kakaknya. Saat itu, hujan sedang menggila. Tempat pembuangan sampah yang menggunung longsor.

Ayah dan kedua kakaknya tertimbun longsoran sampah itu. Mayatnya hingga kini belum ditemukan. Usianya masih sangat belia kala itu, tiga  tahun dua bulan lima hari.

Alasan kedua, kepergian ibunya saat hujan bersama lelaki lain. Lelaki itu sering mengantar pesanan ibunya. Keduanya lalu hilang dalam hujan. Kepergian ibunya membuatnya harus rela menjadi anak nenek. Ia diasuh neneknya yang renta.

Aku kadang curiga, jangan-jangan perempuan yang ditemani Ayah pergi adalah ibu Rinai. Tapi, bagaimana kisah mereka berawal?

Juni 2025

KLIK INI:  Ikan Tak Menangis