Langkai, Pulau Mungil di Makassar dan Dinamika Kehidupan Nelayannya

oleh -370 kali dilihat
Langkai, Pulau Mungil di Makassar dan Dinamika Kehidupan Nelayannya
Peringatan Hari Nelayan di Pulau Langkai - Foto: Ist

Klikhijau.com – Pulau selalu identik dengan nelayan ulung yang menjadikan aktivitas melaut sebagai profesi dan sumber mata pencahariannya, namun mendengar kata nelayan di pulau kecil, imajinasi kita mudah dihinggapi bayangan destinasi wisata yang penuh keindahan dan kenyamanan.

Keindahan itu benar adanya di pulau seluas 27 hektare, potretnya dipastikan dapat memanjakan siapapun pengunjung pemukiman yang dihuni masyarakat bersuku Makassar, Bugis dan Mandar dengan rerimbunan kelapa, putihnya pasir di bibir pantai. Mengunjungi Pulau yang dikelilingi air yang begitu jernih dan keindahan bawah lautnya tanpa tarif retribusi alias gratis.

Tak hanya itu, masyarakat yang masih kental dengan budaya gotong royong dan menjunjung tinggi rasa kekeluargaan, menjadi penguat alasan untuk mengunjungi Langkai.

Pulau Langkai dan nelayannya

Mengunjunginya di momen peringatan Hari Nelayan Nasional, bersambut panorama indah yang tak hanya di daratan tapi juga lautnya, mengayun lengan melangkahkan kaki menuju rumah Ketua RW Langkai, melewati beberapa rumah yang di kolomnya tampak ibu rumah tangga membuat kue menyambut senyum sumringah.

KLIK INI:  Kabar Baik, Cangkir Bioplastik ‘Compostable’ Tahan Panas Ditemukan

Momen berada di tengah sekumpulan nelayan mendengarkan cerita yang mungkin tak sempat dijamah imajinasi dan sesuatu yang tak semua orang melihatnya, baik kondisi dalam kehidupan masyarakat maupun kondisi para nelayan.

Melihat semangat pendidikan atau menggali pengetahuan masyarakat Langkai tentu tak tertinggal—itu terlihat saat diskusi. Mereka diam dalam menyimak, namun antusiashal baru adalah pemandangan saat berdiskusi. Secara khusus pendidikan formal di pulau tersebut telah berdiri Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi tidak dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Para siswa yang melanjutkan ke jenjang SMA mesti menyeberang ke Pulau Barrang yang memerlukan waktu sekira satu jam menggunakan perahu dan beberapa memilih SMA di Kota Makassar.

Hal tersebut disokong oleh fasilitas kesehatan berupa Puskesmas Bantu (Pustu) sebagai instrumen penting untuk menjamin hak masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan.

langkai
Suasana diskusi dengan nelayan di Pulau Langkai – Foto: Ist

Dari perbincangan lepas dengan warga, saya mendapat informasi bahwa Pustu ini dilayani oleh bidan dan perawat secara bergantian.

KLIK INI:  Dampak Perubahan Iklim Berpotensi Memicu Terjadinya Iklim Kuno di Samudera Hindia

Selain itu, meski berada di bagian terluar, Langkai telah dilengkapi dengan generator sebagai sumber energi listik, digunakan secara terbatas menyala menjelang pukul 18.00 Wita hingga menjelang pukul 23.00 Wita. Sumber listrik lainnya yakni panel surya yang telah digunakan beberapa rumah warga untuk kebutuhan penerangan di malam hari.

Secara tidak langsung masyarakat pulau menggunakan energi listrik secara hemat, namun tidak pada hitungan biaya bahan bakar solar untuk menjalankan generator. Masyarakat masih tetap merogoh kocek yang dalam demi fasilitas penerangan.

Problem BBM

Bahan bakar acap kali meresahkan masyarakat pulau, khususnya pada aktivitas melaut, selain dari sisi harga juga dari ketersediaanya.

Langkai dengan jarak kurang lebih 40 KM dari pusat kota Makassar menjadi satu tantangan tersendiri saat mengupayakan pemenuhan kebutuhan bahan bakar. Akses untuk membeli BBM selain di Pelabuhan Paotere, nelayan memilih ke Pulau Kapoposan Pangkep.

Problem lain dari ketersediaan bahan bakar tidak diperjual belikan dalam skala besar. Memerlukan berbai prosedur, padahal jika mempertimbangkan jarak dan menghemat secara biaya maupun efisiensi waktu pengambilan bahan bakar masyarakat sekali bisa mengambil dalam jumlah banyak. Namun kenyataannya pengambilan dilakukan berdasarkan kebutuhan dalam sehari.

KLIK INI:  Warga di Kelurahan Sambung Jawa Kota Makassar Siap Bayar Iuran Sampah dengan Sampah

Galang sebagai salah satu nelayan, mengaku secara pribadi lebih memilih membeli dari penyedia di pulau daripada mesti keluar, meskipun dengan harga yang berbeda dari harga yang sesuai di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

“Di SPBU itu tidak memberikan solar meskipun kita menyebutkan diri sebagai nelayan namun mesti memperlihatkan kelengkapan administrasi nelayan,” kata Galang.

Permasalahan itu akan dicoba diurai oleh pihak Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Adi Zulkarnaen, mengupayakan kelengkapan administrasi kapal nelayan.

Pihak YKL akan kembali mengajukan kerjasama kepada pihak Syahbandar Makassar untuk memfasilitasi nelayan memperoleh bukti kepemilikan kapal.

Melalui Bidang Status Hukum Dan Sertifikasi Kapal (SHSK) di bawah naungan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kesyahbandaran Utama Makassar, dapat kembali berkolaborasi melakukan pengukuran kapal sebagai langkah pertama memenuhi kelengkapan administrasi kapal.

Adi Zulkarnaen mengaku sebelumnya pernah melakukan kerjasama dengan pihak Syahbandar, menjemput bola dengan mendatangi desa atau kelurahan kelompok nelayan.

KLIK INI:  Kebijakan Lingkungan dalam Narasi Pisau Bermata Dua

“Jadi kan kalau nelayannya yang ke kantor syahbandara ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, sehingga bersama Syahbandar kita pernah melakukan kunjungan di Pangkep untuk melakukan pengukuran kapal,” kata Zul, sapaan akrabnya.

Kapal yang terdaftar dan berlayar di laut wajib memiliki Surat Tanda Kebangsaan Kapal, termasuk bagi kapal di bawah GT 7 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Bagi kapal di bawah Gross Tonnage (GT) 7 Ton, pas kecil merupakan dokumen yang sangat penting yang dapat digunakan sebagai dokumen kepemilikan kapal, Surat Tanda Kebangsaan Kapal, dokumen kelengkapan berlayar, keamanan melakukan pelayaran, jaminan kredit usaha, serta memudahkan pendataan jika terjadi bahaya di laut atau saat berlayar.

“Manfaatnya sebagai bukti kalau kepemilikan kapal itu sah dan legal. dan kapal yang ada di Indonesia terdata, untuk nelayan Ketika lengkap administrasi nelayannya secara legal dia bisa akses bahan bakar subsidi,” jelas Zul.

Hal pentingnya yang perlu diingat, menurut Zul tangkapan mayoritas di Indonesia di dominasi perikanan skala kecil dan itu tidak terlaporkan dalam perencanaan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sehingga data kapal sangat penting.

Meski belum ditentukan secara pasti jadwal pengukuran tersebut, namun telah direncanakan sembari membangun komunikasi kembali dengan pihakk Syahbandar Makassar.

Cerita lain, Zul selama hampir dua tahun membersamai masyarakat pulau mengakui bahwa masyarakat dalam aktivitas penangkapannya dalam skala kecil. Secara pemahaman pun masyarakat secara bersama melakukan upaya konservasi dan tahu secara regulasi hukum aturan penangkapan dan melindungi atau tidak menangkap hewan laut yang dilindungi, seperti penyu dan dugong.

KLIK INI:  Rembuk Komunitas MTS, Upaya Kolaborasi Penanggulangan Sampah di Kota Makassar