Kebijakan Lingkungan dalam Narasi Pisau Bermata Dua

oleh -310 kali dilihat
7 Masalah Krusial Bagi Perlindungan Lingkungan Hidup pada UU Cipta Kerja Versi WALHI
Ilustrasi, foto: pixabay.com
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Masalah lingkungan kini menjadi isu global karena berkaitan dengan masa depan keberlangsungan bumi. Negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang seperti Indonesia tidak terlepas dari beragam persoalan.

Mulai dari ancaman degradasi lingkungan akibat pertumbuhan penduduk yang pesat, industrialisasi dan pembangunan, hingga masalah dampak perubahan iklim, masalah sampah dan banyak lagi

Profesor Budi Widianarko (guru besar Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata) melihat betapa krusialnya narasi lingkungan saat ini. Dalam tulisannya berjudul “Paradoks Narasi Lingkungan” (Kompas, 2019), Budi Menegaskan betapa dunia sedang mengahadapi ancaman bunuh diri ekologis.

Hal itu mencakup pembalakan hutan, kerusakan tanah dan habitat, tata kelola air, perburuan yang berlebihan, pengambilan ikan yang berlebihan, dampak introduksi spesies asing terhadap spesies asli, pertumbuhan populasi manusia, dan peningkatan dampak lingkungan per orang.

Ancaman bunuh diri ekologis itu, telah menimbulkan masalah besar bagi lingkungan dan manusia. Sayangnya, kata Profesor Budi, manusia tidak pernah belajar dari masa lalu. Manusia modern, memang bergerak untuk terus mengurangi dampak ekologis dengan beragam cara.

KLIK INI:  Air Tawar Berperan Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Faktanya,  peradaban modern justru menambahkan  empat proses bunuh diri lain yakni penimbunan dan pencemaran kimia, pemborosan energi, pemaksimalan kapasitas fotosintesis dan perubahan iklim.

Dalam kontek ini, Profesor Budi menegaskan bahwa persoalan lingkungan adalah tantangan yang dinamis begitu pula keberlanjutan (sustainability). Untuk mewujudkan keberlanjutan, rupanya diperlukan perubahan, sementara perubahan membutuhkan kepemimpinan.

Kepemimpinan yang dimaksud Profesor Budi adalah kepemimpinan yang mampu berpikir secara berbeda, adaptif dan inovatif demi menyelesaikan masalah yang kompleks.

Masalahnya, negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang seperti Indonesia mengalami masalah serius dalam kontestasi kepemimpinan politiknya, sehingga seringkali isu-isu ekologi dikesampingkan. Walhasil, visi kepemimpinan politik cenderung tidak berorientasi pada kepentingan ekologis.

Ini soal visi suatu kebijakan politik, betapa agenda pembangunan lingkungan memerlukan semacam komitmen dan political will yang kuat dari setiap pemimpin di semua level.

Persoalan lingkungan ibarat pisau bermata dua

Menurut Profesor Ngakan Putu Oka (Guru Besar dan ahli ekologi hutan, Universitas Hasanuddin), kebijakan pemerintah terhadap isu lingkungan bagaikan pedang bermata dua. Pada satu sisi terdapat sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, sumber daya alam dan konservasi. Namun, pada sisi yang lain justru mendorong percepatan degradasi lingkungan.

KLIK INI:  Mengenal Bambu dan 10 Manfaatnya yang Erat dengan Budaya Indonesia

Profesor Oka mencontohkan, kebijakan perizinan pertambangan kelapa sawit. “Dari hal ini saya memandang bahwa di pemerintahan belum terjadi koordinasi yang baik antara lembaga yang bertugas memikirkan  kelestarian sumber daya alam dengan lembaga yang bertugas memanfaatkan sumber daya alam,” jelasnya.

Pada sisi lain, kata Profesor Oka, kita masih menghadapi masalah pada Sumber Daya Manusia (SDM). Implikasinya pada praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang kurang ramah lingkungan. Walau begitu, Profesor Oka mulai optimis karena belakangan ini ada banyak sekali terobosan pemerintah yang mengarah pada pembangunan ramah lingkungan.

“Belakangan ini saya melihat, pemerintah mulai mengidentifikasi  model-model pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk pengembangan industri pariwisata,” tuturnya.

Memasuki periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kalangan lembaga swadaya masyarakat juga berharap banyak agar pemerintahan ini menjadikan agenda lingkungan hidup sebagai prioritas.

Dikutip Antaranews, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) dan Indonesian Centre for Enviromental Law (ICEL), meminta dengan tegas agar pemerintahan ke depan melakukan langkah nyata yang dapat membawa perubahan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. Mereka mendorong pemerintah agar serius menyikapi permasalahan ekologis karena dampaknya yang besar bagi masyarakat.

KLIK INI:  Sudah Seharusnya Perubahan Iklim Membuat Kita Khawatir

“Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmennya terhadap agenda lingkungan hidup, dengan menguatkan kewenangan nomenklatur dan mampu menerobos ego sektoral lembaga dan kementerian,” kata Koordinator Desk Politik WALHI, Khalisah Khalid.

Khalisah berharap, Menteri yang akan membawahi  kementerian lingkungan hidup, kehutanan dan pertanahan adalah sosok yang memahami secara terperinci kompleksitas isu agraria dan lingkungan hidup.

“Dengan berbagai tantangan seperti mandeknya reforma agraria, konflik dan permasalahan Karhutla, selain leadership juga dibutuhkan menteri yang memahami akar permasalah lingkungan hidup dan agraria,” tegas Khalisah Dikutip Bisnis.com (16/10/2019).

Keberhasilan dan pekerjaan rumah selanjutnya

Sejauh ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah bekerja cukup maksimal.  Dirangkum dari berbagai sumber, KLHK di bawah kepemimpinan Siti Nurbaya Bakar dianggap berhasil dalam beberapa hal antara lain keberhasilan menekan laju deforestrasi pada rentang 2016-2017 hingga hanya 480 ribu ha.

Seain itu, KLHK juga dinilai cukup berhasil dalam hal penegakan hukum lingkungan. Tercatat, pada 2015-2018 ada sekitar 550 kasus terkait kejahatan LHK telah dibawa ke pengadilan, baik pidana maupun perdata. Sebanyak 500 perusahaan yang terlibat kasus kejahatan LHK juga telah dikenai sanksi administratif bahkan ada yang dicabut izinnya.

KLIK INI:  Mengintip Cara Terbaik Menumbuhkan Kembali Hutan Tropis dengan Cepat

Tumbuhan dan satwa liar dilindungi juga berhasil diamankan, yaitu 213.976 ekor dari 10.363 bagian tubuh. Berbagai operasi yang dilakukan KLHK bersama TNI dan Polri juga berhasil  mengamankan kawasan hutan seluas 8.294.968.

Pada isu Kebakaran Hutan (Karhutla), KLHK sebenarnya telah bekerja keras untuk mendorong penurunan titik api sebesar 88,50 persen di banding pada tahun 2015. Dalam 5 tahun terakhir, KLHK juga terus bekerja keras dalam mendorong partisipasi masyarakat dan kerjasama semua pihak dalam pengendalian Karhutla, antara lain dengan mengembangkan early warning sistem, early detection system dan groundcheck hotspot.

Walau begitu, tantangan ke depan tentu jauh lebih berat. Kebijakan pemerintah terus memerlukan pembenahan. Seperti dijelaskan Henri Subagyo Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmetal Law (ICEL) memberikan evaluasinya terkait pengaturan sektor lingkungan pemerintahan Presiden Joko Widodo 2014-2019.

Seperti dilaporkan Gatra, Henri menjelaskan lemahnya tata kelola lingkungan hidup dan mudahnya memberikan izin pembangunan dengan dalih investasi mengakibatkan banyak bencana lingkungan. Seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tanah longsor, dan banjir. Penjahat lingkungan berpengaruh kuat dalam kejadian tersebut, selain dipengaruhi juga oleh cuaca.

“Kurangnya regulasi mengakibatkan penjahat lingkungan ini tidak tersentuh. Maka, perlu regulasi dengan harapan pemerintah lebih tegas menangani korporasi yang nakal dan tidak memperhatikan lingkungan,” kata Henri di Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2019.

KLIK INI:  Gletser Afrika Mencair, Bencana Ekologi dan Kemanusia Tak Terhindarkan

ICEL juga menyoroti Peraturan Pemerintah No. 24/2018 tentang Online Single Submission (OSS) selama masa pemerintahan 2014-2019. Hasilnya, PP tersebut dalam pengajuan proses perizinan mengesampingkan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Seharusnya tidak lepas dari aturan kepastian hukum lingkungan.

“Seharusnya antara investasi dan kepastian hukum lingkungan harus dipisahkan. Namun melalui OSS ini malah menjadikan investasi masuk dalam kepastian hukum lingkungan, di mana tidak begitu semestinya,” ucapnya.

Pembangunan yang tak merusak dimensi ekologis

Henri berharap meski salah satu fokus pemerintahan Joko Widodo Jilid II adalah investasi, jangan sampai investasi menimbulkan krisis ekologis. Regulasi standar lingkungan yang ketat perlu dibuat untuk menguatkan tata kelola lingkungan hidup.

Segala bentuk kebijakan pemerintah di bidang lingkungan bukan tanpa kelemahan. Musim kemarau di tahun 2019 ini misalnya, Karhutla di Kalimantan, Sumatera dan beberapa daerah lainnya masih tetap cukup massif. Ke depan, tentu memerlukan kerja yang lebih keras lagi.

Apa pun itu, pembangunan lingkungan memerlukan kebijakan politik yang berpihak. Pemerintahan ke depan di semua level harus melihat masalah lingkungan secara kompleks dan menemukan langkah solutif di setiap persoalan yang muncul. Mengutip istilah Profesor Budi Widianarko, kepemimpinan ke depan harus mampu berpikir secara berbeda!

KLIK INI:  British Council Luncurkan “The Climate Connection”, Dukung Upaya Atasi Perubahan Iklim

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Sinergi Hijau, P3E Suma, Edisi Desember 2019