Kisah Pengalaman Pertama Bertamu ke Hutan

oleh -76 kali dilihat
sungai "kering" yang kami ditelusuri-foto/Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Tidak ada yang langsung kedua, ketiga dan seterusnya. Semuanya diawali oleh “pertama’. Hal itu juga berlaku pada pengalaman bertamu (mengunjungi) hutan.

Minggu, 3 November 2023 lalu. Saya mencatatkan pengalaman pertama memasuki hutan. Hutan di kampung saya memiliki dua nama lokal; borong dan romang.

Ada dua istilah pula saat mengunjungi hutan; naik ke hutan dan masuk ke hutan. Naik, menunjukkan jika hutan berada di atas ketinggian atau gunung. Dan masuk hutan berarti memasuki hutan.

Sebenarnya, jauh sebelum saya menemukan pengalaman pertama itu, cerita tentang hutan telah tertanam di pikiran dan ingatan. Termasuk hal-hal mistik yang menyertainya.

KLIK INI:  Studi: 79% Tumbuhan Harus Dipertahankan untuk Mencapai Tujuan Iklim PBB

Rasa penasaran saya tentang hutan pun telah lama bertumbuh. Hanya kesempatan tidak pernah datang mendekat. Hingga pada hari Minggu 19 November 2023 lalu, saya bertemu Puang/Pung Mili di rumahnya. Lelaki yang lahir tepat saat Pemilihan Umum (Pemilu)  pertama Indonesia digelar itu adalah “penjelajah” hutan yang cukup handal. Kaya dengan pengalaman.

Ketika saya menyampaikan keinginan untuk “bertamu” ke hutan. Ia menyanggupi mengawani. Maka, di hari Minggu itu, berangkatlah kami ke hutan. Kami hanya berempat saja, saya, Puang Mili, Fikar dan Syahrir.

Di antara kami berempat, sayalah yang baru pertama kali bersentuhan dengan hutan. Sehari sebelum berangkat, saya telah membeli beberapa bekal untuk cemilan. Ibu juga dengan suka rela membuatkan ketupat lengkap dengan lauknya—ikan goreng dan telur dadar.

Jangan membayangkan mengunjungi hutan akan mudah menemukan sumber mata air, sama sekali sulit. Karenanya saya menyiapkan pula air minum. Mengisi penuh tumbler yang memuat 1000 ML air dan itu hampir saja tidak cukup jika saya tidak mencoba menekan “nafsu” untuk minum. Apalagi jarak yang ditempuh kurang lebih 17 kilo meter pulang-pergi (PP).

Hal lain yang coba saya siapkan adalah power bank, sepatu boots, kupluk, parang, dan juga mantel atau jas hujan. Jas hujan menjadi penting sebab musim kemarau telah berlalu. Saat musim kemarau mantel bukanlah barang penting untuk dibawa.

“Pagi-pagi kita star,” kata Syahrir sehari sebelum berangkat.

Maka, sejak jam setengah lima subuh di hari Minggu itu, saya telah bangun. Menyiapkan segala sesuatunya.

KLIK INI:  Membuang Sampah Saat Berkendara, Kebiasaan Buruk yang Terus Terulang
Suasana saat istirahat melepas lelah-foto/Ist
Hal-hal pertama yang saya temui

Banyak hal pertama yang saya temui saat memasuki hutan. Suasananya yang sunyi terasa menenangkan. Lumut-lumut yang menggantung pada  tetumbuhan dan batu menghadirkan aroma mistik yang kental.

Ada banyak hal baru atau pertama saya temui, yakni:

  • Pendakian

Sebelum masuk ke hutan jika lewat jalur Tassika, kita akan dihadapkan dengan pendakian, jalurnya sih bagus sebab merupakan jalan setapak yang selalu digunakan warga menuju kebunnya sebelum menginjakkan kaki ke hutan.

Meski sering mendaki, tapi itu menjadi pendakian terpanjang dan terlama yang pernah saya lalui. Lutut rasanya ngilu, betis, dan paha pegal. Napas tidak beraturan dan keringat mengucur.

  • Lumut menggantung pada tetumbuhan

Meski sering menemui lumut menggantung pada tumbuhan, misalnya pohon kopi, tapi itu pertama kalinya saya melihat lumut menggantung dengan jumlah tidak terhitung. Terlihat sangat mengagumkan dan mistik.

Bukan hanya pada tetumbuhan, tapi lumut juga menghiasi bebatuan.

KLIK INI:  5 Tips Sehat Menjalani Ramadan Berkah
  • Bersih

Jangan berpikir masuk ke hutan belantara akan menemui banyak semak belukar yang sulit ditembus. Di hutan jalur Tassika, tidak ada semak berarti yang ditemui. Kita berjalan di bawah pohon  besar yang tidak memberi kesempatan rerumputan untuk tumbuh bebas.

  • Rotan

Rotan bukanlah hal asing bagi saya,  namun melihat langsung rotan yang tumbuh alami dan belum diolah, adalah sesuatu yang baru.

Awalnya saya berpikir rutan adalah tumbuhan menjalar yang tidak berbahaya, rupanya tidak demikian, rotan memiliki duri yang siap sedia melukai jika tidak waspada.

Selain “wujud” aslinya yang saya lihat, saya juga pertama kali melihat, menyentuh, dan menikmati buah rotan.

  • Pohon tinggi menjulang

Pohon-pohon besar yang tumbuh dalam hutan, sebelum Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng memiliki ukuran raksasa.

Menariknya, pohon-pohon tersebut menjulang tinggi dan lurus hingga puluhan meter baru memiliki cabang.

Pohon-pohon raksasa itu tidaklah rakus, sebab tetap membiarkan tetumbuhan lain tumbuh bersama (patut dicontoh).

  • Jalan empuk

Saat memasuki hutan, ada hal unik dari segi pijakan kaki yang terasa. Pada bagian-bagian tertentu jalan terasa sangat empuk disebabkan oleh tumpukan dedaunan yang berguguran dan kayu yang lapuk.

  • Pohon tumbang dibiarkan saja

Sebagai hutan lindung, tentu saja apa pun di dalamnya tidak bisa diambil sembarangan. Apalagi kayunya. Kayu-kayu raksasa yang tumbang akan dibiarkan lapuk dan memberi peluang tumbuhan lain untuk tumbuh.

Saat mengunjungi hutan, jangan kaget melihat banyak pohon besar yang tumbang dan lapuk sendiri.

KLIK INI:  Sekolah Adat Arus Kualan: Perjalanan Melestarikan Budaya, Hutan dan Masa Depan
  • Sungai kering

Awalnya saya berpikir dalam hutan akan ada sungai dengan aliran air yang tiada henti dan jernih. Namun, saya tidak menemukannya, yang kami temukan dan telusuri adalah sungai kering. Hanya ada beberapa titik air tergenang saja.

  • Banyak selokan

Saat pulang, hujan menderas. Hal tidak terduga adalah saat terjadi hujan lebat, banyak terdapat saluran air dengan air yang cukup melimpah. Sesuatu yang mustahil ditemukan saat hujan tidak turun

  • Feses anoa

Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi yang pernah dianggap punah, khususnya di bagian selatan Makassar—Bulukumba dan Sinjai.

Secara langsung saya hanya pernah melihat tanduk, kulit, dan kaki anoa. Bagian tubuh tersebut adalah hasil tangkapan warga.

Namun untuk feses atau kotorannya, saya melihatnya langsung saat naik ke hutan. Di sepanjang jalan jalur Tassika hingga ke Parang-Parang, banyak feses anoa saya temukan. Hanya saja rerata feses tersebut telah kering, itu artinya feses tersebut telah agak lama.

  • Pongko rotan

Pada ujung rotan, terdapat batang yang lunak. Ketika dikupas akan menampilkan warna putih bersih. Bagian tersebut disebut pongko oleh masyarakat.

Pongko jika dibiarkan akan menjadi jadi dan rotan secara utuh. Rotan sendiri memiliki beragam jenis, pongko yang saya makan adalah rotan dengan rasa pongko yang pahit. Menurut masyarakat, ada pongko rotan yang tidak pahit.

  • Ragam pohon

Di hutan, banyak jenis pohon baru saya lihat. Itu menambah keyakinan saya, bahwa jika ingin melestarikan beragam pepohonan atau tumbuhan, maka tidak ada jalan lain selain menjaga dan melestarikan hutan.

Hmmm, apa lagi ya. Itu saja untuk sementara…

KLIK INI:  Forest Healing, Energi Menyembuhkan dari Belantara Hutan