Desa Samaenre Mendulang Rupiah dan Merawat Bumi dengan Jamur

oleh -685 kali dilihat
Desa Samaenre Mendulang Rupiah dan Merawat Bumi dengan Jamur
Desa Samaenre, Maros mendulang rupiah dari budidaya jamur/foto-Taufiq
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Menjelang siang saya telah tiba di Desa Samaenre, Mallawa, Maros. Kala itu awal Desember 2019. Hujan masih malu-malu bertandang. Masih enggan merintikkan bulir-bulirnya.

Sayup-sayup terdengar ibu-ibu sedang bercengkrama di bawah kolom rumah Ismail saat kami tiba. Rumah ini adalah salah satu rumah produksi jamur di desa yang bersuhu sejuk ini.

Saya kemudian menghampiri suara ibu-ibu yang sedang berkumpul. Mereka ternyata sedang membuat baglog. Membuat tahapan awal proses budidaya jamur. Salah dari ibu-ibu itu kemudian menjelaskan prosesnya.

“Pertama-tama kita tapis terlebih dahulu serbuk gergaji. Setelah itu kita masukkan di mesin pencampur: molen. Serbuk gergaji, dedak, dan kapur kita masukkan dalam molen. Kemudian kita putar,” terang Hapsah, Sekertaris Kelopok Tani Hutan Samaere Bersatu (KTH Samber).

KLIK INI:  Bertubuh Kecil, Makhluk Ini Berjasa Besar bagi Kelestarian Bumi

Selanjutnya mereka kemudian memasukkan campuran ketiga bahan tadi ke dalam plastik berbentuk seperti polibag. Bedanya hanya lebih panjang dan transparan. Jadilah baglog, media tanam jamur.

Hanya saja belum bisa langsung kita tanami bibit jamur. Masih perlu mensterilkan media tanamnya. Caranya dengan mengukusnya. Mengukus baglog hingga beberapa jam. Beruntung Kelompok Tani Hutan Samaenre Bersatu (KTH Samber) telah memiliki alat pengukus tersendiri. Sekali mengukus bisa mencapai puluhan bahkan ratusan baglog.

Apa langkah selanjutnya? Setelah steril baglog kemudian didinginkan selama sehari. Setelah itu baglog kemudian mereka isi bibit. Satu baglog maksimal 10 bibit jamur.

Setelah memasukkan bibit, ujung baglog mereka pasangi cincin dan menutupnya dengan guntingan koran. Baglog yang berisi benih kemudian mereka simpan di rak. Setelah sebulan benih mulai bersemi dan siap dipanen.

“Setelah sebulan akan tampak jamur yang berhasil tumbuh dan jamur yang gagal,” jelas Hapsah.
Baglog yang memiliki jamur sehat akan berwarna putih. Berbeda dengan baglog yang berwarna hitam, berarti jamurnya tak tumbuh. Gagal.

Dipanen jelang dua bulan

Setelah sebulan penutup baglog berupa koran dan cincin dari potongan pipa mereka buka agar jamur bisa tumbuh ke luar.

KLIK INI:  Terinspirasi dari Tentara, Mama Sibin: Saya Ingin Berkebun di Rumah

“Setiap baglog bisa kita panen selama hampir dua bulan. Setiap setelah panen, ujung baglog kita potong untuk media jamur selanjutnya. Terus berlanjut sampai tersisa beberapa centimeter saja,” ujar Hapsah, yang juga adalah istri Ismail.

Karena pembuatan baglog tidak bersamaan sehingga hampir setiap hari petani jamur bisa panen. Ada saja jamur yang menyeruak dari baglog.

Hasil panen bagi petani tidak sama. Tergantung banyaknya baglog di kumbung jamur mereka. Petani jamur desa ini tiap hari bisa memanen 10 s.d 30 kg per hari dari 9 petani jamur.

“Saya panen sekitar 4-6 kg per hari,” ujar Hapsah.
“Musim juga mempengaruhi jumlah panen. Saat musim penghujan jamur tumbuh dengan subur. Berbeda saat musim kemarau, panen hanya sedikit,” terang Ismail, perintis budidaya jamur di Samaenre.

Untuk meningkatkan produktivitas saat kemarau. Para petani lebih sering menyemprotkan air pada baglog. Dalam sehari bisa sampai empat kali semprot.

Awal budidaya jamur Mallawa

Budidaya jamur di Resor Mallawa bermula ketika seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berkunjung ke Desa Samaenre. Melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kala itu. Pada suatu waktu salah seorang peneliti LIPI memerhatikan serbuk gergaji yang menggunung di depan rumah Ismail. Serbuk gergaji dari sawmil milik orang tuanya.

“Itu serbuk gergaji ya? Kenapa tidak memanfaatkan serbuknya?” Amin bertanya.
“Betul Pak, untuk apa serbuknya?” ujar Ismail.
“Kalau di tempat saya, serbuknya sangat berguna untuk budidaya jamur,” jawab Amin. “Sepulang ke Bogor nanti saya akan kirimkan buku dan beberapa bibitnya ya.. ,” tambanya.
“Baik Pak,” jawab Ismail singkat waktu itu.

KLIK INI:  Tanam Massal Vetiter, Bupati Gowa Dapat Rekor dari LEPRID

Hingga akhirnya, penelitian Pak Amin dan kawan-kawan berakhir di taman nasional. Beberapa minggu berselang, Amin menepati janjinya: mengirim buku panduan budidaya jamur dan bibit jamur. Begitu senang Ismail menerima paket yang ditunggunya.

Dari sanalah Ismail kemudian menyisihkan waktunya belajar. Belajar tata cara membudidayakan jamur.
Muh. Syachrir yang menjabat sebagai Kepala Resor Mallawa kala itu tidak tinggal diam. Membantu Ismail yang sedang semangatnya belajar. Cai, sapaan akrabnya, mencari sejumlah referensi bagaimana budidayakan jamur. Termasuk mengunduhkan sejumlah video dari pencarian daring.

Setelah merasa cukup ilmu. Ismail kemudian memberanikan diri memulai dengan bermodalkan peralatan seadanya.. Membuat baglog, mensterilkan hingga menyimpan media di bawah kolom rumah panggungnya.

Sebulan kemudian nampak baglog memutih. Pertanda bahwa jamurnya tumbuh. Beberapa minggu kemudian membuahkan hasil. “Saya sangat senang waktu itu. Bisa panen jamur,” cerita Ismail semangat.

“Hampir setiap hari waktu itu kami makan jamur tiap kali kami bertandang ke Samaenre. Rasanya puas menikmati jerih payah sendiri,” Cai bercerita.

Kumbung mini milik Ismail terus berproduksi. Jadi hampir setiap hari mereka makan jamur. Ia lalu membagikan juga ke tetangga-tetangga. Semua senang.

Karena sudah bisa berproduksi, Ismail semangat terus membuat baglog baru. Hingga bibit pemberian Pak Amin menipis.

Petani jamur terus bertambah

“Saya kemudian mencari tahu di mana tempat membeli bibit jamur. Saya akhirnya tahu Pak Sastra di Camba,” kenangnya. Ismail membeli bibit jamur dari Sastra seharga Rp. 25.000,- per botol. Harganya yang cukup mahal.
“Saya lama-lama juga merasa bosan makan jamur kalau tiap hari. Saya akhirnya bawa ke pasar. Satu kantung waktu itu saya jual lima ribu rupiah,” cerita Ismail.

KLIK INI:  Jaga Fungsi Hutan, Solusi Cegah Bencana Banjir

Produksi jamur mentah Ismail terus bertambah. Hingga kemudian Ismail mengontak Sastra. Kayuh bersambut Sastra mau membeli jamur mentah produksinya seharga Rp. 20.000,- per kilogramnya. Ismail bisa memproduksi jamur 3-5 kg setiap harinya. Lumayan menambah penghasilannya.

Melihat perkembangan jamur Ismail, keuarga dekatnya juga tertarik. “Mertua dan Tante saya juga akhirnya berminat. Saya bantu mereka. Termasuk Andi Firdaus, ketua KTH Samber saat ini, juga mulai ikut budidayakan jamur waktu itu. Saat mulai produksi kami bisa hasilkan 15 kg per hari,” kenangnya.

Petani jamur terus bertambah. Tak hanya di Samaenre, desa tetangga: Barugae dan Uludaya juga ikut budidayakan jamur. Waktu itu petani jamur sampai 10 orang. Sastra sampai kewalahan dengan produksi jamur dari petani jamur di Kecamatan Mallawa itu.

“Produksi kami waktu itu menapai 20 kg per hari,” kenangnya. Karena Sastra tak mampu Ismail pun mencari pembeli lain. Hingga bertemulah dengan Mardiah, pengusaha jamur yang beralamat di Desa Samangki, Simbang, Maros.
Perkenalan Ismail dengan Mardiah bermula saat Ismail mencari bibit jamur. Dari sanalah Ismail membeli bibit untuk meneruskan usaha budidaya jamurnya bersama keluarga dan tetangga terdekat.

Semua hasil produksi warga desa Samaenre dibeli Mardiah. “Awalnya Mardiah lancar membeli jamur segar kami. Lama-lama pembayarannya tersendat-sendat,” cerita Ismail. “Sampai sekarang pun Mardiah masih memiliki hutang dari kami. Saya ambil bibit saja untuk mengurangi sisa hutangnya,’ tambahnya. Hingga kemudian di awal tahun 2017, Andi Subhan datang.

Dari sana juga Ismail bertekad untuk membuat bibit F0 sendiri. Tak mau bergantung dari orang lain. “Alangkah baiknya jika bisa buat sendiri bibitnya. Memudahkan petani di desa untuk budidaya jamur,” ujarnya suatu saat saya bertandang di Samaenre.

KLIK INI:  Sebanyak 20 Ribu Mahasiswa Unismuh Makassar akan Beribadah dengan Menanam Pohon