13 Anak Penggerak Perubahan Terpilih Menjadi Ashoka Young Changemaker 2023

oleh -188 kali dilihat
13 Anak Penggerak Perubahan Terpilih Menjadi Ashoka Young Changemaker 2023
13 Anak Penggerak Perubahan Terpilih Menjadi Ashoka Young Changemaker 2023 - Foto: Nakita.id/Shannon

Klikhijau.com – Setelah melalui tiga kali wawancara dan satu kali wawancara panel, 13 anak muda usia 10-19 tahun dari 9 provinsi di Indonesia terpilih menjadi Ashoka Young Changemaker 2023.

Proses pemilihan dari bulan Maret 2023. Mereka yang terpilih merupakan yang terbaik dari  164 pendaftar dari seluruh Indonesia.

Mereka adalah anak-anak muda yang telah menggerakkan perubahan dengan dampak yang amat beragam; mulai dari mencegah pernikahan dini, menyelamatkan lingkungan tempat mereka tinggal, menciptakan nilai baru yang tidak disadari sebelumnya, menggalakkan literasi termasuk bagi pemuda difabel, mengurangi kecanduan gawai, mencegah kekerasan berbasis gender, serta membantu rekan sebaya menemukan potensi diri mereka.

Pemilihan Ashoka Young Changemaker merupakan bagian dari kerja Ashoka membuka paradigma baru bahwa kemampuan menggerakkan perubahan merupakan kunci tumbuh kembang anak muda yang memampukan mereka menghadapi tantangan jaman yang selalu berubah.

Berangkat dari empati akan masalah yang dihadapi komunitas atau orang-orang di sekitarnya, empat belas kandidat AYC yang berumur 10-19 tahun ini lalu membentuk tim dan merancang inovasi sosial yang menggerakkan perubahan bagi masyarakat di sekitarnya. Mereka berasal dari 9 propinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Jambi, Banten, Kalimantan Barat, dan Maluku dan masing-masing telah menciptakan dampak yang dihargai baik di skala lokal, nasional, maupun internasional.

KLIK INI:  Selain Sehat, Rutin Tidur Siang Tingkatkan Prestasi Anak di Sekolah

Ketiga belas Ashoka Young Changemaker 2023 ini telah disepakati secara bulat oleh 10 panelis independen, yang merupakan tokoh-tokoh dari berbagai bidang, seperti H.A. Syarif Munawi (Wakil Sekjen PB NU), H. Didik Suhardi, PhD (Ketua Majelis Pendidikan Nasional Muhammadiyah), Adi Prinantyo (Redaktur Pelaksana Harian Kompas), Jovial da Lopez (Chief Creative Officer, Narasi), Ifa Misbach (dosen Universitas Pendidikan Indonesia) serta berbagai ahli lainnya. Ashoka merupakan organisasi nirlaba yang didirikan Bill Drayton, pionir gerakan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) telah mendukung lebih dari 3,800 wirausahawan sosial dari 93 negara di dunia yang tergabung sebagai Ashoka Fellows.

Di antaranya, 205 wirausahawan sosial berasal dari Indonesia. Belajar dari para visioner pencetus gerakan dan inovasi sosial yang memulai inisiatif di usia muda, Ashoka menyadari bahwa setiap anak harus dapat tumbuh berkembang menjadi pembuat solusi, pemmpin pembaharu, dan kontributor aktif bagi masyarakat yang lebih adil, setara, berkelanjutan, dan sejahtera.

Di Indonesia, selain mengadakan pemilihan Ashoka Young Changemaker, Ashoka juga bekerja sama berbagai ekosistem di bidang tumbuh kembang anak muda, seperti sekolah-sekolah menengah di jaringan Muhammadiyah, NU, dan sekolah Katholik serta gerakan keluarga untuk memastikan agar anak- anak muda mendapat dukungan untuk mengembangkan wawasan dan keterampilan mereka untuk menggerakkan perubahan, seperti para Ashoka Young Changemaker.

“Dalam era yang penuh perubahan dan disrupsi ini, keterampilan menggerakkan perubahan adalah kunci menghadapi masa depan yang telah datang,” tegas Nani Zulminarni, Direktur Ashoka Asia Tenggara.

Bill Drayton, pendiri Ashoka yang merupakan pencetus kata ‘changemaker’ menambahkan, “Sebuah negara yang memiliki anak-anak muda yang mampu menggerakkan perubahan adalah negara yang tidak perlu khawatir akan laju perubahan dunia.”

KLIK INI:  Tips Menjaga Tanaman Hias dan Bahayanya bagi Anak

Ini Profilnya

  1. Hugo (17) Math for Humanity / Jakarta, DKI Jakarta

Mengorganisasi siswa berprestasi untuk mengajar Matematika dan Bahasa Inggris bagi anak-anak panti asuhan.

Sejak kecil, Hugo selalu merayakan ulang tahunnya di panti asuhan bersama orang tuanya. Ketika ia semakin besar, Hugo belajar bahwa Matematika adalah pelajaran yang sulit bagi teman-teman di panti asuhan yang membuat mereka menjauhi pelajaran tersebut. Didorong oleh semangatnya untuk mengubah stigma pelajaran Matematika, Hugo secara rutin berkunjung ke panti asuhan untuk membantu mereka belajar sejak tahun 2018. Selain itu, Hugo juga mengadakan les online dengan biaya yang terjangkau dimana seluruh biaya tersebut ia donasikan ke panti asuhan. Pada bulan Mei tahun 2020, Hugo memutuskan untung mengembangkan idenya ke dalam sebuah inisiatif ‘Math for Humanity’ serta mengajak teman-temannya yang percaya pada misi yang sama untuk bergabung menjadi guru pengajar Matematika dan mengorganisir kegiatan amal. Hingga saat ini, Math for Humanity telah membantu 50 siswa dan menggalang dana lebih dari seratus juta rupiah, yang didonasikan untuk panti asuhan, panti jompo, hingga lembaga pendidikan bagi orang-orang dengan disabilitas. Hugo percaya bahwa prestasi siswa tidak hanya diukur melalui dari nilai atau jumlah medali Olimpiade, tetapi juga kontribusi yang bisa mereka berikan kepada masyarakat.

  1. Devy JS (19) Happy Place Indonesia / Bengkulu, Bengkulu

Mengadakan kelas minat bakat dan konseling bagi anak jalanan untuk membantu mewujudkan impian mereka.

Sejak di sekolah dasar, Devy menyadari bahwa ada anak-anak yang tinggal di sekitarnya yang tidak bisa bersekolah. Mereka harus mencari nafkah dengan berjualan koran, mengamen atau mengemis. Deby kerap membagikan catatan sekolah dan salinan bukunya sehingga anak-anak tersebut dapat belajar. Ketika masuk ke SMA, Devy semakin sadar dengan kesenjangan antara anak jalanan, anak yang tinggal di panti asuhan dan anak dengan disabilitas, yang tidak memiliki kesempatan yang sama dengan dirinya. Ia memutuskan untuk mencari solusi dengan cara membentuk Happy Place Indonesia bersama 21 temannya sebagai kelompok dukungan untuk anak-anak yang terpinggirkan untuk mengembangkan bakat dan minat mereka. Lewat Happy Place Indonesia, mereka mengadakan talkshow, kelas seni, peningkatan kapasitas, konseling kesehatan mental hingga membuat podcast bersama. Sekarang, ada lebih dari 1.000 anak-anak di Bengkulu dan 300 anak muda di seluruh Indonesia yang terdampak oleh komunitas Devy. Happy Place Indonesia berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti; Dinas Pariwisata, Forum Anak Propinsi Bengkulu dan Plan International Indonesia.

  1. Bhre BPK (10) Otis Community / Surabaya, Jawa Timur

Menciptakan masyarakat bebas sampah dengan mendaur ulang puntung rokok menjadi kerajinan tangan.

Bhre menyukai kesehariannya bermain sepak bola bersama di lapangan, tetapi ia resah dengan puntung rokok yang banyak berceceran. Setelah mengadakan riset bersama ayahnya, Bhre menjadi sadar bahwa puntung rokok adalah salah satu sumber limbah plastik terbesar yang berisiko tinggi untuk kesehatan serta lingkungan. Terpantik oleh hal ini, ia mengajak teman-temannya untuk membersihkan lapangan bola dengan mengumpulkan puntung rokok di akhir pekan. Bhre mengembangkan insiasi ini menjadi komunitas Otis, yang berarti ‘puntung rokok’ dalam bahasa slang Surabaya. Mereka melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang bahaya membuang sampah sembarangan, tak terkecuali desa- desa terdekat terutama pemilik cafe dan ibu-ibu rumah tangga untuk mengedukasi bagaimana cara membuang puntung rokok yang benar. Hingga saat ini, mereka sudah bekerjasama dengan 15 cafe lokal dan mengumpulkan 30,000 puntung rokok yang sudah disulap menjadi lebih dari 100 kerajinan tangan serta lukisan.

  1. Alya ZS (18) State of Youth Sukabumi / Sukabumi, Jawa Barat

Mendorong partisipasi anak muda yang berarti dalam advokasi SDG dan proses pengambilan keputusan.

Alya tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi pernikahan anak. Tetapi, ia sangat percaya bahwa setiap orang harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesejahteraan, dan keterlibatan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Alya memulai advokasinya tentang peraturan pemerintah yang mengatur soal pernikahan anak ketika ia berusia 14 tahun. Tahun 2020, pernikahan anak dilarang di Sukabumi. Ia juga mendampingi anak-anak perempuan untuk menghindari nikah anak. Terinspirasi dari pengalaman pribadinya, Alya membentuk State of Youth Sukabumi untuk memperdayakan anak muda lain sehingga dapat memperjuangkan hak mereka. Bersama 50 anggotanya, ia mengorganisir webinar, talk show, podcast, kampanye, pawai hingga terlibat dalam diskusi tingkat lokal untuk meningkatkan kesadaran tentang isu anak muda seperti kekerasan berbasis gender, perubahan iklim, dan kesehatan mental. Berkat kegigihannya, mereka telah mengumpulkan dana sebesar lebih dari empat belas juta rupiah sejak tahun 2021 serta terlibat aktif dalam dialog-dialog dengan pemerintah daerah tentang perencanaan daerah atau Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan).

  1. AM Shidqie (16) AyoMaen / Bandung, Jawa Barat

Mendorong anak-anak untuk bermain di luar ruangan dan diet gawai demi perkembangan sosial, kognitif, dan fisik mereka.

Seperti anak pada umumnya, Shidqie memiliki kegemaran bermain gim dan gawai, tetapi ia juga menyadari bahwa lingkungan sekitarnya sepi karena anak-anak jarang bermain di luar. Ia menemukan fakta bahwa rata-rata anak Indonesia menghabiskan 5,5 jam untuk bermain gawai, lebih lama dibanding standar yang disarankan yakni 2 jam sehari. Shidqie pun mencari solusi. Ia membuat jadwal mingguan yang disebut ‘AyoMaen’ di tahun 2017 untuk tetangga sekitarnya dengan dukungan orang tua dan guru. Setelah berhasil mengelola inisasinya selama dua tahun, Shidqie dan 10 temannya melebarkan konsep ide ke ekowisata dimana anak-anak dapat bermain dan belajar di alam. Mereka mengorganisir aktivitas di lingkungan sekitar dan pesantren, bahkan membuat paket tur untuk sekolah lain. Selain itu, mereka meluncurkan ‘Diet Gadget’ sebuah modul untuk membantu orang tua dan guru untuk mendorong kegiatan-kegiatan di luar rumah. Sebagai hasilnya, AyoMaen sudah memberikan dampak positif untuk ribuan anak di berbagai provinsi di Indonesia.

  1. Ade DCP (17) Gerakan Tunanetra Mengaji / Surabaya, Jawa Timur

Meningkatkan literasi dan kepercayaan diri penyandang disabilitas netra melalui kelas mengaji Quran Braille.

Ade kehilangan penglihatannya di usia 10 tahun, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk membaca buku dan Al-Quran yang ditulis dalam huruf Braille. Ketika tumbuh dewasa, ia melihat bahwa hanya sedikit teman-teman tuna netra yang dapat membaca Al-Quran dalam huruf Braille. Faktanya, 95% tuna netra Muslim tidak bisa membaca dan menulis huruf Hijaiyah Braille karena berbagai sebab seperti; keterlambatan kebutaan dan minimnya edukasi. Ade dan teman-temannya yang khawatir bahwa tuna netra lain tidak bisa mengakses Al-Quran. Ia membentuk Kawan Netra (komunitas relawan tunanetra) untuk mengorganisir kelas Al-Quran Braille secara rutin. Dengan dukungan organisasi donor seperti Dompet Dhuafa dan Nurul Hayar, mereka dapat menjangkau kelompok dengan berbagai umur di berbagai wilayah. Sekarang, program ini yang kemudian dikenal dengan GTM (Gerakan Tunanetra Mengaji) telah merangkul 261 peserta. GTM tidak hanya meningkatkan kemampuan literasi tetapi juga mendorong komunitas tuna netra agar lebih percaya diri serta mandiri.

KLIK INI:  Murah dan Sehat, Ini Cara Atasi Anak yang Masih Suka Mengompol
  1. Adinda PK (18) Green Innovation with MOCARO / Pasuruan, Jawa Timur

Mengolah biji mangrove menjadi kopi non-kafein untuk kesehatan, ekonomi, dan lingkungan yang lebih baik.

Di tengah pandemi Covid-19, Adinda menyadari bahwa sektor ekonomi dan pendidikan di lingkungannya menghadapi tantangan finansial. Saat berwisata ke pantai di kampung halamannya, ia melihat bahwa mangrove lokal, yang umumnya untuk mencegah abrasi ternyata juga memiliki nilai jual. Adinda mengumpulkan data-data bahwa buah dari mangrove Rhizophora mucronata dapat diolah menjadi kopi non kafein, dan batangnya dapat ditanam lagi sebagai bibit mangrove. Dengan dukungan lima temannya, Adinda mendirikan projek MOCARO. Mereka mengembangkan produk kopi non kafein, memasarkan dan melakukan penyuluhan tentang mangrove di sekolah-sekolah bahkan di komunitas lokal. MOCARO telah mendapat dukungan dari para pemangku kebijakan, organisasi seperti PLAN Indonesia dan Save the Children. MOCARO juga berhasil diadopsi oleh masyarakat pesisir lain di Nusa Tenggara Timur.

  1. Diah FA (17) Janglangso / Jambi, Jambi

Mengajak generasi muda untuk melestarikan sumber daya alam dan tempat wisata di Jambi.

Diah menyadari adanya potensi ancaman dari perubahan iklim terhadap sumber daya alam dan potensi wisata di kampung halamannya. Ia juga percaya bahwa generasi muda memiliki peran penting untuk membentuk masa depan. Diah berinisiatif untuk mengumpulkan teman-temannya dan mengorganisir kegiatan anak muda serta pelestarian lingkungan seperti World Clean Up Day serta mengolah sampah. Produk-produk yang dihasilkan antara lain sabun, gantungan kunci, baju karnaval dan ecoenzymes yang dipromosikan pada pelaku usaha lokal maupun menengah untuk dijual, mereka juga melakukan pemberdayaan ekonomi. Selain itu, mereka terlibat dalam kegiatan masyarakat seperti relawan bencana alam, mengajar anak suku asli, dan membersihkan masjid. Lewat proyeknya, “Janglangso”, Diah menyediakan ruang untuk teman-temannya mengaktualisasi diri sekaligus mendorong pelestarian alam dan budaya. Saat ini, “Janglangso” sudah melibatnya 250 anak muda dan orang dewasa di Jambi.

  1. Serafine Christabela Beatricia (17) Karsa Cita / Semarang, Central Java

Membuka ruang dialog bagi anak muda untuk meningkatkan kesehatan mental dan menemukan tujuan hidup mereka.

Selama pandemi Covid 19, Serafine bergulat tentang identitasnya dan makna hidupnya. Selama menghabiskan waktu di sosial media, Serafine ‘berjumpa’ dengan influencer muda dan idolanya, BTS, yang memotivasi anak muda lain untuk menjadi lebih baik. Hal ini memacunya untuk membuat Karsa Citra, tempat bagi anak muda untuk mengekspresikan diri, menjaga kesehatan mental dan menemukan tujuan hidup. Bersama dengan 94 anggotanya yang berusia 15-25 tahun, Serafine mengadakan ruang berbagi secara rutin dan sesi mentoring dalam hal kepemimpinan dan pengembangan diri. Ia juga bekerja sama dengan ahli dan aktivis di bidang perdamaian untuk mengadakan sesi berbagi dengan lebih dari 100 partisipan. Mereka juga membuat seminar untuk anak-anak SMA yang tinggal di panti asuhan di Semarang tentang kesehatan mental. Sosial media Karsa Citra telah menjangkau 41,298 pengguna termasuk anak muda dan orang dewasa dengan 299,316 impresi. Serafine bertekad untuk memperluas sayap Karsa Citra di tingkat nasional bahkan internasional.

  1. Muhammad Fahry Azizurahman (17) Generasi Anti Kekerasan / Bengkulu, Bengkulu

Menciptakan komunitas pemuda yang melakukan kegiatan edukasi dan advokasi terkait kekerasan berbasis gender.

Sejak usia 5 tahun, Fahry telah terlibat dalam organisasi tantenya, Yayasan PUPA, yang berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Lewat pengalamannya menjadi relawan serta berpartisipasi dalam forum anak muda, Fahry mengembangkan rasa empati yang mendalam terhadap anak-anak yang menjadi korban perceraian dan kekerasan berbasis gender. Salah satu kegiatan Save The Children membuatnya terpantik untuk mendiskusikannya dengan tantenya, yang mendorongnya untuk mengembangkan Generasi Anti Kekerasan, sebuah komunitas muda yang mengedukasi publik tentang kekerasan berbasis gender, terutama yang terjadi di ruang maya ketika pandemi Covid 19. Mereka melangsungkan pelatihan, kampanye, dan festival untuk mengadvokasi cara mengakhiri kekerasan berbasis gender. Dengan dukungan jaringan PUPA, komunitas ini berhasil berkolaborasi dengan media untuk meningkatkan kesadaran isu serta melakukan audiensi dengan pemangku kepentingan untuk mendorong aksi untuk mencegah kekerasan/ pelecehan seksual terhadap anak.

  1. Muhammad Atha KY (17) Sa-Fun (Save Energy is Fun) / Tangerang Selatan, Banten

Meningkatkan kesadaran penghematan energi melalui kampanye edukasi kreatif di sekolah.

Ayah Atha yang bekerja di sektor energi kerap berdiskusi dengan Atha tentang tantangan-tantangan pengembangan energi terbarukan. Atha juga menonton film-film dokumenter yang menyoroti kelangkaan sumber daya alam, seperti air dan listrik di pedesaan Afrika. Ini membuat Atha menyadari bahwa Indonesia merupakan salah satu dari konsumen terbesar penggunaan energi di dunia yang mungkin menghadapi tantangan yang sama di masa depan. Ia mengamati kurangnya kesadaran di masyarakat Indoensia tentang pentingnya menghemat energi – terutama karena sektor ini terlihat tidak menarik, serta rendahnya prioritas dalam konservasi energi dalam masyarakat. Menyikapi isu tersebut, Atha dan teman sekelasnya membentuk “Sa-Fun” untuk mendorong teman- temannya menjadi “Duta Hemat Energi”. Mereka mengedukasi teman sebaya untuk menghemat energi dengan cara asyik dan kreatif, seperti menggunakan board games, video, stiker, serta diskusi. Saat ini, Sa-Fun telah memiliki 20 anggota dan menjangkau 450 siswa di sekolah-sekolah di Serpong.

  1. Kynan Tegar (18) Dayak Documentary Foundation / Putussibau, Kalimantan Barat

Membuat film dokumenter sebagai media untuk berbagi ilmu kearifan lokal dalam upaya melestarikan hutan.

Kynan dibesarkan dalam lingkungan dengan budaya yang berbeda, yakni perkotaan dan pedesaan dari latar belakang orang tuanya. Keragamanan ini membentuk perspektif yang berbeda tentang komunitas adat yang hidup berdampingan dengan alam dan kota yang mengandalkan teknologi. Ketika tumbuh, Kynan berperan menjadi alih bahasa untuk wisatawan asing yang datang ke desanya, Sungai Utik. Kynan tertarik dengan minat mereka dalam mempelajari kearifan lokal dan upaya melestarikan hutan. Kesadaran ini memicu semangat Kynan untuk membagikan pengetahuan komunitas adat lewat video dokumenter. Pada umur 13 tahun, Kynan mengawali jejak awalnya menjadi seorang pembuat film dengan membuat film pertamanya “Mali Umai” yang kemudian diputar di Bali International Indigenous Film Festival. Dokumenter ini juga menjadi dokumen pendukung bagi komunitas Dayak Iban untuk mendapatkan hak penuh atas hutan berdasarkan Surat Keputusan tentang Hutan Adat di tahun 2019. Saat ini, Kynan dan timnya sedang terlibat dalam produksi film bertajuk “Sounds of The Forest” yang akan diproduksi oleh Netflix.

  1. Kezia Tulalessy (18) Lebebae Community / Ambon, Maluku

Melestarikan lingkungan melalui kegiatan yang menyenangkan dan mendidik bagi generasi muda.

Kezia tumbuh di Amahusu, sebuah desa di Ambon, Maluku. Ia menyadari bahwa pantai di lingkungannya sangat tercemar. Pencemaran ini membuat penduduk tidak bisa lagi menikmati pantai. Di umur 14 tahun, Kezia dan teman-temannya membentuk komunitas Lebebae, dalam bahasa lokal “lebih baik”. Mereka memprakasai kegiatan bersih pantai secara rutin, pengelolaan sampah, donasi barang untuk panti asuhan, menanam terumbu karang, kemah kepemimpinan bahkan melakukan program untuk meningkatkan kesadaran lingkungan di sekolah sekitar. Orang tua para anggota komunitas Lebebae sangat mendukung, menyediakan makanan serta transportasi untuk aktifitas mereka. Hingga hari ini, komunitas Lebebae memiliki 70 anggota dan bermitra dengan Bank Republik Indonesia yang telah menyediakan tempat sampah untuk mencegah aksi buang sampah sembarangan di desa-desa. Selain itu, mereka telah menanam kurang lebih 1.000 pohon di lingkungan sekitar. Komunitas Lebebae aktif memantau pertumbuhan pohon-pohon tersebut tiap 2-4 bulan sekali.

KLIK INI:  Aktivis Difabel: Kita Membutuhkan Berita-Berita Positif tentang Covid-19