Curahan Hati Penambang Tradisional di Boltim Ditengah Kebijakan dan Investasi

oleh -575 kali dilihat
Curahan Hati Penambang Tradisional di Boltim Ditengah Kebijakan dan Investasi
Gambar penambang traidisional di Botim - Foto: Ist

Klikhijau.com – Ditengah gencarnya Pemerintah sedang memeras otak untuk mensejahterakan masyarakatnya, yang salah-satunya dengan menerima kehadiran perusahaan tambang emas, Pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan bagi keberadaan masyarakat setempat.

Hal ini terjadi pada masyarakat penambang tradisional yang bermukim di lokasi panang, dusun 5 Desa Kotabunan Kecamatan Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sulawesi Utara (Sulut).

Menurut Wahyudin Damopolii Pemerhati sejarah Boltim dan Penanggung Jawab Aliansi Masyarakat Panang, sikap pemerintah yang dianggap merugikan itu yakni setidaknya antara lain:

Pertama, keputusan untuk merelokasi masyarakat panang tanpa proses sosialisasi dan konsolidasi ke masyarakat secara langsung dan secara tiba- tiba pula langsung di buatkan rumah untuk di relokasi.

Kedua, keputusan membentuk tim percepatan prosesi perusahan tambang.

Ketiga, keputusan untuk melelang jalan panang ke perusahan dengan harga berkisar 51Miliyar, padahal itu bukan aset Pemda, tapi diklaim sepihak oleh Pemda Boltim. Sejatinya, jalan itu sudah ada sejak zaman belanda.

KLIK INI:  Pemerintah Inisiasi Gerakan Indonesia Bersih dan Sehat, Begini Penjelasannya

Keempat, keputusan untuk tidak mengeluarkan wilayah panang dari zonasi HGU, padahal HGU sendiri 30% adalah hak rakyat.

Kelima, keputusan untuk tidak memberikan wilayah panang sebagai wilayah WPR, padahal sudah ratusan tahun rakyat menambang disitu.

Sedikit cerita jauh sebelum kedatangan VOC ke wilayah itu, beberapa klan keluarga suku Mongondow telah datang dan bermukim di wilayah Pegunungan Iloba saat ini berlokasi di wilayah Desa Bukaka, Kecamatan Kotabunan mereka bercocok tanam, berburu dan melakukan aktivitas sosial lainnya di wilayah itu.

Beberapa tahun kemudian saat terjadi kemarau panjang, klan tersebut menyebar dan berpidah wilayah ke beberapa tempat. Sebagian dari klan tersebut menetap dan tinggal di wilayah gunung Doup (Panang) saat ini berlokasi di Dusun 5 Desa Kotabunan. Mereka bertahan di wilayah itu karna di topang oleh apitan 2 jalur sungai; sungai tongsile dan sungai ongkobu mereka bertahan dengan bertani serta di sisi lain mereka melakukan penambangan dengan cara yang sangat tradisional, tentu dengan dampak kerusakan Alam yang sangat minim.

Saat itu wilayah pesisir “Kotabunan” sudah di tempati oleh suku Bone “Pelarian Perang Arupalaka” merupakan penduduk awal yang bermukim di wilayah itu.

KLIK INI:  Hadirkan Bahaya Lingkungan, Honduras Larang Pertambangan Terbuka

Singkat cerita setelah terjadi cross culture dan kawin silang antar 2 suku tersebut, tepatnya di akhir tahun 800an berdirilah pemukiman baru bernama Kontambunan “nama awal kotabunan”, wilayah strategis pesisir laut yang kaya akan sumberdaya alam dengan ciri khas masyarakat pesisir namun beridentitas sebagai penambang tradisional.

Bahkan katanya lagi, setelah terjadinya tragedi Perang Permesta tahun 1965 di Sulawesi Utara yang berdampak besar terhadap masyarakat Kotabunan, masyarakat masih kembali lagi dan melakukan penambangan secara tradisional di wilayah itu sampai hari ini.

“Iya secara jujur saya katakan penambangan tradisional tersebut merusak lingkungan namun itu dalam lingkup dan skala yang sangat kecil. Bahkan dalam kurun waktu beberapa ratus tahun setelah dilakukan penambangan diwilayah tersebut, kerusakan yang ditimbulkan masih dalam tahap yang wajar, pun tak bisa dipungkiri kalau penggunaan bahan kimiawi yang berat seperti air raksa (Air Perak) tentu akan berdampak ke masyarakat,”Ujar Wahyudin.

Tapi lihatlah Kotabunan hari ini Katanya, kepada Klikhijau, dalam kurun waktu kurang dari 1 Tahun beberapa gunung telah rata dengan tanah, sungai diobrak-abrik, hutan ditebang dan lahan produktif di gali untuk di buat kubangan hanya untuk menggerus berbagai kandungan logam di dalamnya.

“Alam sebagai rumah dirusak tanpa mempertimbangkan anak cucu kedepan dan nasib beberapa hewan endemik di dalamnya seperti Tarsius, Maleo, Anoa, dan Macaca Nigra.

KLIK INI:  Cagar Alam Gunung Ambang Antara Pesona dan Ancaman Kepunahan Satwa Endemik 

Padahal beberapa perusahan tambang tersebut belum resmi melakukan aktivitas produksi tambang, baru sebatas eksplorasi, namun skala kerusakan dan dampak ekologi yang besar sudah mulai terlihat dengan jelas,” sesal dia.

Tapi pun dibalut sebagus mungkin lanjut Wahyudin meneruskan perkataanya di hadapan puluhan masyarakat penambang yang bakal bernasib sama, ketusnya kepada media ini. Mungkin dengan seruan potensi ekonomi yang menjanjikan sehingga membutakan mata beberapa orang, dengan iming-iming peningkatan taraf hidup, mimpi surplus ekonomi sebagai bargening oleh mereka yang berkuasa, bekerja sama dengan stakeholder terkait dan tanpa ragu mengatakan bahwa masa depan kotabunan akan lebih cerah.

“Dengan janji surga lapangan pekerjaan yang berlimpah yang belum pasti adanya,”sindirnya.

Ia juga menilai masyarakat dipolarisasi antara Pro Perusahan Tambang/Anti Kebijakan Pemerintah, antara Pro lingkungan/Anti Investasi. Bahkan beberapa penguasa bergerak menggunakan instrumen negara untuk memuluskan upaya tersebut.

Selain itu dia juga menduga Tim percepatan dibentuk di tingkatan Pemda untuk mempermudah langkah-langkah mereka. Padahal ada kelompok masyarakat pribumi yang hari ini masih mengais sesuap nasi dari kemilau tanah kering tersebut tanpa mengindahkan hak-hak mereka sebagai manusia itu sendiri.

KLIK INI:  Makna Simbolik Pawai Obor dan Jalan Kaki Pemkot Makassar di Malam Lebaran?

Singkat cerita katanya, saking terbiasa kita dengan pemandangan lucu tersebut banyak hal yang terlewatkan, perikemanusiaan tak laku di negeri ini! Padahal hari ini ada sekelompok pribumi yang pendahulu mereka dengan rela hati di tahun 1953 “Bolmong bergabung dengan NKRI” menyerahkan kedaulatan mereka ke Negara ini tanpa sedikitpun rasa iri, seakan lupa bahwa mereka telah dikhianati oleh Belanda tak berkulit putih.

Asing di negeri sendiri! Karena tak diberikan akses untuk mendapatkan tempat tinggal atas dasar status tanah tersebut bermerek Hak Guna Usaha (HGU), padahal mereka sudah tinggal dan menetap diwilayah itu jauh sebelum Negeri ini lahir, pun itu tanpa di tunjang air bersih, tak diberi akses energi “Listrik” padahal kata mereka penguasa didampingi oleh sumberdaya manusia yang mempuni, bersekolah tinggi namun tak bisa membaca isi Traktat Perjanjian PBB (Piagam PBB) tentang Hak Asasi Manusia.

Apalah arti Etika Lingkungan “Environmental Ethics” bagi mereka-mereka yang masih menandang manusia dan alam sebagai Obyek Penghasil Keuntungan, bodohkah mereka bahwa dunia hari ini tak lagi memandang buta aksara sebagai penghambat peradaban melainkan pemahaman yang mendalam akan etika lingkungan dan hak asasi manusia sebagai acuan.

Lantas dimanakah keberadaan mereka yang katanya para pejuang pena (Pers&Media), pilar sebelah mana yang kalian topang kawan? Lupakah kalian tentang apa itu fungsi penyeimbang? Haruskah penduduk panang berlebelkan Palestina untuk sebuah nama perjuangan tanah kelahiran? Atau perlu proklamasi lagi untuk sekadar pembuktian?

Oleh karena itu, semua masyarakat penambang tradisional yang berada di Panang, sudah bulat menyatukan tekad dan suara untuk akan melakukan aksi protes terhadap pemerintah dari tingkat provinsi sampai ke pemerintah desa terkait kebijakan pemerintah di wilayah Panang, yang mana di dalamnya terdapat Masyarakat yang tinggal dan menetap serta melakukan penambangan secara tradisional di wilayah itu yang sudah sejak lama.

KLIK INI:  Workshop Jaring Solusi Pencemaran Pesisir dan Laut