Aliansi Sulawesi Terbarukan: Booming PLTU Captive Nikel di Sulawesi

oleh -138 kali dilihat
Aliansi Sulawesi Terbarukan: Booming PLTU Captive Nikel di Sulawesi
Aliansi Sulawesi Terbarukan: Booming PLTU Captive Nikel di Sulawesi-foto/Ist

Klikhijau.com – Aliansi Sulawesi Terbarukan meluncurkan Policy Paper berjudul “Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi” yang dipaparkan langsung oleh penulisnya, Slamet Riadi. Paper tersebut melibatkan akademisi Unhas, Prof. Abd. Hamid Paddu dan warga yang turut merasakan dampak negatif

Keterangan yang diuraikannya menyebutkan saat ini kebijakan dan komitmen pemerintah Republik Indonesia terkait dekarbonisasi masih  belum ada transparansi  dan potret sebaran emisi dari penggunaan  pembangkit  listrik batubara yang  terintegrasi  langsung ke  area   industri   atau   sering   disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive. Kebijakan yang  ada  saat  ini  melalui Perpres 112/2022  masih  memberikan  ruang dan  karpet merah terhadap pembangunan dan operasi PLTU captive.

“Booming PLTU Captive ini tentu akan memberikan masalah secara global untuk permasalahan krisis iklim, namun hal lain yang menjadi sorotan kami adalah masalah di level tapak yang perlahan masalah di level tapak yang perlahan membunuh masyarakat lokal yang berada di sekitar lokasi proyek PLTU Captive di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah,” kata Slamet, yang juga Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel.

Laju pembangunan Industri tersebut dianggap berseberangan dengan ambisi pemerintah terhadap target zero carbon dengan meningkatnya angka jumlah PLTU Captive yang berada dan sementara pembangunan di berbagai wilayah khususnya di Pulau Sulawesi, dengan fakta akan dibangunnya sekitar 13 PLTU Captive di Sulawesi Tengah dengan total 4315 MW.

KLIK INI:  Jarolli Tak Lagi Terbang Menuju Gunung Bawakareang

”Penghentian PLTU seharusnya merupakan program utama untuk memenuhi komitmen penurunan Gas Rumah Kaca pada target 29% di 2030, atau bisa lebih dari angka tersebut dengan kerjasama tingkat internasional untuk mencapai zero emisi di tahun 2050,” katanya

Menurut data Aliansi Sulawesi Terbarukan, PLTU yang menggunakan batu bara, per 1 ton menghasilkan 2,3 ton carbondioksida (CO2). Tidak berhenti di situ ada 6.500 jiwa angka kematian warga Indonesia per tahunnya.

“Angka tersebut diperkirakan akan bertambah sekitar 15.700 jiwa per tahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU Batubara baru, studi yang dilakukan Aliansi Sulawesi Terbarukan menemukan kerentanan yang serupa dengan data tersebut, khususnya kepada masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah PLTU Captive,” jelasnya.

Perihal potensi ancaman yang kompleks juga mengintai khususunya bagi warga yang berada di wilayah smelter. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Hak atas pangan dan Hak atas identitas kultural.

Prof. Abd Hamid Paddu mengapresiasi sekaligus memberi masukan pada peluncuran paper tersebut, disebutkan bahwa paper tersebut dapat menjadi bacaan masyarakat dan pemangku kebijakan dalam merumuskan produk  kebijakan yang memperhatikan sisi lingkungan.

KLIK INI:  P3E Suma Gelar Rakor Pembangunan Ekoregion, Ini 6 Poin Pentingnya!

”Saat ini sedang berlangsung hilirisasi, berarti ada pembangunan, melihat bahwa di Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun pertumbuhan hanya pada angka 4 sampai 5 persen dan tentu kita memerlukan pertumbuhan, yang juga harus dilakukan mitigasi dampak negatifnya,” terangnya.

Hilirisasi disebutnya sebagai sebuah terobosan, yang mesti dijaga agar tidak didominasi asing yang saa itu juga kita mesti terbuka atas kerjasama. Percepatan bisa dilaksanakan dengan pelibatan berbagai pihak.

“Hal sederhananya dalam mengolah sumber daya batu bara, mesti ada pengolahan sebelum diekspor yang selama ini diekspor langsung tanpa pengolahan yang memungkinkan peningkatan nilai jual dan pelibatan masyarakat mengolahnya,” pungkasnya.

4 poin rekomendasi

Akademisi Unhas ini melihat pajak karbon dapat menjadi pilihan efektif dalam menahan penggunaan batu bara secara berlebih.

Pajak karbon (carbon tax) lebih efektif menahan penggunaan batu bara berlebih karena  adanya harga yang turut naik.

KLIK INI:  Pegiat Lingkungan Dorong Capres-Cawapres 2024-2029 Kaji Ulang Kebijakan Bioenergi Berbasis Hutan

“Penerapan pajak karbon akan mengikutkan harga yang naik, hal ini dapat mengerem agar tidak ugal-ugalan dan hasil pajak ini bisa digunakan secara langsung untuk membiayai dampak negatif yang rusak,” tegas Prof. Hamid.

Lebih jauh mengatakan, pengelolaan SDA ini memang harus diaudit, apakah taat mitigasi sebagaimana amanat undang-undang.

“Harus kita meyakinkan masyarakat dan semua pihak, bahwa model pembangunan yang baik untuk kita gunakan adalah pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial. Berkelanjutan dan inklusif,” sambungnya.

Dirinya pun meminta agar pihak Aliansi Sulawesi Terbarukan yang menghimpun Walhi Sulsel, Walhi Sulteng dan Walhi Sultra dapat memberikan gambaran, penjelasan konsep alternatif yang dapat menjadi pilihan dalam pembangunan berkelanjutan, mendorong ekonomi hijau yang inklusif.

Dari peluncuran tersebut, Aliansi Sulawesi Terbarukan menegaskan 4 poin penting sebagai rekomdasi dari hasil risetnya.

KLIK INI:  Komitmen Indonesia Tak Kendur untuk Capai Tujuan Lingkungan Secara Global
  • Pertama, Phase out energi listrik fosil batu bara harus segera dilakukan tanpa pandang bulu, khususnya pada PLTU captive yang digunakan untuk kebutuhan proyek hilirisasi.
  • Kedua, merevisi pengecualian atau pelonggaran PLTU captive dalam Perpres nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan untukn Penyediaan Tenaga Listrik.
  • Ketiga, hentikan pembangunan PLTU captive baru di Pulau Sulawesi.
  • Keempat, negara harus menjaga dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat terdampak langsung dari kehadiran PLTU captive di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
KLIK INI:  Merancang Transisi Teratur Dunia Nol Bersih 2050