Yang Tiba dalam Hujan

oleh -143 kali dilihat
Ilustrasi-hujan
foto-etsy.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Panggangan kemarau menetak separuh napasnya. Matanya tak pernah alpa menggerimis ketika menatap keluar jendela. Pemandangan terasa mengiris-iris seinci demi seinci tubuhnya.

Kemarau telah mengeringkan irigasi. Padi yang hampir panen banyak mengering. Tanda gagal panen membayang tunai.

Tagihan arisan yang diikuti oleh istrinya datang pula memanen. Telah berkali-kali ia mengingatkan Nadita agar tak ikut arisan alumni taman kanak-kanaknya.

Tapi, istrinya itu tak pernah menggubrisnya. Ia datang mengambil nomor, nomor 18 sebagai nomor undiannya.

KLIK INI:  Alarm untuk Warga Makassar, Kapasitas TPA Antang Hanya Sampai 2020!

Ketika sampai di rumah, dengan girang ia memperlihatkan nomor cabutannya itu.

“Ini nomor keberuntungan, tanggal ulang tahun kita.” Ia dan Nadita, memang lahir ditanggal yang sama, beda tahun saja. Ia lebih tua tiga tahun dari istrinya itu.

“Dua kali setahun bayarnya, itu pas usai panen padi. Jadi tak berat, bukan?” Bujuk Nadita saat ia menggubris seadanya perihal arisan itu.

Baginya arisan adalah utang yang terus meneror. Dengan jumlah peserta 23 orang. Itu artinya ia akan membayar sebanyak 22 kali. Repot.

Mengering risih

Ia menatap kembali sawahnya. Bayangan istrinya yang akan kusut membayar arisan terbayang tunai. Jika hujan tak segera bertandan, gagal panen akan jadi berantakan.

Sejak seminggu yang lalu. Istrinya telah diungsikan ke rumah mertuanya. Ia membawa serta Rate, anak lelaki pertamanya yang baru berusia dua tahun sembilan hari.

Karena Rate pula, istrinya masuk jadi peserta arisan alumni TKnya. Ia ingin kembali akrab dengan teman-teman TK dulu. Meski tak ada ingatan masa kecil yang bisa mereka cerita waktu di TK.

KLIK INI:  Buntut Tak Raih Adipura, DLHK Kota Makassar Dinilai Tak Becus Urus Sampah

Anak selalu saja jadi pemicu melakukan banyak hal. Termasuk yang tak masuk akal sekali pun.

“Aku ingin Rate punya tabungan untuk masa depannya,” bujuknya ketika ia pertama kali minta izin bergabung dengan kelompok arisan teman-teman TKnya.

“Tapi panen sekarang tak bisa diprediksi. Kita menanam padi, seperti menanam teka-teki,” katanya.

“Anak akan selalu punya rezekinya tersendiri,”  balas Nadita.

Ia pada akhirnya menyerah. Hingga pada pagi yang gerimis, istrinya melangkah pergi dengan gesa. Rengekan Rate diabaikan.

Nadita mengeluarkan motor metic warna biru yang menyisa masa cicilan 9 bulan itu. Lalu di jalan Nadita berbelok kiri—menuju rumah Nurbaya, teman TKnya yang menjabat sebagai bendahara arisan.

Di rumah Nurbaya, telah ada lima orang temannya. Keakbaran terjalan rapi dan erat di antara mereka. Sebabnya, mereka masih berada di kampung yang sama, pun diikat temali kekerabatan yang rapat.

KLIK INI:  KLHK: Curah Hujan Tinggi Jadi Penyebab Utama Banjir Kalsel
Selepas tiada

Selepas panen nanti, akan jadi yang kelima kalinya Nadita menyertor uang arisan. Jumlah jutaan tak membuatnya gentar. Panen padi akan menutupinya—juga menutupi cicilan motor metic warna birunya.

“Jika arisanku naik, akan kulunasi cicilan motor itu,” pikir Nadita. Ia menatap keluar jendela. Hujan lebat turun.

Ingatannya kemudian buyar pada Rudiang, suaminya yang kini ditinggal sendiri di rumah panggungnya, yang berbatasan dengan sawah garapannya.

Ada rindu menghentak-hentak nakal ketika hujan begini. Ia suka membayangkan, ketika pengantin baru dulu. Nadita selalu berdoa hujan turun saja sepanjang waktu. Agar ia dan Rudiang tak perlu beranjak dari kamar—kecuali dua alasan, lapar dan ingin buang air.

Namun, setelah berjalan dua atau tiga bulan rumah tangganya. Ia dan Rudiang menyadari satu hal, ada tanggung jawab lebih besar yang menunggu daripada tinggal di kamar—berleha-leha.

Maka mulailah Rudiang menggarap sawah peninggalan orang tuanya itu—yang sebelumnya digarap orang lain dengan cara bagi hasil.

KLIK INI:  Sayembara Berhadiah Uang Digelar Demi Menangkap Pembuang Sampah di Selokan Mataram

Rudiang rupanya berbakat jadi petani. Ilmu yang ditimba di perguruan tinggi, meski tak selesai rupanya membawa pikiran dan inovasi. Ia terapkan ilmu itu ke dalam rahim sawah.

Kerajinannya membaca semua jenis buku pun membuatnya bisa menekan biaya tambahan. Ia tak lagi membeli pupuk anorganik. Pupuk dibuat sendiri dari bahan alami di kampungnya.

Awalnya ketika ia terapkan metode itu, semua mata menatap sinis. Namun, begitu ada hasil semua orang ingin berguru padanya.

Mata meratap

Rudiang menatapi lagi sawahnya. Matanya menggerimis. Sampah-sampah kini menimbunnya. Ia ingat Nadita dan Rate. Bagaimana pula arisan akan dibayar. Sampah telah mengancamnya pembayaran arisannya. Juga asap dapurnya.

Awalnya ia gembira, setelah kemarau berkepanjangan, akhirnya hujan tiba. Harapannya buncah, sebab hujan akan menyelamatkan padinya.

Irigasi yang mengering kerontang kini terisi air. Tanah retak sawahnya kembali merapat. Hujan telah turun menderas selama 5 jam tanpa jeda. Ia sunggingkan senyumnya.

Namun, tetiba air meruah ke dalam sawahnya. Air berwarna cokelat itu membawa segala jenis sampah. Sialnya sampah-sampah itu bertahan di sawahnya.

Padinya yang telah hampir panen itu terendam air, bermadikan sampah. Sampah-sampah plastik menyangkut di batang padi. Padi-padi rebah tiada daya.

KLIK INI:  KLHK Terbitkan Surat Edaran Perihal Mudik Minim Sampah, Ini Isinya!

Hujan yang dinanti kini lebih mengiris dari kemarau. Ia seka air matanya. Bayangan dapur yang kemarau kini bertandang tunai.

Ia ingat istrinya, Nadita dan anaknya, Rate. Matanya memerah. Ia turun ke sawahnya. Menerjang genakan air sambil berteriak. Namun teriakannya tertelan suara hujan yang menderas.

Resah bertumbuh liar

Nadita menatap ke pintu, tembus hingga ke halaman rumah. Senyum tersungging di bibirnya. Manis sekali. Rate sejak tadi telah tidur ditemani neneknya.

Ia bayangkan Rudiang, suaminya yang kegiranga kerana hujan akhirnya tiba mengakhiri kemarau. Berakhirnya kemarau akan jadi akhir pula cicilan motor metic warna birunya dan juga arisannya akan terbayar tunai.

Ia mengambil gawainya, menekan nomor suaminya. Suara deringan tersambung nyaring di telinganya. Namun Rudiang tak mengangkatnya.

Ia terus saja menelepon, tak ada respons. Ia akhirnya berhenti menelepon ketika panggilan tak terjawabnya mencapai angka 99 kali.

Tanpa pamit ke ibunya dan juga membangunkan Rate, anaknya. Ia mengeluarkan motor metic warna birunya lalu menerobos hujan menuju rumahnya—menuju pelukan Rudiang.

KLIK INI:  Sepotong Napas dari Puntondo
Tangisan di tengah sawah

Rudiang masih di tengah sawahnya, menghalau sampah yang tak berhenti menerobos masuk. Gigil membuat bibirnya memucat. Ia tak berhenti mengjhalau sampah yang entah datang dari mana. Bayangan Nadita, istrinya dan Rate, anaknya terbayar tunai.

Ia terus saja menghalau sampah masuk ke sawahnya, namun gagal, ia juga tak menangis.

Menerabas hujan menuju pelukan

Nadita terus saja melajukan motornya, lima ratus meter lagi ia akan sampai ke rumahnya. Gigil menyergapnya. Ia melihat sawahnya yang di serbu banjir dan sampah. Matanya ikut membanjir. Ia melihat Rudiang di tengah sawah.  Ia hentikan laju motornya.

Tetiba ia ingat Rate, anaknya. Ia memutar motornya. Namun, banjir tiba dan sampah menghalangi jalannya.

Ia menatap Rudiang, di saat yang sama Rudiang melihatnya. Keduanya saling bertatap dalam hujan, dalam banjir, dalam tumpukan sampah.

Hujan mengiris-iris seinci demi seinci tubuh keduanya…

2022-Feb 2023

KLIK INI:  Walhi Sulsel: Pemerintah Kota Makassar Gagal Atasi Banjir