Upaya Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim Global

oleh -148 kali dilihat
Survei APCO: Perubahan Iklim Jadi Prioritas Global, Masyarakat Ingin Transparansi
Ilustrasi - Foto/Unsplash
Emmanuel Ariananto Waluyo Adi
Latest posts by Emmanuel Ariananto Waluyo Adi (see all)

Klikhijau.com – Indonesia terletak di wilayah geografis yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan secara umum kenaikan suhu rata-rata di wilayah Indonesia diperkirakan sebesar 0,5 – 3,92 derajat Celsius (Sumber: Penjelasan UU No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement).

Berdasarkan Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, tingkat emisi GRK nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 1.050.413 Gg CO2e, dan sektor energi sebagai pemberi kontribusi terbesar yaitu sebesar 584.284 Gg CO2e (56%).

Dari sektor energi, emisi GRK di Indonesia diperkirakan terus meningkat pada 2021-2030 seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), gas dan batu bara (Sumber: Kementerian LHK).  Indonesia selain sebagai negara yang memiliki luas hutan kedua terbesar di dunia, juga

Kondisi saat ini kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim diproyeksikan mencapai 35 – 40 cm pada Tahun 2050 dan akan meningkat jika terjadi pencairan es di kutub utara dan selatan (Sumber: Penjelasan UU No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement).

Sebagai negara kepulauan, terdapat lebih 17.000 pulau dan hampir 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir, maka Indonesia berkepentingan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan cepat guna menurunkan emisi GRK.

KLIK INI:  Apakah Kucing Hutan Bisa Dipelihara atau Diperjualbelikan?

Disamping itu Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, total luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 125,76 juta hektare (ha) pada Tahun 2022 (Sumber: Kementerian LHK), yang berfungsi menyerap gas CO2 (salah satu penyumbang emisi GRK terbesar).

Indonesia juga sebagai negara yang kaya akan sumberdaya  fosil seperti batubara, minyak bumi dan nikel, yang membutuhkan perhatian dan pengaturan yang serius selain karena kategori non renewable resourches, terlebih penting dalam proses penggunaannya menghasilkan emisi GRK.

Oleh karena itu Indonesia memiliki peran strategis dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim (climate change) yang dirasakan semakin ekstrim terjadi saat ini, dengan melakukan Pembangunan Rendah Emisi.

Kewajiban Pemerintah RI Menurunkanan Emisi GRK

Konsekuensi hukum Indonesia meratifikasi berbagai konvensi terkait perubahan iklim, adalah adanya kewajiban untuk melaksanakan isi dari konvensi. Kewajiban yang wajib dilakukan pemerintah RI adalah:

  • Menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2.C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5″C di atas suhu di masa pra-industrialisasi, mengakui bahwa upaya ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim;
  • Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan mendorong ketahanan iklim dan melakukan pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca, tanpa mengancam produksi pangan; dan
  • Membuat aliran dana yang konsisten dengan arah pembangunan yang rendah emisi gas  rumah kaca dan berketahanan iklim (Pasal 2 Paris Agreement).

Pada Tahun 2022, Indonesia telah meningkatkan komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) menjadi sebesar 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,20% bila dengan bantuan internasional di Tahun 2030.

KLIK INI:  Perihal Banjir dan Kata-Kata Mutiara Mengenainya yang Patut Direnungkan

Pada strategi jangka panjang, Indonesia ditargetkan mencapai Net Zero Emission di Tahun 2060 atau lebih cepat. Upaya pencapaian target penurunan emisi GRK sebesar 31,89% dilakukan melalui kontribusi pada sektor energi sebesar 12,5%, sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) sebesar 17,4%, sektor limbah sebesar 1,4%, sektor Industrial Processes and Product Use (IPPU) sebesar 0,2% dan sektor pertanian sebesar 0,3%. (Laporan KLHK)

Sebagai tindak lanjut melaksanakan ketiga hal diatas, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

Tujuan dibuatnya Perpres No.98/2021 adalah sebagai dasar penyelenggaraan NEK dan sebagai pedoman pengurangan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian Target NDC dan mengendalikan Emisi GRK dalam pembangunan nasional.

Pengurangan Emisi GRK  didukung utamanya oleh pengendalian Emisi GRK Sektor kehutanan untuk menjadi penyimpan/penguatan karbon.

Dalam Perpres ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan mitigasi perubahan iklim dilakukan pada sektor: Energi, Limbah, Industri dan Penggunaan Produk, Pertanian serta Kehutanan. Lalu terdapat sub sektor  terdiri atas: pembangkit; transportasi; bangunan; limbah padat; limbah cair; sampah; industri; persawahan; peternakan; perkebunan; kehutanan; pengelolaan gambut dan mangrove (Pasal 7).

KLIK INI:  Bagaimana Hubungan Antara Komponen Biotik dan Abiotik dalam Ekosistem?
  1. Pengaturan Pengendalian Emisi GRK Sektor Energi

Transisi energi merupakan proses panjang yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk menekan emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Kesepakatan dalam transisi energi bertujuan untuk menuju ke titik yang sama yaitu pemanfaatan energi bersih yang terus meningkat.

Transisi energi diperlukan untuk mengubah pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Selain itu, transisi energi juga akan mengubah banyak hal, diantaranya perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis dan lainnya.

Karena itu, dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mengidentifikasi tantangan saat ini dan tantangan di masa ke depan, agar transisi energi rendah karbon yang adil dan merata dapat terlaksana dengan baik. Pemerintah menargetkan bahwa Indonesia akan mencapai emisi nol atau Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.

Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Sub Sektor Pembangkit Tenaga Listrik, merupakan respon atas kewajiban pemerintah RI untuk menurunkan emisi GRK di sektor energi.

  1. Pengaturan Pengendalian Emisi GRK Sektor terkait Limbah:

Pengaturan teknisnya sedang disusun KLHK dan tim GRK yang dihasilkan dari sektor limbah yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Emisi CO2 berasal dari kegiatan pembakaran terbuka (open burning) sampah.

Emisi berasal dari kegiatan pengelolaan limbah: Pembuangan Akhir Sampah Padat (Solid Waste Disposal) Pengolahan Limbah Padat secara Biologi (Biological Treatment of Solid Waste) Pembakaran Sampah melalui Insinerator dan Pembakaran Sampah secara Terbuka (Incineration and Open Burning of Waste) Pengolahan dan Pembuangan Air Limbah (Wastewater Treatment and Discharge).

  • Untuk CH4 sebagian besar dihasilkan dari proses anaerobik pada proses pembusukan sampah di TPA. Sedangkan N2O dihasilkan dari proses biologis pada kegiatan komposting. KLHK mencatat terdapat 18,89 juta ton timbulan sampah per tahun. Adapun komposisinya, sekitar 41,1% atau sekitar 7,76 juta ton berupa sampah sisa makanan yang mayoritas bersumber dari rumah tangga. Sampah yang diolah di TPA berasal dari permukiman, pertamanan, pasar, area komersial, dan area lain di daerah perkotaan dan pedesaan. Namun sebagian masyarakat masih ada yang membakar dan/atau menimbun sampah di tempat terbuka. Selain menghasilkan GRK, pembakaran sampah secara terbuka menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Penurunan emisi GRK yang cukup signifikan dari penimbunan sampah di TPA akan terjadi jika pengelolaan sampah dilakukan secara ramah lingkungan, melalui kegiatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle), perbaikan proses pengelolaan sampah di TPA dan pemanfaatan sampah menjadi energi. Untuk mengurangi jumlah emisi GRK akibat penimbunan sampah, di TPA Seboro Kecamatan Krejengan telah dilakukan pemanfaatan Land Fill Gas (LFG) berupa gas metan, pengomposan dengan sistem windrow composting dan biokonversi dengan maggot BSF (Black Soldier Fly).
  • Berdasarkan Indeks Potensi Pemanasan Global atau Global Warming Potential (GWP), emisi metana mempunyai efek 21 kali lipat dibandingkan emisi karbon dioksida. masyarakat untuk bisa menyelesaikan sampah organik dari sektor rumah tangga. Ini bisa dilakukan melalui pengomposan agar sampah yang mudah terurai itu tidak masuk ke TPA. Pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik bisa digunakan masyarakat untuk menyuburkan tanaman. https://katadata.co.id/rezzaaji/berita/63f5f4036be6b/klhk-kejar-penurunan-emisi-gas-metana-dari-sampah
  • Pengolahan limbah kelapa sawit atau POME (palm oil mill effluent/limbah cair minyak kelapa sawit) untuk menghasilkan listrik (energi alternatif) mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) mencapai 900.000 ton CO2 eq pertahun. penurunan emisi itu berasal dari penangkapan gas metana limbah cair kelapa sawit dengan asumsi semua POME dari pengolahan 4,4 juta ton tandan buah segar pertahun dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik.Potensi listrik tambahan yang mampu dihasilkan mencapai 100.000 megawaat/hour per tahun yang diperkirakan dapat memasok sekitar 65.000 rumah tangga.
  1. Pengaturan Pengendalian Emisi GRK Terkait Industri dan Penggunaan Produk:

Peraturan teknis belum ada, masih disusun Kementerian terkait. Emisi dari Proses Industri Dan Penggunaan Produk:

  • Industri Mineral (Mineral Industry) Industri Kimia (Chemical Industry)
  • Industri Logam (Metal Industry)
  • Produk-produk Non Energi dan Penggunaan Solvent/ Pelarut (NonEnergy Products from Fuels and Solvent Use)
  • Industri Elektronik (Electronics Industry)
  • Penggunaan produk yang mengandung senyawa pengganti bahan perusak ozon (Product Uses as Substitutes for Ozone Depleting Substances)
  • Produk Manufacture lain dan Penggunaannya (Other Product Manufacture and Use) (KLHK,2012)
  1. Pengaturan Pengendalian Emisi GRK Sektor Pertanian dan Kehutanan

Termasuk di dalamnya emisi dari:

  • Peternakan
  • Lahan Hutan Lahan Pertanian, Padang Rumput, Lahan basah (Wetlands), Pemukiman
  • Emisi dari pembakaran biomasa
  • Pengapuran
  • Penggunaan Urea
  • Emisi N2O langsung dari pengelolaan tanah
  • Emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan tanah dan pengelolaan pupuk
  • Pengelolaan sawah

Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Komitmen Menurunkan Emisi GRK

Tantangan nyata yang harus dihadapi pada tahun selanjutnya adalah bagaimana mendorong para pemangku kepentingan dapat melaporkan aksi mitigasi perubahan iklim berikut angka capaian pengurangan emisi GRK melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan iklim (SRN PPI).

Diharapkan dengan diterbitkannya Perpres 98 Tahun 2021 dapat mendorong semua pihak untuk melaporkan dan meningkatkan pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim ke dalam SRN PPI.

Perlu ada Pengembangan sistem pengarsipan (archiving), sistem keamanan (security) serta sistem dokumentasi data dan informasi. Sistem-sistem tersebut mendukung penyelenggaraan inventarisasi GRK dalam pelaksanaan verifikasi, menjamin transparansi serta merupakan bagian dari sistem penjaminan dan pengendalian mutu (QA/QC); Regulasi terkait operasionalisasi pasar karbon perlu dilengkapi, khususnya di sektor-sektor teknis.Indonesia perlu memastikan kesiapan infrastruktur yang dibutuhkan dalam mendukung perdagangan karbon, antara lain:

  • Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), yang merupakan sistem berbasis web untuk melakukan pencatatan dan pelaporan sebagai dasar pengakuan pemerintah atas kontribusi penerapan NEK dalam pencapaian target NDC.
  • Bursa Karbon, yang merupakan sistem untuk mengatur pencatatan perdagangan karbon, pencadangan karbon dan status kepemilikan unit karbon.

Pelaku usaha masih belum memahami terkait ketentuan mekanisme perdagangan karbon yang berlaku di Indonesia. Peraturan operasional pajak karbon belum terbit, hal ini berpotensi:

  • mengurangi peluang pendapatan negara untuk pembiayaan proyek perubahan iklim yang bersumber dari pajak karbon.
  • pelaku perdagangan karbon tidak mendapatkan benefit pengurangan pajak karbon.
KLIK INI:  Membaca Tren Isu Politik Lingkungan Global