Suku Kajang, Para Pelestari Hutan dari Bulukumba

oleh -822 kali dilihat
Suku Kajang, Para Pelestari Hutan dari Bulukumba
Kunjungan ke Kawasan Adat Kajang - Foto: Ist
Dina Yulianti
Latest posts by Dina Yulianti (see all)

Klikhijau.com – Perjalanan saya untuk menemui suku Kajang sungguh mengesankan. Mereka tinggal di kawasan adat Tanatoa di Bulukumba.

Bulukumba merupakan kabupaten di ujung selatan pulau Sulawesi. Kalau kita melihat peta, pulau Sulawesi seolah punya dua kaki. Bulukumba berada di ujung salah satu kakinya. Dapat dibayangkan, selama perjalanan menuju Bulukumba dari Makassar, saya dimanjakan oleh pemandangan pantai-pantai yang indah.

Dari kota Bulukumba, saya dan teman-teman menempuh perjalanan lagi sekitar 56 kilometer ke arah timur laut. Sebelum memasuki kawasan wisata adat Tanatoa, saya bersama teman-teman mampir dulu ke rumah Daeng Kahar, salah seorang tokoh Suku Kajang. Jabatan adatnya adalah Loha Galla Lombo. Rumah beliau berupa rumah panggung besar yang terbuat dari kayu. Daeng Kahar seorang pria dengan penampilan yang kharismatik. Senyumnya sangat ramah dengan mata yang bersinar cerdas.

Awalnya, percakapan kami dengan Daeng Kahar terasa serius, namun lama-kelamaan menjadi cair karena Daeng rupanya suka bercanda. Daeng menceritakan bagaimana upayanya mendorong anak-anak suku Kajang untuk bersekolah. Daeng sendiri menempuh pendidikan hingga sarjana. Saat ini, warga suku Kajang terbagi menjadi dua komunitas. Suku Kajang Luar menjalani kehidupan modern, seperti bersekolah, berkarir, serta menggunakan teknologi (listrik, mobil, televisi, dan berbagai alat elektronik lainnya).

Sebaliknya, warga suku Kajang Dalam tinggal di dalam Kawasan Adat Ammatoa; mereka masih menjaga nilai-nilai tradisional mereka, utamanya menjauhkan diri dari segala bentuk modernitas. Jadi, di sana tidak ada listrik dan tidak ada teknologi baru. Bahkan sandal dan sepatu pun dilarang digunakan.

KLIK INI:  Jelajah Gua Leang Passea, Situs purbakala Tertua di Bulukumba

Situasi ini terasa dilematis buat saya. Manakah yang lebih baik? Ataukah tidak perlu dibanding-bandingkan, seperti kata Farel Prayoga? Bukankah setiap manusia berhak memilih cara hidupnya masing-masing? Toh, di suku Kajang, warganya diperbolehkan untuk memilih.

Bila mereka ingin menjalani kehidupan modern, mereka bisa pergi dan berdomisili di kawasan Kajang Luar dan mereka yang ingin berpegang teguh pada tradisi leluhur akan tetap bersama Ammatoa di kawasan Kajang Dalam.

Diskusi dengan Daeng Kahar sungguh menarik karena wawasannya yang luas. Antara lain, kami bahkan membandingkan sistem ‘pemerintahan’ suku Kajang dengan sistem pemerintahan di Iran, Wilayatul Faqih,  yaitu kepemimpinan di tangan fakih. Fakih artinya ahli hukum Islam atau ulama tingkat mujtahid yang sangat memahami syariat atau hukum Islam.

kajang
Bersama Abdul Kahar Musilim (tokoh masyarakat di Kajang) – Foto: Ist

Di suku Kajang, pimpinan suku adalah Ammatoa, yang memiliki pemahaman paling tinggi mengenai filosofi dan aturan adat yang telah diwariskan turun-temurun sejak berabad-abad yang lalu. Ammatoa terdiri dari dua kata, ‘amma’ berarti Bapak, sedang ‘toa’ berarti dituakan. Ammatoa diyakini dipilih oleh Tuhan (mereka sebut ‘Turiek Akrakna’) dengan masa jabatan seumur hidup, lalu jabatan itu diwariskan kepada keturunannya.

Setelah itu, kami bersiap-siap untuk pergi ke Kawasan Adat Ammatoa. Aturan wajib untuk setiap orang yang akan ke sana adalah menggunakan pakaian serba hitam dan tidak mengenakan alas kaki. Biasanya, para wisatawan akan berganti baju di ruangan khusus di gerbang depan kawasan adat. Di sana disediakan peminjaman baju dan sarung hitam.  Tapi, karena kami berkunjung dulu ke rumah Daeng Kahar dan sudah membawa baju hitam, kami berganti baju di sini saja.

KLIK INI:  Klikhijau Edukasi Warga Kelurahan Sambung Jawa Daur Ulang Jelantah

Daeng Kahar secara khusus menemani kami untuk bertemu Ammatoa. Kata teman saya, warga asli Bulukumba, ini sebuah kehormatan buat kami. Saya juga merasa demikian. Masalahnya, perjalanan menuju rumah Ammatoa tidak semudah yang saya kira. Daeng Kahar berjalan dengan sangat cepat, cocok dengan perawakannya yang gagah dan tinggi besar, meski di usia senja.

Sebaliknya saya, berjalan tertatih-tatih karena telapak kaki terasa sakit. Seorang perempuan suku Kajang melewati saya, dengan pakaian hitam dan memanggul barang di kepalanya. Kakinya dengan lincah menginjak batu demi batu, berjalan cepat sebelum kemudian menghilang di antara pepohonan.  Setelah melewati ‘penderitaan’ berjalan tanpa alas kaki, meskipun terhibur oleh pemandangan hutan yang eksotik dan candaan teman-teman, akhirnya saya sampai juga di rumah yang dihuni Ammatoa.

Daeng Kahar berbicara kepada Ammatoa dengan nada pelan, dalam bahasa suku Kajang, yaitu bahasa Makasar dengan dialek Konjo. Yang sata tangkap cuma kata “Amerika” dan orang-orang sontak tertawa. Saya berbisik pada salah satu teman saya, orang Bulukumba, “Ada apa?”

Rupanya, Daeng Kahar memperkenalkan saya pada Ammatoa, “Perempuan ini aktif melawan Amerika.” Saya ikut terbahak. Pastilah teman saya, yang bercerita pada Daeng Kahar, bahwa saya sering menulis analisis geopolitik yang anti-imperialisme AS.

Ammatoa tersenyum ke arah saya. Tatapannya kebapakan. Dia mempersilakan saya bertanya. Saya pun bertanya soal perempuan dan pernikahan. Antara lain, jawaban yang diberikan, perempuan yang dinikahkan harus bisa memasak dan menenun.

KLIK INI:  Permandian Bravo 45 Bulukumba dan Lelaki Misterius Bernama Suma'

Bicara soal memasak, saya lihat, dapur di rumah adat Kajang berada di depan. Jadi, begitu kita masuk ke dalam rumah, di sebelah kiri ada dapur, terbuka dan bisa dilihat semua orang. Kata Daeng Kahar (menerjemahkan ucapan Ammatoa), filosofi dari dapur di depan adalah keterbukaan dan kejujuran.

Dengan nada bercanda, Daeng Kahar berkata, “Kalau dapur ada di dalam, siapa saja bisa memasak. Ketika dapur ada di depan, si gadis tidak bisa berpura-pura bisa memasak.”

Sementara itu, syarat bagi si laki-laki ketika akan menikah adalah harus punya penghasilan. Pekerjaan orang-orang suku Kajang biasanya bertani, berkebun, dan berternak. Keharusan si calon pengantin laki-laki untuk punya penghasilan, kata Daeng Kahar, sangat terkait dengan keberlangsungan hidup rumah tangga.

“Seseram-seramnya rumah kosong, lebih seram lagi kantong kosong,” kata Daeng Kahar, disambut dengan tawa tergelak-gelak hadirin.

Saat itu, selain saya dan teman-teman, ada beberapa mahasiswa yang datang berkunjung ke rumah Ammatoa. Rumah ini terbuat dari kayu, berbentuk panggung, terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian atas yang disebut parra, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan hasil kebun, seperti jagung dan ubi-ubian. Lalu bagian tengah, tempat kami berkumpul ini, yang disebut kale bella. Dan di bagian bawah (di bawah lantai, sejajar dengan tanah), disebut bagian sirih,  digunakan untuk aktivitas menenun dan kandang ternak.

KLIK INI:  Mahasiswa Magang Mandiri Unhas di TN Babul Antusias Belajar Terbangkan Drone

Rumah ini gelap, karena sumber cahaya adalah sinar matahari yang redup, yang masuk ke jendela setelah menembus dedauanan pohon-pohon di sekitar rumah. Beberapa perempuan juga hadir, duduk dalam diam. Mereka menyediakan minuman air putih dan kue khas Kajang, disebut kue ruhu-ruhu, bentuknya seperti gumpalan benang berwarna coklat, terbuat dari tepung beras dan gula aren.

Selanjutnya Ammatoa menjelaskan mengenai filosofi suku Kajang dalam menjaga hutan. Saya pikir, hal ini penting untuk saya tulis ulang. Apalagi, bulan Maret ini, tepatnya tanggal 21, telah ditetapkan PBB sebagai Hari Hutan Sedunia.

Menjaga hutan, bagi Suku Kajang, adalah sebuah laku yang lahir dari paradigma hidup kamase-masea atau kesederhanaan. Hidup sederhana, artinya, mengambil dari alam sesuai yang diperlukan saja. Itu pula sebabnya mereka memiliki tradisi mengenakan baju hitam dan menghindari segala bentuk modernitas; semua dilandasi oleh filosofi kesederhanaan itu. Kehidupan yang berlebih-lebihan biasanya akan mendorong manusia untuk mengeksplotasi alam. Menurut Ammatoa, merusak hutan artinya merusak diri manusia itu sendiri.

Namun, bukan berarti mereka tidak boleh memanfaatkan hutan sama sekali. Suku Kajang memberlakukan aturan adat dalam pengelolaan hutan. Hutan di kawasan mereka dibagi dalam tiga jenis. Pertama, hutan larangan (Borong Karrasaya)  seluas 317,4 hektar. Segala jenis hasil hutan larangan ini, baik kayu ataupun nonkayu, tidak boleh diganggu sedikit pun. Kedua, hutan penyangga (Borong Battasaya), seluas 92 hektar. Kayu dan nonkayu di hutan penyangga ini boleh dimanfaatkan oleh warga, namun secukupnya saja, tidak untuk diperjualbelikan.

Kawasan ketiga adalah hutan rakyat. Di sana, warga boleh memanfaatkan hutan, dengan aturan, siapa yang menanam, ia pula yang boleh mengambil hasilnya. Di sekitar hutan rakyat inilah warga bertani dan berkebun. Fungsi utama pelestarian hutan adalah untuk menyimpan air. Air yang melimpah, hasil dari penjagaan hutan, akan dimanfaatkan oleh warga sebagai air minum, maupun air untuk mengairi sawah dan kebun.

Saya kemudian berterima kasih kepada Ammatoa yang sudah berkenan menerima kami dan memberikan penjelasan singkat mengenai kehidupan mereka. Saya lalu berpamitan. Ammatoa mengatakan sesuatu.

“Ammatoa ingin mendoakanmu,” Daeng menerjemahkan.

Wah. Saya agak kikuk. Saya pun mendekati Ammatoa. Beliau membisikkan doa di ubun-ubun saya. Inti dari doa beliau adalah saya akan terjauhkan dari orang-orang yang berniat jahat. Suku Kajang mempercayai keberadaan Turiek Akrakna, yang bermakna “Tuhan yang Maha Berkehendak,”  Sang Pencipta Semesta Alam ini. Jadi, saya tetap percaya bahwa doa-doa tulusnya akan sampai ke langit.

KLIK INI:  Menelisik Potensi Kerjasama Infrastruktur dan Energi Indonesia-Yordania