Jutaan Ton Sampah Plastik Serbu Lautan Selama Pandemi

oleh -377 kali dilihat
Indonesia Butuh Lebih Banyak Penelitian tentang Dampak Plastik di Laut
Dampak sampah plastik di laut/Foto-tempo.co

Klikhijau.com – Jika dihitung sejak awal kedatangannya. Pandemi Covid-19 telah menghasilkan lebih dari delapan juta ton sampah plastik. Sebagian besar berakhir di lautan.

Sebagian besar adalah plastik sekali pakai (PSP). Penggunaan PSP memiliki tujuan yang jelas, untuk  perlindungan pribadi.

Penemuan itu merupakan  model baru yang dikembangkan oleh para peneliti di Universitas Nanjing di Cina. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences .

Plastik yang digunakan melindungi diri itu, sebagian besar akan berakhir  di lautan. Dan akan tenggelam ke dasar atau tetap mengambang di atas sampai terkumpul di pantai, di pusaran samudera atau di lautan Arktik.

KLIK INI:  Sampah Plastik di Laut, Komponen Kunci Merancang Farmasi

Model plastik MITgcm-Universitas Nanjing (NJU-MP) yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini bekerja seperti “realitas virtual,”.

Menurut Yanxu Zhang, profesor di School of Atmospheric Sciences di Nanjing University.  Model tersebut dibangun berdasarkan hukum gerak Newton dan hukum kekekalan massa.

“Model ini mensimulasikan bagaimana air laut bergerak, didorong oleh angin, dan bagaimana plastik mengapung di permukaan laut, terdegradasi oleh sinar matahari, dikotori oleh plankton, mendarat di pantai, dan tenggelam ke dalam.

Zhang mengungkapkan bahwa model ini bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan,  apa yang akan terjadi jika kita menambahkan sejumlah plastik ke laut?.

Para peneliti menggunakan data dari awal pandemi pada tahun 2020 hingga Agustus 2021. Mereka  menemukan bahwa sebagian besar sampah plastik karena pandemi global yang masuk ke laut berasal dari sungai-sungai di Asia.

Sungai-sungai di Asia ini  menyumbang 73 persen dari total pembuangan plastik.  Ada tiga sungai penyumbang terbesar sampah plastik ke laut, yakni,  Sungai Shatt al-Arab, Indus, dan Yangtze.

Ketiga sungai ini   mengalir ke Teluk Persia, Laut Arab, dan Laut Cina Timur.  Sementara sungai-sungai Eropa menyumbang 11 persen dari debit, dan benua lain hanya memiliki kontribusi kecil untuk masalah ini.

KLIK INI:  Optimalisasi Medsos, Ditjen Gakkum KLHK Gelar Pelatihan Fotografi
Dominan limbah medis

Penelitian yang dipimpin oleh tim peneliti di Sekolah Ilmu Atmosfer Universitas Nanjing dan Lembaga Oseanografi Scripps UC San Diego ini menemukan, sebagian besar plastik “pandemi”  yang dibuang di darat berasal dari limbah medis. Ini terutama berlaku di daerah-daerah di mana pengelolaan sampah sudah berada di bawah tekanan sebelum dimulainya pandemi.

“Ketika kami mulai menghitung, kami terkejut menemukan bahwa jumlah limbah medis jauh lebih besar daripada jumlah limbah individu. Dan sebagian besar berasal dari negara-negara Asia, meskipun bukan di sana sebagian besar kasus Covid-19 ,” kata rekan penulis studi Amina Schartup, asisten profesor di Scripps Oceanography.

Ia juga berpendapat, sumber limbah  terbesar adalah rumah sakit di daerah yang sudah berjuang dengan pengelolaan limbah sebelum pandemi. Mereka ini  tidak dibentuk untuk menangani situasi di mana  mereka memiliki lebih banyak limbah.

Dari lebih dari delapan juta ton plastik terkait pandemi yang dihasilkan secara global, lebih dari 25.000 ton akan memasuki lautan global.

Model tersebut memperkirakan  dalam tiga hingga empat tahun, sebagian besar puing plastik lautan ini akan terdampar di pantai atau tenggelam ke dasar laut.

Namun, sebagian kemungkinan akan masuk ke laut terbuka, akhirnya terperangkap di pusat cekungan laut atau pilinan subtropis, atau berakhir di zona akumulasi plastik sirkumpolar di Samudra Arktik.

Meskipun zona akumulasi Arktik ini belum ada. Model tersebut memprediksi bahwa, karena pola sirkulasi laut, Samudra Arktik tampaknya menjadi “jalan buntu” bagi sampah plastik yang diangkut di lautan dunia.

KLIK INI:  ICRTH Gelar Konferensi Internasional Perihal Pariwisata Pasca Pandemi
Transit ke Samudra Arktik

Model tersebut menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari puing-puing plastik yang transit ke Samudra Arktik. Akan tenggelam dengan cepat, tetapi zona akumulasi plastik sirkumpolar diperkirakan akan terbentuk pada tahun 2025.

“Ada pola sirkulasi yang cukup konsisten di lautan. Itulah sebabnya kami dapat membuat model yang meniru bagaimana lautan bergerak – hanya oseanografi fisik pada titik ini,” kata Schartup, yang penelitiannya biasanya berfokus pada pemahaman merkuri di lautan.

Ia juga menuturkan bahwa kita tahu jika limbah dilepaskan dari sungai-sungai Asia ke Samudra Pasifik Utara. Sebagian dari puing-puing itu kemungkinan akan berakhir di Samudra Arktik. Itu semacam lautan melingkar yang bisa sedikit seperti muara. Ini mengumpulkan segala macam hal. yang dilepaskan dari benua.

Ekosistem Arktik sudah sangat rentan karena kondisi lingkungan yang keras dan kepekaan terhadap pemanasan global. Penambahan polusi plastik ke sistem yang sudah rapuh ini membawa ancaman lebih lanjut bagi organisme. Khususnya organisme yang hidup di sana. Itu menambah beban kekhawatiran bertambah.

KLIK INI:  Dampak Perubahan Iklim, Warga di Madagaskar Alami Kelaparan Akut

Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti menekankan pentingnya pengelolaan limbah medis yang lebih baik. Terutama yang berasal dari perawatan pasien Covid-19, khususnya di negara berkembang. Di mana sistem pengelolaannya mungkin sudah tidak memadai.

Para peneliti juga  juga menyerukan kesadaran publik global tentang dampak lingkungan dari alat pelindung diri (APD) dan produk plastik lainnya.

Hal lain yang perlu dilakukan, pengembangan teknologi inovatif untuk pengumpulan, klasifikasi, pengolahan, dan daur ulang sampah plastik yang lebih baik, serta pengembangan bahan yang lebih ramah lingkungan.

Zhang mengakui bahwa pada abad ke 21 ini,  masalah plastik yang terkait covid ini.  Hanyalah sebagian dari masalah besar yang sedang dihadapi. “

Langkah konkrit yang bisa ditempuh untuk mengatasi sampah plastik ini dibutuhkan banyak transisi ekonomi, perubahan gaya hidup, dan inovasi teknis.

KLIK INI:  5 Cara Sederhana Mengurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Sumber: Earth.com