Rantai Pasok Pangan yang Rapuh Terbukti Memiskinkan Petani di Desa

oleh -433 kali dilihat
Rantai Pasok Pangan yang Rapuh Terbukti Memiskinkan Petani di Desa
Ilustrasi petani/foto-Komunita.ID

Klikhijau.com – Sistem pangan saat ini memang belum berpihak pada petani. Faktanya, problem kemiskinan dan kelaparan justru terjadi di tapak bawah di mana produsen hasil pertanian ada dan bertumbuh.

Hal itu diakui Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah dalam seri webinar #Obrolin Pangan Goes to Campus, yang menyapa civitas akademika Universitas Brawijaya, Rabu 30 September 2020.

Menurut Said Abdullah, sistem pangan yang berlaku saat ini diakui memang belum memberikan keadilan khususnya untuk masyarakat di desa.

“Peningkatan produksi pertanian menyisakan problem 820 juta orang kelaparan, itu jumlah yang sangat banyak. Dua pertiga orang yang lapar saat ini ada di pedesaan yang menjadi korban sistim pangan ini justru produsen pangan itu sendiri,” kata pria yang akrab disapa Ayip itu.

Hal memburuk di saat pandemi karena pandemi membuat akses pangan terbatas, dan pendapatan produsen pangan menurun.

KLIK INI:  8 Juni Hari Laut Sedunia, Sahabat Pesisir Sulbar Rilis Tukik ke Laut

“Ketergantungan pada pangan impor yang sangat besar. Di pandemi kita melihat ada situasi dimana rantai pasok pangan sangat rapuh dan inilah yang membuat pendapatan petani menurun,” jelas Ayip.

Sistim pangan yang tidak adil dan memiskinkan petani sebagai produsen pangan ini kata Ayip, ternyata karena dikendalikan oleh korporasi dan pemburu rente yang dicirikan dengan tingginya impor pangan.

“Kelompok ini yang menyandera pemerintah dalam korupsi atau state capture corruption,” tegasnya.

Sistem pangan yang berdaulat

Karenanya harus dibangun sistim pangan yang berdaulat yang mampu menempatkan petani sebagai subyek dalam konteks produksi, distribusi dan konsumsi pangan dan menjadi subyek dalam pengambilan keputusan sistem pangan dan kebijakan pangan.

KLIK INI:  Mangrove, Tanaman Pesisir yang Menjaga Kedaulatan Ekonomi dan Politik Indonesia

“Orientasinya pada peningkatan kualitas kehidupan terutama pada kelompok petani kecil dan produsen pangan skala kecil,” ujar Ayip.

Sistem pangan ini juga harus didasarkan pada model produksi yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan kesesuaian dan keberlangsungan agroekologi.

Sistem pangan ini juga harus dibangun pada keragaman pangan dan kelokalan dengan mendayagunakan keragaman pangan yang ada dan sistem yang dikelola pada skala lokal.

“Sistem pangan yang berkeadilan adalah sistem pangan yang memungkinkan terpenuhinya hak atas pangan bagi seuruh warga. Kuatnya akses petani pada sumber-sumbr produksi, dan posisi yang setara dan kemanfaatan yang adil bagi seluruh pelaku sistem pangan terutama peyani dan produsen pangan skala kecil,” tegas Ayip.

KLIK INI:  Ini Penyebab Polusi Udara, Salah Satunya Mungkin Sering Kita Lakukan
Model pemberdayaan petani

Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr. Hagus Tarno mengatakan, dari sisi peningkatan kapasitas petani, pemberdayaan petani bisa dilakukan dengan menggelar sekolah-sekolah lapang pertanian.

Sekolah lapang pertanian sendiri lahir dari kegagalan revolusi hijau yang banyak menekankan penggunaan input-input kimia sintetis dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengendalian hama.

“Ternyata ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia berdampak pada tingginya kadar residu, dari beberapa penelitian menunjukkan, pada beras yang kita makan kita jumpai banyak residu bahan kimia dalam kadar yang membahayakan kesehatan,” ujar Hagus.

Residu kimia tidak hanya pada tanaman tetapi juga terdapat pada tanah. “Itulah sebabnya mengapa tanah kita menjadi semakin rusak karena kadar bahan kimia yang terlalu tinggi,” ujarnya.

KLIK INI:  8 Isu Utama Permasalahan pada Ekosistem Mangrove di Indonesia

Kondisi inilah yang kemudian membuat Presiden Soeharto pada tahun 1986 menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 yang menjadi landasan munculnya sistem pengendalian hama terpadu (PHT).

Lewat Inpres tersebut pemerintah melarang penggunaan 57 jenis pestisida dan juga mendorong pelatihan PHT melalui pendekatan sekolah lapang (SL).

“SL penting karena di sana tidak hanya memberikan teknologi tetapi juga ada upaya membantu petani agar mau berubah. Perubahan perilaku menjadi target dalam pemberdayaan petani. Perubahan perilaku ini mendorong lahirnya petani terampil, merdeka, kreatif, inovatif dan mampu berkolaborasi,” papar Hagus.

Keberhasilan sekolah lapang ini terbukti dengan adanya beberapa perubahan positif dalam praktik pertanian. Pertama, penggunaan insektisida berkurang hingga 35%. Kedua, produksi padi meningkat 7,9%. Ketiga, penggunaan pestisida turun 21%. Keempat, biaya produksi pertanian juga turun hingga 5%.

“Petani dengan sekolah lapang juga memiliki pengetahuan lebih tentang hama dan pestisida daripada petani yang tidak ikut sekolah lapang,” pungkas Hagus.

KLIK INI:  Salju Mengandung Plastik Turun di Kutub Utara