Pentingnya Mitigasi Dampak Ekologi Kegiatan Wisata Alam

oleh -73 kali dilihat
4 Jenis Kupu-Kupu Ini Dilindungi di TN Bantimurung Bulusaraung
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung/Foto-Travellermeds

Klikhijau.com – Jumlah Taman Nasional (TN) di Indonesia cukup banyak. Tercatat hingga tahun 2023 ini, jumlahnya mencapai 55. Selain TN, Indonesia juga memiliki Taman Wisata Alam (TWA). Jumlahnya 130 yang tersebar di seluruh Indonesia.

TN dan TWA itu berada di kawasan konservasi seluas 27,4 Juta hektar. Perkembangannya tersebut cukup pesat, sebab pada awal pembentukannya, yaitu pada tahun 1982, Indonesia hanya memiliki 5 TN saja.

Baik TN maupun TWA kerap dijadikan sebagai tujuan wisata. Keduanya memiliki arti yang sangat strategis, misalnya sebagai sumber pendanaan konservasi, sarana meningkatkan kesadaran masyarakat, pertumbuhan ekonomi lokal, diversifikasi pendapatan, manfaat pendidikan, mempromosikan potensi daerah, mendukung penelitian, dan mempengaruhi kebijakan konservasi.

Karena TN dan TWA sangat penting, maka menurut Profesor Riset Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hendra Gunawan mengungkapkan penting adanya mitigasi dampak ekologi kegiatan wisata alam Taman Nasional yang saat ini cenderung meningkat mengikuti trend global.

KLIK INI:  Pesona 7 Tempat Wisata di Parepare yang Paling Mantap Dikunjungi

“Kita perlu memitigasi dampak ekologi wisata alam pada habitat, hidupan liar, pola migrasi, dan penyebaran penyakit. Jika hal ini diabaikan, akan mengancam keberlanjutan wisata alam itu sendiri,” ujarnya saat menjadi salah satu narasumber Workshop Pengelolaan Wisata Alam di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin 27 November 2023 lalu.

Tiga dampak yang perlu dicermati

Wisata alam TN sangatlah bernilai. Hal itu dikarena dapat mendekatkan manusia dengan alam. Melalui wisata alam kita dapat memahami mengapa alam penting bagi manusia, sehingga dapat mengubah pemikiran manusia.

Karena itu, menurut Hendra, ada dampak lain dari wisata alam liar yang perlu dicermati. Dampak tersebut, yakni:

  • Pertama, memastikan wisatawan tidak membawa penyakit yang dapat ditularkan dan aktivitas pengunjung tidak menyakiti, mengganggu, bahkan mengeksploitasi hidupan liar.
  • Kedua, mitigasi dampak pada pola migrasi dan rutinitas harian yang harus selaras dengan rute wisata.
  • Ketiga, mitigasi penyebaran penyakit melalui penerapan protokol kesehatan dan kebersihan untuk mencegah penyebaran penyakit.
KLIK INI:  Operasi Gabungan KLHK Hentikan Penimbunan di Kawasan TWA Teluk Youtefa

“Maka dari itu fungsi pendidikan dan kesadaran lingkungan baik oleh pengelola maupun para wisatawan terkait konservasi alam harus dipahami. Salah satunya  dengan menerapkan batasan jumlah pengunjung. Selain itu kolaborasi dengan komunitas lokal dalam pengelolaannya sehingga berdampak pada pengembangan wisata yang memberikan manfaat positif bagi masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Pengelolaan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nandang Prihadi, menekankan pentingnya memahami dampak wisata alam terhadap spesies dan ekosistem. Namun tetap memberi kepuasan pengunjung.

“Maka dari itu pentingnya edukasi pada pengunjung agar tumbuh kesadaran yang pada akhirnya turut berpartisipasi dalam upaya konservasi wildlife,” ujarnya.

KLIK INI:  Pakar Hukum: Omnibus Law LHK Tidak Mengubah Prinsip Lingkungan

Sedangkan Kepala Balai Taman Nasional Baluran, KLHK, Johan Setiawan mengatakan secara ekosistem Taman Nasional Baluran dikenal sebagai savananya, sehingga dijuluki africa van java atau little africa in java.

“Potensi alam dan satwa liarnya yang unik dan menarik untuk dikunjungi sebagai obyek wisata selama ini cukup menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Beberapa spesies ikonik yang ingin mereka lihat secara langsung di habitatnya yaitu banteng, macan tutul, merak, rusa, lutung, monyet, dan masih banyak lagi,” ujar Johan mempromosikan. ***

KLIK INI:  6 Jenis Sampah yang Dominan Menghuni Tanah Air

Sumber: BRIN