Merusak Hutan Sama Saja Mengundang Penyakit Baru Berdatangan

oleh -766 kali dilihat
Di Balik Topeng Investasi, Indonesia Kehilangan 684 Ribu Hektare Hutan
Ilustrasi kerusakan hutan/foto-Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Dalam novel silat Bu Kek Siansu karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Digambarkan dengan sangat jelas bahwa pendekar-pendakar sakti banyak menghuni hutan dan gunung.

Pendekar-pendekar ini tidak merusaknya. Menganggap hutan dan gunung sebagai kesatuan dan penopang hidup manusia.

Merusaknya berarti merusak pula kehidupan manusia. Hutan adalah sumber kehidupan alami yang harus dijaga.

Hutan menawarkan banyak hal yang bisa menjamin kehidupan manusia lebih baik. Hanya sangat disayangkan, banyak yang tak puas dan puasa, ingin hasil yang lebih banyak. Sehingga rela merusaknya.

KLIK INI:  Layanan Streaming Musik Buruk Bagi Lingkungan! Ini Dampaknya

Harus diakui hutan menyimpan pundi-pundi rupiah yang bisa membuat hidup mewah. Ada kayu, tambang dan lain sebagainya.

Namun tahukah kamu, ada sebuah penelitian mengungkapkan jika merusak hutan sama saja mengundang penyakit berdatangan menimpah manusia.

Penelitian itu datang dari Stanford University, Amerika Serikat yang menemukan bahwa berkurangnya luasan hutan di Uganda berisiko meningkatkan interaksi manusia dengan primata liar. Interaksi yang meningkatkan risiko kontak manusia dengan virus yang ada pada primata liar tersebut.

Ada beberapa bukti jika wabah penyakit zoonosis, penyakit yang ditularkan melalui satwa liar yang tercatat terjadi di Uganda, seperti virus Ebola dan virus Marburg.

Kedua virus ini dapat menginfeksi baik manusia maupun kera, menyebabkan pengidapnya mengalami demam yang diikuti oleh pendarahan dalam.

Dan yang melanda dunia sekarang, yakni virus corona. Kabar awal yang tersiar tentang virus ini diduga berasal dari hewan liar kelelawar. Habitat asli kelelawar adalah hutan.

Penyakit baru menurut penelitian tersebut hampir selalu bermula dari perambahan habitat dan praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan yang dilakukan oleh manusia.

Kajian lain yang dilakukan terhadap penyakit baru yang muncul pada 2010-2011 di seluruh dunia. Kajian itu menemukan bahwa peternakan dengan populasi hewan yang terlalu padat atau daerah yang mengalami aktivitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan kerap berujung kepada penyebaran penyakit.

Sederhananya, semakin banyak hutan yang rusak, interaksi manusia dengan primata liar semakin intim. Hal ini tentu saja berisiko, sebab banyak satwa liar yang bisa membawa virus ke manusia.

KLIK INI:  Babak Baru Kasus Makelar Kayu Ilegal Asal Lutim, Berkas Dilimpahkan ke Kejari Tana Toraja
 Izin pembukaan lahan diperketat

Analisis terhadap kemunculan penyakit baru di seluruh dunia dari tahun 1940 hingga 2004 juga sudah menunjukkan adanya kecenderungan penyakit baru di daerah dengan kepadatan manusia yang tinggi.

Area padat permukiman manusia dan pembukaan lahan belakangan diketahui turut bertanggung jawab terhadap insiden luapan infeksi virus Ebola di Afrika dan virus Hendra di Australia.

Memang organisme patogen yang dibawa oleh satu spesies tertentu dan meloncat ke spesies lain tidak akan langsung menimbulkan penyakit baru.

Kemunculan penyakit baru sangat bergantung kepada kecocokan organisme patogen dengan inang baru dan kesempatannya menyebar ke banyak individu dari inang tersebut.

KLIK INI:  Lebih Dua Dekade Tak Terlihat, Empat Ekor Jalak Putih Kembali ke TWA Angke

Peluang organisme patogen untuk menyebabkan penyakit baru akan semakin tinggi jika inang asalnya mengalami stres berlebih. Ketika hewan mengalami stres berlebih, sistem imun akan melemah sehingga meningkatkan jumlah patogen yang dia bawa.

Selain praktik pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan, manajemen satwa liar juga memiliki andil terhadap munculnya suatu penyakit baru.

Kesalahan kelola bisa berupa penempatan hewan dalam kondisi yang tidak nyaman dalam pasar, transportasi yang tidak higienis dalam jalur perdagangan, atau polusi dari perluasan pemukiman ke habitat mereka juga ikut ambil bagian.

Namun, menghentikan penyebaran penyakit baru yang disebabkan satwa dengan memusnahkan spesies tidak menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya akan menimbulkan masalah baru karena akan menyebabkan ketidakseimbangan alam.

Karena itu, manusia harus paham bahwa perubahan dan pengelolaan ekosistem akan berdampak pada kesehatan manusia.

Kesadaran untuk memandang kesehatan manusia dan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan sesungguhnya sudah ada sejak awal abad ke-19. Namun, sepertinya lebih banyak diabaikan.

Mengingat penyakit baru kerap muncul bersama perusakan habitat, maka analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) hingga pemberian izin usaha dan pembukaan lahan perlu diperketat.

KLIK INI:  Partai Hijau Indonesia Inisiasi Aturan Teknologi Artificial Intelligence