Partai Hijau Indonesia Inisiasi Aturan Teknologi Artificial Intelligence

oleh -293 kali dilihat
Partai Hijau Indonesia Inisiasi Aturan Teknologi Artificial Intelligence
Situasi saat Johnson Chandra (kiri) dan Achmad Jerry (kanan) dari PHI dalam sesi "Green AI: Effective Approaches to AI Regulation" (09/06/2023) - Dokumentasi Foto milik PHI.

Klikhijau.com – Pada 11 Juni 2023 lalu, di Incheon, Korea Selatan, lahir keputusan global untuk mengatur teknologi artificial intelligence (kecerdasan artifisial). Keputusan ini terjadi dalam Global Greens Congress atau Kongres Kaum Hijau Sedunia.

Kongres ini merupakan ajang Partai Hijau sedunia dan organisasi pendukung politik hijau sedunia berkumpul dan bersepakat untuk merespon perubahan-perubahan yang berdampak pada lingkungan dan kemanusiaan.

Aturan teknologi kecerdasan artifisial diinisiasi Partai Hijau Indonesia (PHI) bersama Partai Hijau Korea (GPK), bernomor R43, berjudul Resolusi Darurat untuk Regulasi yang Efektif pada Teknologi Kecerdasan Artifisial demi Demokrasi, Keberlanjutan dan Manfaat Sosial.

Setelah berhasil mendapat persetujuan dari peserta kongres yang melibatkan 84 negara dan 829 peserta, partai-partai hijau sedunia wajib memperjuangkan penerapannya di masing-masing negara dan kawasannya.

Johnson Chandra, salah satu delegasi PHI, yang juga merupakan pegiat teknologi informasi menyampaikan kabar gembira ini.

KLIK INI:  Tak Banyak yang Tahu, Ini Alasan Dokter Pakai Baju Warna Hijau saat Operasi!

“Kami senang karena: Pertama, melalui Global Greens Congress, tata kelola teknologi kecerdasan artifisial berhasil dirintis dalam skala internasional, dan Indonesia bersama Korea Selatan merupakan mitra pengusul resolusinya. Kedua, terbukti tiga hari setelah lahirnya resolusi kami, tepatnya 14 Juni 2023, Parlemen Eropa akhirnya berhasil menyepakati aturan mereka untuk pertama kalinya. Meskipun hanya urutan keempat dalam penguasaan kursi, Aliansi Partai Hijau Eropa mempunyai posisi penting dalam mekanisme voting di Parlemen Eropa. Ketiga, ini sekaligus merupakan aksi ekstraparlementer kami pada Pemerintah Indonesia yang nampak lunak kepada perusahaan teknologi kecerdasan artifisial raksasa seperti Google, Tiktok dan OpenAI (ChatGPT), serta sekaligus kritik pada kebijakan nasional.”

Johnson yang merupakan sosok kunci dalam situs apakabar, penyebar berita-tanding di era akhir Orde Baru, juga menjelaskan mengapa teknologi kecerdasan artifisial wajib diawasi.

Menurutnya, “Tanpa kontrol yang demokratis, berkelanjutan dan memiliki manfaat sosial, maka kita – umat manusia – sangat rentan atas praktik penyalahgunaan data pribadi, pengendalian informasi palsu, pembatasan pengetahuan, dan secara keseluruhan merupakan ancaman serius pada kemanusiaan”.

Hal ini bisa terjadi karena teknologi kecerdasan artifisial mampu melakukan pengawasan massal (mass surveillance) yang dapat melanggar hak privasi, membatasi hak sipil dan politik, serta memicu praktik rezim totaliter.

Mass surveillance berbeda dengan targeted surveillance (pengawasan yang ditargetkan) yang dianggap lebih lunak, membantu penanggulangan terorisme atau kerusuhan sosial, meski sering juga disalahgunakan dengan menyasar oposisi politik.

 

Ancaman lainnya, kecerdasan artifisial mampu membuat sistem senjata otonom mematikan (lethal autonomous weapon system), senjata robotik dan robot pembunuh yang mampu menentukan dan menyerang sasarannya tanpa campur tangan manusia.

Sistem senjata otonom ini terbagi menjadi dua, yakni: sistem pertahanan otomatis dan sistem serangan otonom. Masalah dari sistem ini antara lain adalah sulitnya melakukan pembedaan antara warga sipil dan tentara,  serta menentukan siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan tertentu.

Merespon ancaman ini, Koordinator Kelompok Kerja Nasional Kebijakan Publik PHI Achmad Jerry yang juga menjadi peserta Global Greens Congress, mengajak para pegiat teknologi informasi di Indonesia untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan negara termasuk Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045.

“PHI berpegang pada enam prinsip politik hijau, yakni: kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, tanpa kekerasan, keberlanjutan dan penghargaan terhadap keberagaman. Prinsip-prinsip inilah yang membuat kami peduli pada masalah teknologi kecerdasan artifisial,” tegasnya.

KLIK INI:  Penataan Lingkungan dan Kehutanan Indonesia Dapat Pujian dari Sekjen ASEAN