Yosepha Alomang: Lawan Freeport untuk Kesejahteraan Masyarakat Papua

oleh -680 kali dilihat
Yosepha Alomang: Lawan Freeport untuk Kesejahteraan Masyarakat Papua
Yosepha Alomang

Klikhijau.com – Tanah bagi orang Papua ibarat tubuh. Siapa yang berani merusak tanah berarti ia merusak tubuh.

Tanah bagi rakyat Papua juga adalah seorang ibu dan air adalah sebagai susu ibu. Koneksinya pada tanah adalah persoalan hidup dan mati.

Namun, alam Papua yang kaya diperkosa oleh penjajah. Penjajah itu bernama Freeport-McMoRan, penambang emas terbesar dunia.

Kehadiran Freeport di Papua merusak lingkungan atas praktik tambangnya yang lebih dari 30 tahun. Freeport merusak hutan-hujan, mempolusikan sungai, dan menelantarkan komunitas adat.

Freeport membuang setidaknya 200.000 ton limbang ke sungai setiap hari. Ini membuat tanah perkebunan yang kian sedikit, air bersih yang mulai habis, dan gunung yang kekayaan tambangnya dikeruk. Tanah Papua berontak.

Perempuan itu bernama Yosepha

Dari kondisi Papua yang dieksploitasi alamnya itu, datang sebuah perlawanan dari perempuan berani bernama Yosepha Alomang. Melihat kondisi Papua yang demikian, ia merasa kepalanya seperti ditebas, dadanya entah ingin ditaruh dimana lagi, dan susunya telah habis. Ia mengorganisasi komunitasnya untuk menolak perusahaan tambang Freeport McMoRan.

Yosepha Alomang dilahirkan di Tsinga, Mimika, Papua. Ia mandiri terlalu dini setelah menjadi yatim piatu. Yosepha sepeninggal orang tuanya dititipkan kepada saudara orang tuanya.

KLIK INI:  Sempat Dikabarkan Punah, Anjing Bernyanyi Papua Ditemukan Di Kawasan Tambang

Namun di sana Yosepha diperlakukan tidak bersahabat. Di umurnya yang masih muda, ia menikah. Dia memiliki lima anak, satu laki-laki dan empat perempuan tapi mereka meninggal semua.

Meski kehidupan pribadinya diliputi kesedihan, perempuan dari Suku Amungme tersebut tetap tegar bahkan menggerakkan sesamanya. Orang-orang Amungme yang naif tidak menyadari jika kehadiran Freeport adalah awal penderitaan dari kekayaan alam asli masyarakat Papua. Tanah mereka diambil tanpa permisi, yang kontra akan ditahan dan disiksa. Beberapa dibunuh atau dikejar hingga ke hutan.

Dia mengorganisasi masyarakat dan menyuarakan komunitas adat mendeklarasikan kemerdekaan untuk mengontrol Sumber Daya Alam mereka sendiri. Dia menggugat Freeport hingga ke pengadilan.

Freeport merusak lingkungan. Kehidupan Papua benar-benar dirusak. Dengan usaha itu dia yakin dapat memotivasi orang-orang lainnya untuk bertindak.

Tahun 1976 ketika terjadi kerusuhan besar di Freepot yang terletak di Tembagapura, para pemotres membakar pabrik. Pada saat itu Yosepha menjadi musuh nomor satu pihak yang merasa diganggu karena kegiatan aktivismenya, yakni Freeport. Yosepha sama sekali tidak ingin tanah Papua dikuasai dan dieksplorasi sedemikian rupa.

Ia tak hanya menghadapi Freeport saja, tetapi juga militer Indonesia di sana. Dia tak paham mengapa militer Indonesia sedemikian kasar. Tahun 1977 militer masuk di Wangki Baru, Timika. Turun dengan pesawat herkules. Tentara datang bukan untuk mengamankan Freeport tapi mengamankan masyarakat dan “memakan masyarakat”. Melawan pribumi manusia sendiri.

Seragam hijau masuk hingga ke rumah-rumah. Tidak ada yang berani bicara melawan miiter karena masyarakat dianggap tidak memiliki hak.

Yosepha selama hidupnya dari tahun 1983-1994 setidaknya telah dipenjara sebanyak 18 kali. Pada tahun 1994, Yosepha ditangkap karena dianggap sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Di sana ia disekap bersama 15 tahanan yang lain dan mesthi berada pada ruangan yang begitu tidak manusiawi.

Ruangan itu mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ia diseret dan ditahan di ruangan yang penuh dengan tahi manusia. Dia masuk di sebuah ruang tinja setinggi lutut.

Dia makan dengan air dan makanan yang minim di sana. Dia tidur di tanah dengan yang penuh urin dan feses selama sebulan.

Atas usahanya yang besar menjaga lingkungan, Yosepha meraih penghargaan Goldman Enviromental Prize tahun 2001. Saat menerima hadiah tersebut, Yosepha yang tak lulus SD ini pun menyampaikan pidatonya memakai bahasa asli daerah.

Wajahnya yang teduh memberikan pidato yang begitu menyentuh. Yosepha mengambil sikap bahwa Freeport adalah musuh bagi rakyat Papua. Yang kejam untuk tanah Nemangkawi.

KLIK INI:  Kisah BSU Hoki dan Pertamina Ubah Paradigma Masyarakat tentang Sampah
Kesetaraan gender

Di lingkungannya, Yosepha juga mengalami diskiminasi gender di kalangan orang Papua sendiri. Baginya perempuan di Papua belumlah merdeka. Sebab ia dilarang bicara, dilarang mengeksepresikan diri, dan dilarang mengkuti adat-adaat tertentu.

Pekerjaaan perempuan hanya memasak, di belakang, dan mengurus anak. Yosepha geram akan semua itu.

Baginya perempuan bukanlah kembang-kembang manis atau gula-gula manis yang dihisap kemudian dibuang, dicampakkan.
Dia melanjutkan perjuangannya dengan memimpin protes bagi para perempuan untuk melawan penambangan berskala besar yang merampas budaya, alam, dan kesehatan masyarakat. Ia mengorganisasikan sebuah grup ibu-ibu untuk hak asasi manusia.

Melakukan pertemuan secara rutin, hingga turun ke jalan. Komunitas ini dinamakan Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (Yahamak) yang proaktif di bidang pendidikan dan lingkungan.

Atas perjuangnnya itu Yosepha pada tahun 1999 mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien. Yaitu penghargaan yang diberikan kepada para pejuang Hak Asasi Manusia. Dia pernah diusulkan pula mendapat penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2005.

Yosepha juga melanjutkan perjuangannya memperjuangkan budaya tradisional, tindakan kolektif, dan kemajuan sebagai rakyat asli Papua Barat.

Yosepha adalah perempuan sederhana yang memiliki rasa kemanusiaan yang kuat. Perempuan yang percaya dan aktif melakukan sesuatu untuk membentuk situasi yang lebih indah dan baik bagi orang lain. Merdeka dalam bahasanya adalah ketika masyarakat terdidik dan bebas dari kemiskinan dan penderitaan.

KLIK INI:  Keren, Dua Pelajar Indonesia Juara Lomba Melukis Lingkungan di Jepang