Urban Agrofarm, Budidaya Maggot dengan Misi Tangani Sampah Organik Perkotaan

oleh -397 kali dilihat

Klikhijau.com – Sampah organik masih menjadi permasalahan besar di tengah masyarakat khususnya pada bau kurang sedap yang langsung menyengat, tidak hanya mengganggu saat beraktivitas bahkan saat beristirahat.

Selain itu buangan sampah organik juga menjadi parasit terhadap estetika ruang hidup yang juga menjadi pengaruh besar terhadap penurunan indeks kualitas lingkungan yang bersih.

Perihal sampah organik menjadi salah satu topik perbincangan yang diulik kembali oleh Irma Yanti dari Greenfluencer, saat bertemu lintas komunitas atas undangan pihak Kalla Group. Dihadiri pihak Klikhijau, YKL Indonesia, Pepelingasih Sulsel dan Dompet Dhuafa Sulsel. Rabu, (26/7).

Berbagai permasalahan dirajut dalam perbincangan tersebut, yang secara khusus Irma Mengulang informasi tentang kehadiran Urban Farm di kota Makassar yang setiap harinya telah mampu menangani sampah organik 2 ton perhari yang diambil dari beberapa pasar tradisional.

Informasi awal tersebut memicu saya untuk berkomunikasi lebih lanjut untuk mengunjungi langsung tempat pengolahan sampah organik yang berdiri di jalan Toddopuli Raya Timur nomor 180, kecamatan Manggala, Kota Makassar, Jumat, 28 Juli 2023.

KLIK INI:  Zero Waste, Komunitas yang Kampanyekan Zero Plastik di Makassar

Urban Agrofarm dan misi anak muda

Rasanya sangat senang menyaksikan langsung ruang pengolahan sampah dengan teknologi Biokonversi Budidaya Maggot Black Soldier Fly (BSF). Juga berbincang lepas dengan Rahmat Hidayat, CEO Urban Agrofarm.

 

Menurut Rahmat, tempat tersebut dulunya bernama Millenial Agrofarm dan berdiri sejak agustus 2022.
Seiring berjalannya waktu bertemu dengan pemilik tempat yang kini menjadi tempat fokus para anak muda yang mengurusi Maggot.

Perjalanannya yang tidak begitu sederhana, menjatuhkan pilihan untuk fokus pada penanganan sampah organik. Upaya nyata mendegradasi sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

“Ada beberapa faktor yang mendorong kami, diantaranya tentu keprihatinan kita terhadap keberlangsungan lingkungan, turut andil dalam pelestarian lingkungan dengan pengurangan timbulan sampah ke TPA,” kata Rahmat.

Dari situ, dirinya mengambil langkah nyata yang saat ini memerlukan dukungan dan penguatan melalui kemitraan yang lebih luas.

“Hal ini untuk menyulap sesuatu yang dianggap tidak punya nilai ekonomis oleh masyarakat menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan bermanfaat. Juga agar dapat sedikit menggeser paradigma atau mindset masyarakat untuk lebih peduli lingkungan dengan memilah dan mengolah sampah saling mengedukasi,” sambungnya.

Maggot yang memiliki banyak manfaat, dianggap belum begitu meluas dipahami masyarakat, sehingga harapannya dengan terus mendorong melalui kampanye secara luas dapat dipahami kebermanfaatannya tidak terbatas pada penanganan sampah saja, tapi secara bisnis memiliki nilai ekonomi serta pada penggunaan maggot kaya kandungan.

Misalnya maggot sebagai pakan ayam, makanan untuk ikan hias, burung dan hewan peliharaan lainnya karena memiliki protein tinggi yang dibutuhkan hewan.

“Untuk saat ini pemasaran kami masih pada wilayah lokal, kita masih konsen membangun jaringan. Untuk produksi kita memerlukan banyak stok sampah dan juga pakan makanan maggot itu sendiri. Saat ini kita terbuka dan siap mengambil sampah organik dari perumahan yang ada di kota Makassar,” pungkas Rahmat, mahasiswa Universitas Hasanuddin itu.

Selain itu, diperlukan dorongan berbagai sektor untuk mendukung aksi nyata para pemuda, terlebih pada bisnis yang diperkirakan mempunyai timbulan sampah organik seperti restoran dan hotel. Agar buangan itu dapat ditangani terlebih dahulu untuk tidak berakhir membusuk di TPA.

“Kemampuan proses penguraian dengan budidaya maggot, dari 5 kg sampah bisa terurai menjadi 1 kg saja, karena kemampuan maggot dapat makan 4 kali dari berat badannya, sehingga kalau 2 ton (2000 kg) bisa menjadi 400 kg maggot,” jelas Rahmat.

Selain permasalahan sampah organik sebagai kebutuhan pokok, juga pada pakan maggot itu sendiri, yang saat ini Urban Farm telah melakukan MoU dengan pihak Kalbe untuk menyalurkan produk yang akan dimusnahkan, dialihkan untuk pakan maggot, seperti susu cair, susu bubuk dan berbagai macam wafer.

Berjalan sambil melihat geliat maggot, Rahmat menjelaskan di bagian proses memakan waktu 7 hari dan setelah itu dipindahkan yang memakan waktu 15 hari untuk dapat dipanen, dalam proses pertumbuhannya, Maggot yang menjadi kepompong bermigrasi secara mandiri ke ruang yang telah di siapkan. Setelah memisahkan diri akan di pindahkan lagi ke wadah berbeda yang nantinya akan menjadi lalat.

“Kelebihan yang dimiliki di sini adalah sampah yang masuk langung dicacah dan difermentasi tidak boleh melewati 12 jam, hal ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan bau sama sekali, bahkan teman-teman makan di area ini tanpa ada bau yang mengganggu,” jelas Rahmat.

Lebih jauh, Dirinya menerangkan bahwa sampah organik yang berbau itu diurai oleh belatung sehingga baunya mengganggu penciuman, lain halnya sampah yang diuraikan maggot tidak menimbulkan bau.

Maggot yang diproduksi ada telah melewati proses sangrai (pengeringan) dan dikemas untuk dapat diedarkan (dipasarkan).

“Kita baru masuk pada proses marketing, masih konsen pengelolaan dan edukasi, karena perlu untuk dipahami bersama soal manfaat dan keuntungan mengolah maggot termasuk kesadaran masyarakat untuk memilah sampah sejak dari rumah,” kunci Rahmat.

KLIK INI:  Memandang Indonesia dari Puncak Celebes ala Opab Gempa Makassar