Resistensi Perempuan sebagai Elan Vital Pergerakan Ekofeminisme di Indonesia

oleh -329 kali dilihat
Resistensi Perempuan sebagai Elan Vital Pergerakan Ekofeminisme di Indonesia
The Kartinis gendeng-Foto/indonesiaatmelbourne
Anis Kurniawan

Klikhijau.com –  Resistensi perempuan Indonesia dalam melawan ketidakadilan sosial bertumbuh sebagai pertanda menguatnya kesadaran kultural yang murni mengartikulasi perjuangan arus bawah.

Di saat banyak perempuan seperti Mama Yosepha, Mama Aleta Baun, almarhumah Yu Patmi, Yu Sukinah, Ibu-Ibu petani Kendeng, dan perempuan-perempuan lain yang berusaha untuk mempertahankan ruang hidupnya hingga bertaruh nyawa, kita melihat dunia semakin di ambang batas dan krisis sosial-ekologis yang semakin nyata.

Ketika para perempuan-perempuan yang terus-menerus memperjuangkan hak demi alam yang lestari tersebut secara radikal terus memaksa kita berpikir ulang mengenai developmentalisme, kita melihat semakin naiknya arogansi jargon-jargon modernitas.

Bagaimanakah bentuk resistensi yang dilakukan oleh perempuan tangguh semacam ini?

KLIK INI:  7 Kota Besar di Asia yang Terancam Tenggelam pada 2030, Ada Jakarta?
Resistensi perempuan, mematahkan Stereotip

“Siapa aktor intelektualnya?” “siapa dalang di balik ini semua?” atau bahkan “siapa yang telah memprovokasinya?” Pasti akan ada yang sibuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan ini jika perempuan melakukan perlawanan, alih-alih perlawanannya sangat masif.

Memang sudah jamak diketahui bersama, kalau rakyat macam petani, ibu rumah tangga, warga masyarakat terpencil selalu dianggap tak mempunyai power. Serta dianggap tak tahu apa-apa dalam memahami problema.

Mereka distigma tidak berpendidikan, dungu, hanya karena tak mencecap pendidikan tinggi, sehingga mustahil berinisiasi melakukan resistensi.

Bias kelas dan bias kota juga melatarbelakanginya. Agenda-agenda perlawanan dicap sebagai gerakan khas kaum terdidik saja.

Petani dan ibu-ibu desa dianggap tak mampu melakukan gerakan karena tak punya dasar. Tak pernah membaca buku, tak melek informasi mengenai ekonomi dan politik.

KLIK INI:  Hari Satwa Sedunia, Gajah Masih Jadi Sasaran Perburuan Liar

Selain itu, pandangan romantik untuk desa sebagai tempat nihil konflik, selalu damai dan gemah ripah lohjinawe. Para petani yang tinggal di desa, di pedalaman, di tempat-tempat yang jauh dari pusat ekonomi dan politik dan hiruk pikuk modernitas, dibayangkan sebagai makhluk-makhluk yang stabil, sangat toleran, dan  memahami segalanya dalam kerangka takdir.

Ada Aleta Baun, perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memprotes pembukaan lahan di daerahnya untuk tambang dengan menenun di depan pintu lokasi tambang.

Pemenang Goldman Environmental Prize (penghargaan prestigius bagi para aktivis lingkungan) tahun 2013 ini, melakukan protes menenun di tengah area pertambangan marmer pada 1995.

Yu Sukinah, Yu Patim dan ibu-ibu petani Kendeng yang aktif melakukan demo-demo di kampus mengajak para mahasiswa untuk berpihak pada masyarakat terdampak atas problem-problem lingkungan hidup dan rela mengecor kaki di depan istana negara.

KLIK INI:  Kisah Seekor Tikus Bergelut Maut Demi Selamatkan Nyawa Manusia

Di Kalimantan Tengah ada Mariana, perempuan suku Dayak di desa Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah, menolak pembukaan hutan adat mereka untuk lahan perkebunan sawit pada 2012.

Dari mereka, kita belajar bahwa memperjuangkan suatu gerakan atau nilai-nilai luhur tidak terjebak dalam gelar akademis. Status pekerjaan, atau menjadi anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Pergerakan perempuan semacam itu tidak abstrak atau sebatas teori. Tapi tumbuh langsung dari masyarakat akar rumput (grassroot movement), didasarkan dari kehidupan keseharian mereka.

Merekalah yang justru membikin gerakan lebih relevan dan kontekstual sesuai dengan realitas dan kebutuhan di lapangan.

Anne Gerland dalam bukunya Women Activist: Challenging The Abuse Power, menyebutkan bahwa perlawanan tambang, dan alih fungsi lahan semacam itu telah menghempas narasi bahwa perempuan tidak berdaya. Mereka berada di garda terdepan perlawanan.

Masyarakat pergerakan inilah yang justru mematahkan anggapan umum bahwa perempuan tidak mampu memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan sosial bagi pelestarian lingkungan.

KLIK INI:  Covid-19, 'Illegal Logging' Meningkat, Industri Kayu Anjlok
Resistensi perempuan ala James C. Scott

Dalam konteks kajian tentang perlawanan, harus diakui bahwa elaborasi James Scott memberikan kontribusi cukup besar. Ia memperluas cakupan perlawanan tidak hanya dalam pengertian resistensi terbuka.

Scott menggambarkan perlawanan dalam pelbagai strukturnya. Setiap ada usaha untuk mengurangi kekuatan, disitulah ada perlawanan. Perlawanan adalah tentang bagaimana membatasi dalam penerimaan terhadap kekuasaan.

Setidaknya kita bisa simak tuturan menarik Scott ini di dua karyanya, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance dan Domination and the Art of Resistance: Hidden Transcripts.

Dalam konteks pergerakan resistensi yang seperti yang penulis jelaskan di atas, merupakan salah satu bentuk implikasi apa yang disebut Scott sebagai “perlawanan pasif” atau “perlawanan sehari-hari”. Bahkan dalam hal kepasrahan sekalipun, sebenarnya kaum tani dan ibu-ibu daesa tak benar-benar pasrah. Melainkan mewujud dalam aksi-aksi perlawanan diam dan pasif yang berlangsung saban harinya, yang bahkan menjadi suatu subkultur.

Perlawanan petani ini muncul karena ada norma-norma yang diyakini dan harus selalu diperjuangkan. Tujuan perjuangannya adalah mempertahankan tata nilai yang selama ini mereka yakini.

KLIK INI:  Terbayang, Sampah Kampanye Kira-Kira Akan Meluber ke Mana?

Menurut Scott, dalam skala yang berkelanjutan bisa efektif. Pun dapat menjelaskan bahwa dalam pasifitas yang terkesan tunduk. Bahkan para petani itu tetap menggigit lewat gerogotan-gerogotan kecil yang akhirnya mematikan.

Sebagai bukti, dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870. Studi Jan Breman tentang tanam paksa, disimpulkan bahwa keengganan para petani yang terus berkelanjutan untuk bertindak sesuai dengan yang diperintahkan oleh pemerintah kolonial merupakan hal yang sangat menentukan dalam memundurkan dan menjatuhkan sistem tanam paksa.

Yu Patmi, petani Kendeng yang menyemen kakinya dan meninggal pada 21 Maret 2017, tahu benar hal ini. Ia tak membutuhkan buku-buku tentang ekologi dan ekonomi-politik. Bukan karena hal itu tidak penting.

Melainkan karena ketubuhan dan keseharian mereka sendiri adalah kisah tentang kerumitan ekonomi politik yang mendesak hingga ke petak-petak sawah di pedalaman. Mereka tak perlu sekolah tinggi-tinggi bagi Yu Patmi untuk bisa melakukan pergerakan masif (yang katanya kemewahan itu khas kaum terdidik).

KLIK INI:  Cerita "Manusia Rantai" di Kota Tambang yang Menyimpan Penderitaan

Dan memahami dalil ekonomi-politik yang sangat penting. Sekali seseorang kehilangan faktor produksi (sawah bagi para petani), posisinya akan sangat rentan diisap mesin besar produksi (yang mengatasnamakan develompentalisme demi kehidupan lebih modernis, katanya).

Gambaran di atas menurut Scott dalam Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, dalam kapitalisme terjadi komersialisasi hubungan-hubungan agraris dan pemusatan penguasaan produksi.

Yang memotong langsung kulit pembungkus adat kebiasaan subsistensi dan hak-hak sosial tradisional dan menggantikannya dnegan kontrak-kontrak, pasar, dan hukum-hukum yang seragam.

Mengapa demikian? Dalam Buku Dua Abad Penguasaan Tanah anggitan Usep Setiawan terjawab. Hal ini dikarenakan posisi negara direpresentasikan lembaga pemerintah. Atau badan-badan usaha milik negara atau daerah, dan institusi militer) kerap muncul sebagai ‘lawan’ rakyat pada berbagai jenis sengketa. Seperti halnya yang jamak terjadi di Indonesia.

Mereka memang kerap kali diam, pasif, atau tampak bungkam. Namun perjalanan perlawanan perempuan menjelaskan satu hal bahwa, sebagaimana diingatkan oleh James C. Scott dalam salah satu esainya di buku bertajuk Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity and Meaningful Work and Play, berikut:

“one day you will be called on to break a big law in the name of justice and rationality. Everything will depend on it. You have to be ready”.

Mereka telah sadar betul resiko yang akan mereka terima jika berhadapan dengan para korporat dan elit penguasa adalah ‘kekalahan’. Namun, setidaknya, sebagai manusia yang memiliki harga diri dan demi menjaga alam agar tetap lestari, mereka pantang menyerah. Pun, telah berupaya untuk terus melakukan resistensi: sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Demikian penulis memaknai dan merefleksikan diri pada momen hari lahir salah satu inspirator pergerakan perempuan di Indonesia, Kartini; bahwasanya resistensi adalah koentji!

KLIK INI:  Ekofeminisme, Tentang Relasi Gender dan Kehutanan