Belajar Kisah Heroik Perempuan dari Pegunungan Kendeng

oleh -313 kali dilihat
Aksi warga menolak kehadiran PT. Semen Indonesia
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Bulan November 2018, saya mengikuti kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) angkatan 2 Maarif Institute di Bogor Jawa Barat. Salah satu temanya adalah tentang kebudayaan yakni tentang strategi budaya pegunungan Kendeng. Narasumber dalam tema tersebut adalah Dr. Phil. Dewi Candraningrum.

Pegunungan karst Kendeng adalah kekayaan alam batu gamping yang membentang dari pegunungan Kendeng utara. Oleh masyarakat sekitar, pegunungan Kendeng diyakini meyimpan sumber mata air berusia ribuan tahun atau biasa disebut dengan cekungan air tanah yang mampu mengaliri air ke sawah-sawah di sekitaran Kendeng, bahkan menjadi sandaran hidup warga sekitar.

Adalah  warga Sedulur Sikep yang menganut kepercayaan Samin yang menolak dengan tegas pembangunan pabrik semen di Kendeng. Hal itu karena Sedulur Sikep adalah warga asli yang tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi antara Blora Jawa Tengah dan Bojonegoro Jawa Timur.

KLIK INI:  Enno, Pilot Perempuan Bidang Pemetaan KLHK dan Kisahnya yang Maskulin

Hal yang unik dari perjuangan warga Sedulur Sikep adalah memperjuangkan tanah dan air tidak dilakukan oleh kelompok laki-laki atau bapak-bapak, melainkan oleh ibu-ibu. Pemberitaan tentang Kartini Pegunungan Kendeng serentak telah diberitakan pada tanggal 12 April 2016 di berbagai pemberitaan media massa di Indonesia dalam sebuah aksinya dengan mengecor kaki menggunakan semen oleh sembilan perempuan Kendeng di depan istana merdeka Jakarta.

Pada konteks ini, Dewi melihat bahwa bentuk perjuangan perempuan Kendeng adalah strategi perjuangan dengan menggunakan pendekatan budaya. Perjuangan dengan menggunakan pendekatan budaya bukanlah perjuangan dengan selemah-lemahnya perjuangan, melainkan karena budaya menjadi satu-satunya yang melekat dalam urat nadi kehidupan warga Sedulur Sikep. Dalam artian, warga Sedulur Sikep percaya bahwa bumi adalah ibu, bahwa air adalah air susu ibu, dan bahwa tanah adalah ladang kehidupan bercocok tanam.

  • Ibu-ibu mendirikan tenda di sekitar pabrik semen

 Awal mulanya, penolakan dan perjuangan warga sekitar pegunungan Kendeng terhadap pembangunan pabrik semen dilakukan oleh kelompok laki-laki, dari bapak-bapak hingga anak muda. Mereka memboikot truk-truk di pintu masuk pabrik semen. Akan tetapi setiap mereka melakukan aksi, mereka selalu diangkut secara paksa oleh aparat keamanan Satpol PP naik ke truk di dibawa ke kantor polisi. Kejadian pengangkutan paksa pendemo tersebut terus berulang, sedangkan pabrik semen terus beroperasi.

Maka kemudian, warga Sedulur Sikep mengadakan rembug desa warga Kendeng. Warga Kendeng merubah strategi perjuangan dengan cara melibatkan perempuan untuk menduduki pintu masuk pabrik.  Pendudukan pintu masuk pabrik dimulai di tahun 2014 dengan jumlah perempuan yang ikut mulanya berjumlah 85 orang, tapi kemudian bertambah menjadi 300-an perempuan yang melakukan aksi boikot operasi pabrik semen.

Ibu-ibu Kendeng lebih dari 160 hari mendirikan tenda dan menginap di tenda itu setiap hari dan malam sebagai bentuk penolakan terhadap operasi PT. Semen Indonesia. Bahkan tercatat hingga september 2014, tercatat empat perempuan hamil yang melahirkan di dalam tenda ketika aksi di lokasi pendudukan boikot pabrik semen.

KLIK INI:  Deasy, Perempuan yang Mencintai Sampah dengan Cara Elegan

Para Satuan Polisi tidak berani melakukan aksi pengangkutan paksa karena mereka adalah perempuan. Satuan Polisi melihat ibu-ibu Kendeng tidak ada bedanya dengan ibu-ibu mereka. Rasa simpati kepada perempuan lebih tanpak terlihat kepada ibu-ibu Kendeng daripada kepada bapak-bapak. Inilah yang disebut oleh Dewi sebagai politik rahim.

Politik rahim dalam sejarah feminisme pertama kali dilakukan oleh Vandana Shiva dalam aksi heroiknya memeluk pohon dengan cara telanjang di dalam hutan. Politik rahim merupakan cara yang paling ampuh untuk menumbuhkan rasa kesadaran para kapitalis tentang makna merawat bumi, tanah dan air.

  • Ibu-ibu menggunakan jarik dan lesung

Strategi yang kedua yaitu menggunakan bawahan jarik (kain panjang model Jawa) dan baju hitam kebaya. Jarik dan kebaya hitam adalah pakaian tradisional perempuan Sedulur Sikep yang memiliki filosofi tersendiri.

Hitam adalah simbol duka. Duka warga Sedulur Sikep karena ibu bumi telah diperkosa (eksploitasi) oleh kapitalisme atas nama pembangunan dan berbagai kepentingan-kepentingan yang terselubung di dalamnya.

Disamping itu, ibu-ibu Kendeng juga membawa lessung sebagai simbol bahwa nasi sebelum sampai ke piring, padi itu mulanya adalah gabah dan gabah bisa berubah menjadi beras karena ditumbuk menggunakan lessung. Lessung adalah simbol eksistensi pangan warga Sedulur Sikep.

KLIK INI:  Wulan Saputri, Perempuan dan Sebuah Pesan dari Gunung

Tanpa lessung bagaimana warga Sedulur Sikep bisa makan dan bertahan hidup. Jikalau tanah sawah berubah menjadi pabrik, dengan cara apa lagi ibu-ibu Kendeng bisa menggunakan lessung untuk menumbuk padi. Pastinya lessung-lessung di setiap rumah akan mengganggur, dimakan rayap, dan akan menjadi museum pribadi pertanda kematian petani.

  • Aksi demo dengan cara meruwat president dan gubernur

 Ibu-ibu Kendeng lestari memasak makanan di tenda-tenda, kemudian memberikan makanan itu kepada prisedent Republik Indonesia bapak Joko Widodo dan kepada Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo sebagai bentuk ruwatan atau rokat atau selamatan kepada kedua bapak pemberi kebijakan tersebut.

Pemberian ruwatan makanan kepada kedua bapak ”besar” mengandung makna tersirat bahwa beliau-beliau makan dengan nasi, nasi berasal dari padi dan padi tumbuh di sawah, dan sawah yang menggarap adalah petani. Makna tersurat dalam ruwatan tersebut adalah bentuk doa selamatan kepada beliau-beliau agar merubah arah kebijakan ke arah perlindungan kepada ibu bumi.

Ketiga strategi budaya dalam perjuangan melawan kapitalisme dan kebijakan pemerintah yang menindas rakyat tersebut memberi makna pembelajaran bahwa bumi adalah sama dengan ibu kita. Ibu bumi harus dilindungi dari ancaman-ancaman yang merusaknya dan dirawat dengan penuh cinta tanpa ada ambisi untuk menaikkan pendapatan daerah dari produksi semen besar-besaran.

KLIK INI:  Tentang Ria, Perempuan yang Bertarung dalam Kobaran Api di Hutan

Penulis: Masthuriyah Sa’dan, Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusian Maarif Institut