Nasib Masker Kini Berada di Gerbang Antara

oleh -147 kali dilihat
Ketika Limbah Kulit Pisang Berubah Jadi Masker di Tangan Mahasiswa
Ilustrasi masker/foto-Ist

Klikhijau.com –  Masker kini jadi barang wajib dikenakan ke mana-mana. Ia setia bertenggek di wajah menutupi hidung dan mulut.

Satu orang setidaknya memiliki lebih dari satu masker. Memakai masker,  selain mencuci tangan, dan jaga jarak. Dianggap ampuh menangka penularan Covid-19.

Karena itulah, aturan penggunaan masker sangat ketat. Jika tidak menggunakannya bisa berujung pada hukuman atau denda.

Bahkan beberapa daerah memberlakukan aturan sweeping masker bagi masyarakat yang bebal.  Namun, ada masalah krusial mengenai pemakaian masker, entah itu masker medis atau kain.

KLIK INI:  5 Tips Menjaga Kulit dengan Telur, Klik Ini dan Ketahui Caranya!

Banyak masyarakat tidak sadar dan tidak tahu jika masker tidak bisa dibuang di sembarangan tempat karena bisa menimbulkan masalah bagi kesehatan dan lingkungan

Masker sekarang ini berada pada di gerbang antara, antara kesehatan dan lingkungan. Jika tidak memakainya maka kesehatan akan terancam—bisa berakibat pada kematian. Selain itu, ada pula denda yang menanti.

Sedangkan jika masker tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber masalah bagi kesehatan dan lingkungan.

Apalagi dengan adanya gelombang virus corona dengan varian baru, membuat masker semakin penting, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau agar memakai masker ganda (dua lapis) untuk menahan laju virus corona varian delta.

Imbauan itu, akan membut pemakaian masker semakin meningkat dan terperosok pada gerbang antara, karena peluang kerusakan lingkungan akan semakin parah pula.

Menurut data BBC, secara global masyarakat dunia memakai 129 miliar masker. Tidak hanya itu terdapat 65 miliar sarung tangan plastik sekali pakai pula setiap bulannya sejak adanya pandemi.

Mirisnya, sampah masker dan sarung tangan selama pandemi Covid-19 menjelma menjadi gelombang baru ancaman bagi lingkungan setelah polusi plastik.

KLIK INI:  Petani Harus Jadi Prioritas Mendapatkan Izin Pemanfaatan Hutan Sosial
Bisa jadi ancaman bagi kesehatan

Bisa dibayangkan bagaimana banyaknya masker yang mungkin terbuang ke lingkungan. Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal Frontiers of Environmental Science and Engineering semisal dalam satu bulan, jika harinya berjumlah 31 hari, maka penggunaan rata-rata masker sekali pakai sekitar 2,8 juta masker per menit.

Etty Riani, pengamat lingkungan dari FPlk Institut Pertanian Bogor (IPB) Bidang Keahlian Ekotoksikologi membeberkan, limbah masker selain melindungi dari ancaman Covid-19, juga bisa jadi ancamana bagi kesehatan apabila tidak dikelola dengan prosedur yang benar.

Etty juga mengungkapkan jika ada masalah lain yang kerap terjadi, yakni bahayanya masker bekas yang didaur ulang dengan cara yang tidak higienis.

“Limbah medis harusnya dimusnahkan, yang seringkali bermasalah adalah diolah kembali, sayangnya, mereka (pendaur ulang) melakukan itu tanpa memperhatikan keselamatan penguna dan dirinya sendiri,” katanya seperti dimuat di Republika 2020 lalu.

Limbah masker tidak hanya mengancam kesehatan manusia dan lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi satwa. Bahkan  sepanjang tahun 2020, ditemukan banyak  banyak bukti jika masker bekas mampu menjerat  satwa, semisal burung dan penyu telah ada mati karena masker.

Elvis Genbo Xu seorang ahli toksik dari Universitas Denmark Selatan mengatakan, masker jika terbuang ke lingkungan bisa menghasilkan sejumlah besar partikel berukuran mikro, yakni ukurannya lebih kecil dari 5 mm dalam hitungan minggu. Kemudian pada fragmen lebih lanjut akan menjadi nanoplastik yang ukurannya lebih kecil dari 1 mikrometer.

“Seperti halnya sampah plastik yang lain, masker sekali pakai juga bisa  menumpuk dan melepaskan zat kimia dan biologi berbahaya, di antaranya bisphenol A, logam berat, serta mikro-organisme patogen,” ujarnya.

Bagaimana mengatasinya?

Ada beberapa cara mengatasi limbah masker agar tidak mengancam kesehatan dan mencemari lingkungan. Misalnya seperti yang disarankan Etty, yakni pemerintah harus menyiapkan insinerator dengan suhu di atas 1.000 derajat celcius guna memusnahkannya.

Karena menurutnya  insinerator dengan suhu yang lebih kecil dari 1.000 derajat celsius bisa menimbulkan masalah baru, yakni pencemaran udara.

Sementra itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berkolaborasi dengan Universitas Sebelas Maret dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Telah membuat sebuah program yang bernama Dumask.

Dumask sendiri adalah akronim dari Dropbox-Used Mask. Program ini berupa sistem pengelolaan limbah medis masker sekali pakai dan sarung tangan plastik yang bertujuan untuk meminimalisasi dampaknya ke lingkungan.

Program ini bertujuan menyediakan jalur pembuangan sarung tanga dan masker bekas dari masyarakat yang lebih ramah lingkungan dan aman.

Proyek Dumask sendiri didanai oleh Program Penelitian Kolaborasi Indonesia (PPKI), mulai berjalan sejak Februari 2021 hingga Oktober mendatang.

Proyek ini dimulai dengan pengumpulan limbah masker dan sarung tangan menggunakan boks, serta pembuatan aplikasi yang akan memantau dropbox dan alat pembakarnya.

Dropbox itu diletakkan di beberapa lokasi. Apabila boksnya penuh sampah akan ada  notifikasi di aplikasi dan juga website. Selanjutnya petugas akan mengambil boks tersebut untuk dibawa ke tempat pemusnahan limbah.

Sampah medis termasuk masker yang telah terkumpul akan dihancurkan dengan metode pirolisis, yaitu pemanasan bersuhu tinggi.

Namun, sebaiknya sebelum membuang masker lakukan langkah berikut:

  •  Semprotkan cairan disinfektan pada masker sekali pakai sebelum membuangnya
  • Gunting makser, ini untuk menghindari penggunaan kembali
  • Membungkus masker dengan rapat sebelum di buang ke tempat pembuangan yang telah disiapkan,
  • Jangan buang di sembarang tempat
  • Cuci tangan dengan sabun di air mengalir setelah membuang masker
KLIK INI:  Pemerintah Serius Tidak Sih Mengatur Kendaraan di Kota?
Temuan LIPI

Untuk pengguna masker kain. Ada kabar baik  dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Melalui akun Instagramnya @lipiindonesia bahwa telah ditemukan alat yang ampuh mengatasi permasalahan masker kain. Dengan penemuan itu masyarakat tidak  usah lagi mencuci atau membuang maskernya setelah dipakai.

Alat ini diperkenalkan oleh Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI. Alat sterilisasi Virus Covid-19 portabel untuk masker kain ini berbasis Sinar UVC. Dalam beberapa menit bisa “membersihkan” masker dari virus.

Dengan sifatnya yang sangat ringan, berukuran pocket (saku), portabel, dan harganya terjangkau untuk masyarakat luas bisa jadi solusi.⁣

Pembuatan alat  sterilisasi itu untuk mensterilkan semacam virus Covid-19. Masker kain tidak perlu lagi dicuci  setelah digunakan selama empat jam. Cukup  masukkan saja ke dalam penyimpanan (storage) dalam waktu tertentu. Hal itu bisa membuat masker kain terbebas dari virus Covid-19.⁣

Ada tiga metode kerja alat sterilisasi ini, yakni:

  • Penggunaan  disinfeksi masker kain atau dengan ukuran sejenis di dalam pocket dengan setting default dua menit
  • Pengguna secara manual untuk disinfeksi benda-benda  di luar area pocket seperti pakian, buku, tas, laptop, dan alat elekronik lainnya dengan pengaturan default minimal dua menit
  • Ala ini bisa menempel pada logam dan mensterilkan area tertentu, seperti lemari, meja besi, kulkas dan lainnya dengan default 15 menit

Gadang priyatomo, selaku peneliti pusat penelitian metalurgi dan material LIPI mengungkapkan bahwa ia dan timnya  menggunakan dry methods (metode pengeringan) dengan sinar  UV-C yang bisa dimasukkan ke dalam storoge.

“Secara teori dengan sinar UV tipe C jarak rentangnya 200-280 nm dapat memengaruhi mikroorganisme dan sangat efektif untuk merusak protein DNA virus,” ungkapnya.

Sayangnya, alat ini seperti keterangan di atas hanya bisa digunakan untuk masker kain, tidak untuk masker medis.

KLIK INI:  Jangan Sampai Omnibus Law Merusak Sektor Sumber Daya Alam