- Pantai yang Bersalin Nama - 13/04/2024
- Gadis Iklim - 07/04/2024
- Anak Kecil dalam Hujan - 30/03/2024
Klikhijau.com – Lelaki berkacamata itu sedang sibuk mencari spot foto. Kameranya diarahkan ke jembatan kayu yang telah dicat warna-warni serupa pelangi. Ranselnya menggantung di pundaknya. Ia terlihat puas dengan beberapa hasil jepretannya sore di hari Senin itu, 23 Juli 2018 meski air sedang surut.
Suasana sepi sehingga membuatnya leluasa mengatur tripod yang menyanggah kameranya di atas jembatan yang panjangnya 270 meter. Pengunjung hutan bakau atau mangrove Lantebung memang tidak banyak sore itu. Hanya lima orang , termasuk lelaki berkacamata itu. Empat orang lainnya adalah pemuda yang sedang menikmati sepoi angin laut di ujung jembatan di sebuah gazebo.
Lelaki berkacamta itu bernama Azwir Mandala, berprofesi sebagai fotografer di Kota Makassar. Ia datang melepas rasa penasarannya pada hutang mangrove di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, tepat di sisi utara Makassar tersebut.
“Ini pertama kalinya saya ke sini. Setelah melihat foto teman-teman, saya penasaran, jadi datang melihat langsung. Tempat ini membuat saya terkesan, sebab ini unik berada di pinggiran Kota Makassar dengan akses yang cukup mudah,” terangnya.
Apa yang dikatakan Azwir memang benar, hutan mangrove Lantebung memang unik. Bukan hanya karena letaknya yang berada di dekat pusat kota, tetapi juga karena diinisiasi oleh masyarakat sendiri, bukan oleh pemerintah. Sambil membetulkan kacamatanya, Azwir mengalihkan pandangannya dari kameranya, menyapu hutan mangrove yang luasnya 2 km itu.
Ia berharap penanaman mangrove terus bertambah dan mendapat dukungan dari pemerintah. Tapi, ia tidak setuju jika jika hutan mangrove Lantebung pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah.
“Jika ingin melanjutkan ini ke tujuan wisata, maka fasilitas harus diperadakan, khususnya WC umum dan keamana yang perlu ditingkatkan, serta jangan dikelola oleh pemerintah, cukup dikelola oleh warga setempat dan relawan saja. Sangat banyak tempat wisata dikelola pemerintah pada akhirnya terbengkala dan hanya menjadi tempat mistik,” harapnya.
Mekail, pemuda asal Sudiang yang datang bersama tiga temannya juga mengharapkan fasilitas harus ditingkatkan, khususnya pembangunan gazebo yang lebih besar agar bisa memuat orang yang datang berkunjung. Mekail juga untuk pertama kalinya mengunjungi hutan mangrove tersebut.
“Tempat ini bagus untuk refreshing, hanya saja sepertinya masih kurang dipromosikan, tempatnya terkesan tersembunyi. Harus ada gerbang yang menunjukkan tempat ini agar masyarakat mudah menemukannya,” ujarnya. Ia mengaku sempat kesasar saat menuju lokasi.
Keberadaan hutan mangrove Lantebung tidak bisa lepas dari sosok sederhana Saraba. Dari usaha kerasnyalah yang tidak kenal menyerah menaklukkan penentangnya sehingga hutan mangrove Lantebung bisa dinikmati Izwar dan Mekail serta pengunjung lainnya.
Semuanya bermula dari keresahan dan kekhawatiran akan kelangsungan hidup warga kampung Lantebung, maka pada tahun 1996 ia memulainya mengajak masyarakat menanam dan memelihara mangrove. Ajakan itu tidak mulus, sebab ditentang oleh RT, RW, dan lurah setempat serta orang-orang yang punya kepentingan.
“Semua ini saya lakukan untuk masa depan anak cucu warga Lantebung. Kalau tidak berpikir ke depan bagaimana anak cucu warga di sini, mau ke mana mereka tinggal dan mencari nafkah?” ujar Saraba serius.
Demi mewujudkan mimpinya, Saraba kerap mengajak warga Lantebung mengikuti pelatihan yang diadakan di hotel meski itu tidak mudah. Namun, setelah Internasional Fund For Agricultural Develoment (IFFAD) yang merupakan lembaga internasional mulai melirik dan terlibat, maka upaya penanaman dan pemelihara mangrove di Lantebung mulai memperlihatkan hasilnya.
“Pada tahun 2006, saya mengajak masyarakat studi banding ke Tangke-tangke, Sinjai, sepulang dari sana kesadaran akan pentingnya pelestarian mangrove semakin mantap hingga sekarang,” ungkap Saraba. Kini setiap bulan selalu ada aksi penanam mangrove di Lantebung, bukan hanya dilakukan oleh warga loka, tapi juga warga asing seperti Spanyol, Korea, Portugal, Amerika Serikat, Belanda dan lainnya.
Mimpi lelaki empat anak itu hanya ingin melihat perekonomian warga Lantebung meningkat. Ia tidak rela warga Lantebung terus berkabung dalam kemiskinan dan menjadi warga teringgirkan dari segi ekonomi dan pendidikan. Mimpi itu perlahan terwujud, apalagi setelah Dinas Kelautan dan Perikanan(DKP) Kota Makassar tahun 2010 ikut membantu dan mendukung konservasi mangrove di sisi utara Kota Makassar itu.
Apalagi sejak dibangun jembatan yang berfungsi sebagai tempat menambatkan perahu warga. Jika dulu sebelum jembatan dibangun, warga Lantebung yang dominan nelayan hanya sekali sehari melaut, kini para nelayan bisa keluar melaut dua kali dalam sehari.
Basri, lelaki yang lahir di Lantebung itu merasa bersyukur dengan adanya hutan mangrove sebab perekonomian keluarganya meningkat dan rumahnya terhindar dari bencana banjir dan angin laut saat musim hujan.
“Sebelum adanya hutan mangrove ini, setiap musim hujan air naik hingga ke jalan dan menggenangi rumah warga. Bukan hanya terhindari banjir dan angin, tapi mangrove telah membawa dampak ekonomi yang baik bagi warga, sebab dengan adanya mangrove kepiting rajungan mudah ditemukan, begitu pun tirang yang nilai ekonominya bisa menutupi kebutuhan keluarga,” ujarnya
Rasa syukur juga diungkapkan Salma, perempuan berkulit putih yang berusia di kisaran tiga puluh tahun itu mengaku sejak adanya budidaya hutan mangrove perekonomian keluarganya meningkat. Ia berjualan tepat di sisi kiri pintu masuk jembatan pelangi.
“Jika hari libur ramai, saya biasa jualan gorengan. Saya baru tiga bulanan jualan dan hasilnya bisa diandalkan,” katanya sambil bersandar di pembatasan jembatan.
Salma berharap agar fasilitas hutan mangrove bisa lebih ditingkatkan lagi. Apalagi yang datang bukan hanya wisatawan lokal, tapi juga dari mancanegara. Harapan Salma, Izwar, dan Mekail sepertinya akan terwujud karena Saraba selaku pengelola dan inisiator konservasi hutan mangrove Lantebung sedang merencanakan pembangunan jembatan di tengah-tengah hutan mangrove sehingga pengunjung bisa lebih nyaman menikmati mangrove dan cericit burung.
Selain itu, Saraba juga berharap pondokan yang berfungsi sebagai pusat informasi bisa digunakan dijadikan rumah baca sehingga pengunjung bukan hanya menikmati ekowisata saja tetapi juga nilai ada nilai pendidikan.
“Namun, semua itu butuh perjuangan dan tekad yang keras, sebab musuh laut sekarang bukan ketiadaan mangrove, tetapi reklamasi pantai” tutupnya.
Penulis: Irhyl R Makkatutu