9 Puisi Sapardi Djoko Damono dengan Metafora Alam yang Menyentuh

oleh -8,340 kali dilihat
9 Puisi Sapardi Djoko Damono dengan Metafora Alam yang Menyentuh
Sapardi Djoko Damono /foto - Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com Puisi Sapardi Djoko Damono memiliki daya pikat yang kuat. Diksi yang digunakan sederhana namun memukau.

Puisi Sapardi Djoko Damono banyak menggunakan metafora alam. Hujan Bulan Juni salah satunya, kaya dengan metafora alam.

Sapardi Djoko Damono atau SDD merupakan penyair Indonesia angkatan 1970-an. Ia bergelar Profesor, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 dan meninggal di Tangerang Selatan, 19 Juli 2020 pada umur 80 tahun.

Selain menulis puisi, Sapardi juga menulis cerita pendek dan novel. Namun, masyarakat umum lebih mengenalnya sebagai penyair.

KLIK INI:  Sajadah Subuh di Akar Walenreng

Puisi Sapardi lebih banyak mengangkat hal-hal sederhana, namun penuh makna kehidupan. Berikut ini 9 puisi Sapardi dengan metafora alam yang menyentuh:

 

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

KLIK INI:  Hujan yang Berhenti di Bibirmu
Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

 

Kuhentikan Hujan

Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah

Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

KLIK INI:  Menantu yang Diingini Ibu
Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta

mencintai angin
harus menjadi siut

mencintai air
harus menjadi ricik

mencintai gunung
harus menjadi terjal

mencintai api
harus menjadi jilat

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku

 

Hanya

hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

KLIK INI:  Nama pada Masa Depan
Dalam Doaku

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun jauh di sana,
bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh- nyentuhkan
pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya akutak pernah selesai
mendoakan keselamatanmu

 

Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.

Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.

Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.

Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.

Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

KLIK INI:  Meresapi Puisi Alam dari Penerima Nobel Sastra, Louise Glück yang Menyentuh
Di Atas Batu

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali…
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari…

ia pandang sekeliling
:matahari yang hilang – timbul di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali,

beberapa ekor capung — ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

 

Taman Jepang, Honolulu

inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:
jalan setapak yang berbelit, matahari
yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap jawaban tertunda

KLIK INI:  Destinasi Pepohonan