Klikhijau.com – Puisi dengan tema lingkungan cukup banyak. Mengeksplorasi lingkungan hidup dan alam semesta untuk penulisan puisi memang menyenangkan. Bahkan hampir semua puisi-puisi yang tercipta tidak luput dari narasi lingkungan.
Puisi dengan tema lingkungan memotret dan merefleksikan kondisi sosial, budaya dan politik yang di dalamnya mendeskripsikan alam semesta. Diantara ratusan puisi tema lingkungan, berikut ini 7 puisi dengan tema lingkungan yang kerap dijadikan puisi wajib dalam perlombaan di sekolah dan kampus.
Selain ditulis oleh penyair atau sastrawan yang kualitas karyanya memang tinggi, puisi-puisi ini juga memang mengandung makna kuat. Baik itu tentang pesan cinta lingkungan maupun kritik terhadap fenomena alam semesta yang terus mengalami degradasi.
-
“Pemandangan Senjakala” karya W.S Rendra
senja yang basah meredakan hutan yang terbakar kelelawar-kelewar raksasa datang dari langit kelabu tua. Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda. Sekelompok anjing liar memakan beratusribu rubuh manusia yang mati dan setengah mati.
Dan di antara kayu-kayu hutan yang hangus genangan darah menjadi satu danau. Luas dan tenang. Agak jingga merahnya. Dua puluh malaekat turun dari sorga mensucikan yang sedang sekarat tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa yang lalu memperkosa mereka. Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basah menggerakkan rambut mayat-mayat membuat lingkaran-lingkaran di permukaan danau darah dan menggairahkan syahwat para malaekat dan kelelawar. Ya, saudara-saudaraku, aku tahun inilah pemandangan yang memuaskan hatimu kerna begitu asyik kau menciptakannya.
-
“Seekor kucing dan sepasang burung” karya Aan Mansyur
Ada sangkar besar di tubuh kecil setiap burung. Surga bagi para pencinta burung, tempat mereka terperangkap lupa diri dan mati. Juga matamu, sepasang burung terakhir di bumi. Aku tak pernah membenci apa pun sebesar aku Mencintai matamu. Pikiran bukan penjara. Aku penjarakan pikiranku. Kututup pintunya buat semua tamu dan nama. Kecuali jiwamu, puisi tentang Jalan-jalan lengang pukul tiga pagi
Aku ingin menjadi seekor kucing Di jalanan atau puisi. Aku ingin memangsa sepasang burung di wajahmu
jauh dalam tubuhku ada pohon yang tumbang dan tumbuh tiap hari. Juga sarang tempat angin sering mampir istirahat.
Kelak orang membaca puisi tentang taman kota, mengunjungi museum burung, atau membaca dongeng tentang hutan-hutan yang hilang. Mereka tersenyum mengingatku
“Pada zaman dahulu, ada seekor kucing menyelamatkan sepasang burung dengan memakan sepasang mata kekasihnya.”
-
“Tanah air mata” karya Sutardji CB
Tanah air mata tanah tumpah dukaku mata air air mata kami air mata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan air mata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke mana pun melangkah kalian pijak airmata kami ke mana pun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke mana pun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata
-
“Resonansi Indonesia” karya Ahmadun YH
bahagia saat kau kirim rindu termanis dari lembut hatimu jarak yang memisahkan kita laut yang mengasuh hidup nahkoda pula-pulau yang menumbuhkan kita permata zamrud di katulistiwa : kau dan aku berjuta tubuh satu jiwa
kau semaikan benih-benih kasih tertanam dari manis cintamu tumbuh subur di lading tropika pohon pun berbuah apel dan semangka kita petik bersama bagi rasa bersaudara : kau dan aku Berjuta kata satu jiwa
kau dan aku diapakah kau dan aku? Jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak, sunda, Madura, ambon atau papua? ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita : kau dan aku berjuta wajah dan kata
yah, apalah artinya tembok pemisah kita?
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
Jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
Burung garuda
-
“Wajah Kita” karya Hamid Jabbar
bila kita selalu berkaca setiap saat dan di setiap tempat maka tergambarlah: alangkah bermacamnya wajah kita yang berderet bagai patung di toko mainan di jalan braga wajah kita adalah wajah bulan yang purnama dan coreng moreng serta gradakan dan bopeng-bopeng wajah kita adalah wajah manusia yang bukan lagi manusia dan terbenam dalam wayang wajah kita adalah wajah rupawan yang bersolek menghias lembaran kitab suci dan kitab undang-undang wajah kita adalah wajah politisi yang mengepalkan tangan bersikutan menebalkan muka meraih kedudukan wajah kita adalah wajah setan yang menari bagai bidadari merayu kita menyatu onani
bila kita selalu berkaca dengan kaca yang buram tak sempurna maka tergambarlah: alangkah berperseginya: wajah kita yang berkandang bagai binatang di kota di taman margasatwa wajah kita adalah wajah serigala yang mengaum menerkam mangsanya dengan buas, lahap dan gairahnya wajah kita adalah wajah anjing yang mengejar bangkai dan kotoran di tong sampah dan selokan-selokan wajah kita adalah wajah kuda yang berpacu mengelus bayu mendenguskan napas-napas napsu wajah kita adalah wajah babi yang menyeruduk dalam membuta menyembah tumpukan harta-benda wajah kita adalah wajah buaya yang menatap dalam riangnya dan tertawa dengan sedihnya
bila kita selalu berkaca dengan kaca yang mengkilap dan rata maka tergambarlah: alangkah berseadanya wajah kita yang mendengar segala erang berkerendahan hati dan berkelapangan dada: wajah kita adalah wajah yang kurang tambah serta selebihnya wajah kita adalah wajah yang sujud rebah bagi-Nya jua wajah kita adalah wajah yang bukan wajah hanya fatamorgana
-
“Lingkungan Mati” karya Taufiq Ismail
Kau sebut orang bicara tentang hijau daunan, rimbun pepohonan, bermilyar kilometer kubik air yang memadat, mencair dan menguap, garis gunung dan lembah yang serasi, komposisi zat asam yang rapi dalam harmoni,
Tapi yang nampak oleh mataku orang-orang bertanam tebu seluas lapangan sepakbola di bibir mereka.
Kau bercerita orang bicara tentang serangga dan fisika tanah, unggas dan kimia udara, ikan dan habitat lautan, manusia dan tetangganya, bumi dan klimatologi, Tapi yang terdengar oleh telingaku adalah serangkai lagu dimainkan lewat instrumen tua sudah, dan bertabur debu.
Kau tulis orang telah bicara mengenai rekayasa genetika padi dan sapi, penggergajian kayu dan pengedukan mineral bumi, penyuburan industri dan transportasi, distribusi laba dan budaya, pemerataan angka-angka di atas bilangan jajaran kepala demi kepala,
Tapi yang terasa olehku adalah dusta yang bergincu lalu ejekan terus-terusan pada kemiskinan, perpacuan dalam keserakahan, dengan paduan suara pengatas namaan dengan penuh keteraturan.
Kau ingat-ingatkan aku tentang harmoni budaya antara tetumbuhan – hewan – angkasa – perairan – dan manusia, lalu kau beri aku 1000 kauseri tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, serta 1000 petunjuk mengenai sivilisasi yang lestari,
Yang kulihat di layar kaca adalah hewan diadu hewan untuk mengeruk isi kantong wisatawan walau itu jelas melanggar peraturan, manusia diadu manusia walau itu menghina otak manusia dan menggilas akal waras, semua itu cuma karena kalap pada sepotong nama dan serakah pada sejumlah rupiah,
Kau bercerita tentang orang yang berkata bahwa sesudah hewan diadu hewan dan hewan diadu manusia budaya jahiliah diresmikan sah, lalu manusia diadu manusia bermula dengan pemujaan pada kepalan dan luas-luas dipertontonkan, lalu naik satu tangga manusia diadu manusia dengan senjata, naik tangga berikutnya keroyokan atau pembantaian manusia pada rakyat sendiri atau bangsa lain, dengan bedil sundut bom napalm atau hulu nuklir, dengan ciri kekerasan dan penindasan yang makin naik kelas dalam kebiadaban, maka pari-purnalah perusakan pada kehidupan lingkungan.
Kau berkata orang masih juga bicara tentang lingkungan hidup, Aneh ingatanku malah-terpaku kini pada lingkungan mati.
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan. “Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau- kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu- mu itu. Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”